Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Problematika Sampah Plastik di Sekitar Kita

Problematika Sampah Plastik di Sekitar Kita Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hasil riset Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, yang dipublikasikan pada tahun 2015 menyebutkan Indonesia menyumbang sampah plastik terbanyak nomor dua di dunia. Pada saat itu, berat sampah plastik yang disumbang mencapai 187,2 juta ton.

Angka itu di bawah China dengan volume sampah mencapai 262,9 juta ton yang disusul negara-negara Asia lain, seperti Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Selain itu, empat sungai di Indonesia, yakni Brantas, Bengawan Solo, Serayu, dan Progo, termasuk 20 sungai terkotor sedunia. Fakta itu berdasarkan hitungan metrik ton sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik.

Ini menjadikan Indonesia pengotor laut dari sampah plastik terbesar kedua di dunia sesudah China. Artikel ilmiah Nature pada tahun 2017 memperkirakan 1,15 hingga 1,41 juta ton plastik dari sungai memasuki lautan tiap tahun. Dari jumlah ini, Indonesia diperkirakan membuang sekitar 200.000 ton plastik dari sungai-sungai dan kali, terutama di Jawa dan Sumatra.

Pada bulan Februari 2016 pemerintah mencoba mengurangi penggunaan plastik melalui program kantong plastik berbayar seharga Rp200,00, bekerja sama dengan peritel modern. Namun, pemerhati lingkungan menyayangkan kecilnya harga plastik tersebut. Mereka juga merasa perlu ada transparansi tentang bagaimana dana yang terkumpul digunakan.

Pada bulan Oktober 2016, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memutuskan menghentikan program dengan alasan ketiadaan payung hukum untuk pelaksanaan di lapangan.

Komitmen

Di Konferensi pertama Kelautan PBB pada bulan Juni 2017 yang berfokus pada sumber daya yang berkelanjutan, Indonesia berkomitmen mengurangi 70 persen sampah plastik pada tahun 2025. Janji tersebut merupakan langkah positif menuju perubahan kebijakan tentang pengelolaan sampah. Namun, Undang-Undang Pengelolaan Sampah tidak mencantumkan rujukan khusus mengenai sampah plastik.

Terkait dengan plastik, ada plastik yang bisa terurai, plastik yang bisa didaur ulang, plastik yang bisa terurai secara biologis, dan alternatif dari plastik yang bisa menghasilkan kompos, semuanya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini penting untuk diketahui agar diketahui pula cara penanganannya.

Banyak orang salah paham mengenai plastik yang disebut-sebut bisa terurai. Sesungguhnya, plastik jenis ini ketika mulai hancur menyalurkan zat kimia berbahaya yang bisa masuk ke dalam rantai makanan dan membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia.

Sampah plastik dapat membunuh binatang laut karena terperangkap jaring ikan atau mati kelaparan sesudah memakan partikel yang tidak dapat diserap tubuhnya. Plastik yang mulai terurai mengeluarkan zat kimia berbahaya dan mencemari laut, serta membuat ikan dan makhluk laut lainnya mati. Nelayan pun terancam kelangsungan hidupnya karena laut yang tercemar.

Oleh karena itu, perlu komitmen yang kuat pemerintah dengan menghasilkan aturan lebih ketat yang membatasi penggunaan plastik, menetapkan standar untuk mengurangi limbah dalam pengemasan dan mewajibkan produsen bertanggung jawab terhadap pembuangan limbah. Aturan yang lebih ketat juga dapat mengatur kewajiban-kewajiban mengenai penggunaan ulang, daur ulang, dan pembuangan.

Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah menyatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memegang tanggung jawab bersama atas sampah. Namun, undang-undang tersebut tidak menjelaskan siapa melakukan apa.

Pemerintah pusat memiliki kekuasaan untuk menetapkan strategi dan kebijakan nasional. Pemerintah pusat adalah tingkat pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk menetapkan "norma, standar, prosedur, dan kriteria" (vide Pasal 7).

Pemerintah pusat juga berwenang menciptakan insentif dan disinsentif untuk mengurangi sampah (Pasal 21). Namun, tidak jelas apakah pemerintah daerah dapat melakukan hal yang sama. Terkait dengan itu, komitmen, konsistensi, dan kerja keras masih harus diperjelas dan diperkuat pemerintah Indonesia.

Berkaca pada China

Pemerintah China sejak 10 tahun silam berupaya menanggalkan predikat sebagai negara penyumbang sampah pertama terbesar di dunia. China terus berinovasi untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi dari pusat hingga daerah, menerapkan aturan ketat lengkap beserta insentif dan disinsentif, hingga sampah yang dikelola dapat menghasilkan sesuatu yang produktif, seperti listrik dan pupuk.

Lujianshan Waste Recovery Power Plan yang dioperasikan Beijing Shougang Biomass Energy Technology, misalnya. Pusat pengelolaan sampah di atas pengunungan di pinggiran kota Beijing itu merupakan fasilitas pengolahan sampah terbesar di dunia yang menghasilkan sumber energi. Fasilitas pengolahan sampah yang dibangun pada tahun 2012 itu mengelola seperdelapan sampah di Kota Beijing setiap harinya.

Beijing mengatakan bahwa pihaknya berencana menginvestasikan hampir 31,07 miliar dolar AS untuk pengolahan limbah rumah tangga saja di atas tahun 2016 s.d. 2020. Tak hanya itu, China melarang impor 24 jenis sampah dari luar negeri, termasuk plastik, kertas, dan tekstil sebagai upaya mengurangi polusi dan meningkatkan kesehatan masyarakat, mulai 1 Januari 2018.

Selama beberapa tahun belakangan, China merupakan tujuan utama bagi sampah dunia. Namun, banyak di antara sampah impor itu tergolong kotor secara lingkungan, bahkan ada yang berbahaya.

"Tujuan mendasar larangan itu adalah untuk memecahkan masalah polusi," kata Wang Jingwei, profesor di Shanghai Polytechnic University yang mengelola fasilitas daur ulang eksperimental dan memberi saran kepada pemerintah mengenai pengolahan limbah.

Komitmen China untuk memerangi polusi, sampah, dan limbah akan terus dilakukan hingga predikat sebagai penyumbang sampah pertama terbesar di dunia dapat ditanggalkan. Bagaimana dengan Indonesia?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: