Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekspor Pisang Mas Petani Binaan PT Great Giant Pineapple Naik 4 Kali Lipat

Ekspor Pisang Mas Petani Binaan PT Great Giant Pineapple Naik 4 Kali Lipat Kredit Foto: Antara/Aji Styawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kelompok tani pisang mas di Tanggamus, Lampung Timur, akan menjadi kelompok tani pertama, yang menerima manfaat fasilitas subkontrak kawasan berikat yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan  Cukai (Bea Cukai). Kelompok tani tersebut merupakan petani binaan dari PT Great Giant Pineapple (GGP) yang merupakan produsen dan eksportir nanas dan pisang yang melakukan usahanya secara terintegrasi. 

Government Relations and External Affair Director GGP Welly Soegiono mengatakan bahwa keberadaan fasilitas subkontrak kawasan berikat Bea Cukai di lahan petani ini merupakan fasilitas pertama yang diberikan oleh Bea Cukai di Indonesia dan kelompok tani binaan GGP juga menjadi kelompok tani pertama pemanfaat fasilitas ini.

"Kelompok tani binaan kami akan menjadi kelompok tani pertama pemanfaat fasilitas subkontrak kawasan berikat Bea Cukai, dan fasilitas ini juga yang akan kami presentasikan kepada Presiden RI Joko Widodo pada Selasa (27/3/2018) saat meninjau acara yang diadakan oleh Bea Cukai, bertema Silaturahmi Presiden RI dengan Pengguna Fasilitas Kepabeanan dan Peluncuran Perizinan Online," papar Welly.

Dengan tagline dari Bea Cukai, "Izin mudah, ekspor melimpah, investasi tambah, dan rakyat semringah",  dalam kesempatan tersebut Presiden RI Joko Widodo bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi akan meluncurkan sistem perizinan online fasilitas kawasan berikat dari sebelumnya yang membutuhkan waktu 10 hari masa pengurusan, kini dipangkas menjadi hanya 1 (satu) jam waktu pengurusannya. Dalam kesempatan tersebut dilakukan juga pemangkasan waktu perizinan bagi 45 izin transaksional menjadi tiga izin yang dilakukan secara online.  

Menurut perwakilan kelompok tani, Soleh dari Kelompok Tani Hijau Makmur di Tanggamus, Lampung, sebelum ada fasilitasi dari Bea Cukai, petani sulit memperoleh pupuk yang berkualitas. "Selain itu, harga pupuk bersubsidi juga mahal. Apalagi, jika dibandingkan dengan harga pupuk impor, selisihnya bisa sampai berkali-kali lipat," ujarnya.   

"Karena produk perusahaan kami adalah komoditi pertanian hortikultura, faktor penentuan biaya produksi (production cost) yang lebih efisien menjadi tantangan untuk dapat bersaing dalam pasar internasional. Terutama bagi eksportir seperti kami, di mana produk kami ditujukan untuk keperluan ekspor yang 80% ditujukan ke wilayah Amerika Utara dan Eropa maka peta persaingan produk pertanian hortikultura memang sangat ketat," jelasnya. 

Bahkan, sebelum GGP menerima fasilitas Kawasan Berikat Bea Cukai, keberadaan GGP belum diperhitungkan oleh pasar internasional. Namun demikian, setelah memperoleh fasilitas ini di tahun 2005, perusahaan mulai dapat berkompetisi, khususnya di pasar ekspor. Itu sebabnya sejak 2015, GGP berhasil menjadi produsen nanas kaleng terbesar ke-3 di dunia. Bahkan dua tahun kemudian, tepatnya pada 2017, GGP menjadi produsen nanas kaleng terbesar ke-2 di dunia.    

Dengan luas lahan 33 ribu hektare, dalam setahun kami mampu memproduksi lebih dari 12 ribu kontainer nanas kaleng dan 10 juta box buah-buahan segar berupa pisang, nanas, jambu kristal, dan buah-buahan segar lainnya. Hampir 100% produk nanas kaleng kami diekspor, dengan nilai ekspor setiap tahunnya mencapai ratusan juta dolar Amerika," tuturnya.

Welly menambahkan, sejak 2016, pihaknya mulai menjalin kerja sama kemitraan dengan para petani di wilayah Tanggamus, Lampung Timur. GGP mulai dengan membuat plot percontohan (demonstration plot/demplot) dengan areal seluas 0,5 hektare untuk menanam pisang mas. Dua tahun kemudian, kerja sama dengan petani sudah berkembang menjadi 300 hektare lahan penanaman pisang mas. Itu sebabnya sejak akhir 2017, produk pisang mas petani sudah bisa diekspor ke Malaysia dan Singapura, dengan rata-rata jumlah ekspor satu kontainer setiap minggu. 

Sistem kerja sama antara para petani sebagai mitra bagi GGP adalah kami memberikan bibit kepada mereka, panduan budidaya tanam, dan supervisi di lapangan. Saat ini perusahaan juga mengembangkan sistem aplikasi bernama eGrower, yang salah satunya berfungsi untuk mempermudah komunikasi antara perusahaan, melalui para supervisor lapangan, dengan koperasi, kelompok tani, dan para petani yang tergabung dalam kerjasama.  

Selain berisi panduan budi daya tanam, dalam aplikasi tersebut diberikan juga panduan berisi operasi standar manual yang harus dilakukan para petani setiap harinya, sebagai sistem kerja yang mengikat perusahaan melalui gabungan kelompok tani (gapoktan), termasuk juga koperasi yang menampung hasil tanaman para petani. Sistem eGrower juga berfungsi sebagai sistem yang dapat dipakai Bea Cukai dalam mengawasi pergerakan barang dari Kawasan Berikat GGP ke subkontrak kawasan berikat di lahan petani hingga pergerakan hasil produksi, baik yang dijual di pasar lokal maupun untuk keperluan ekspor dapat dimonitor. 

Melalui pola kemitraan ini, GGP tidak hanya bertindak sebagai off-taker, tetapi juga melakukan pendampingan bagi petani mulai dari penanaman, perawatan, panen, hingga pengepakan, serta mendistribusikan produk ke pasar-pasar yang menjadi andalan GGP, untuk produk Pisang Mas, Pisang Barangan, dan Pisang Raja Buluh. 

Dari hasil pemantauan di lapangan, para petani mengeluhkan tingginya harga pupuk dan harga sarana produksi (saprodi) lainnya, seperti pestisida, insektisida, dan lain-lain. Petani juga mengalami kesulitan  mendapatkan pupuk bersubsidi dari pemerintah. Melalui diskusi kami dengan pihak Bea Cukai, jelas Welly, akhirnya disepakati para petani akan dapat menikmati pupuk dan saprodi lainya yang diimpor perusahaan dengan harga yang kompetitif karena difasilitasi oleh Bea Cukai melalui pemanfaatan fasilitas subkontrak kawasan berikat di lahan petani. 

"Mengapa harga pupuk dan pestisida (herbisida) yang didapat dari impor harganya lebih kompetitif? Sebab ketika masuk ke kawasan berikat, baik pupuk dan pestisida tersebut diberikan penangguhan pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10% dan BM (Bea Masuk). Produk-produk tersebut pada akhirnya akan dibebaskan pengenaan PPN dan BM-nya karena akan dijual sebagai produk ekspor," ungkapnya. 

Inilah program kemitraan antara para petani, Bea Cukai dan perusahaan GGP yang kami kemas dalam Program Creating Shared Value (CSV). Berbeda dengan Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang hanya memposisikan petani dan masyarakat sebagai pihak yang perlu dibantu, dalam program CSV, para petani adalah mitra dan bagian penting dari bisnis kami, ujar Welly. Ada hubungan simbiosis mutualisme dalam program CSV GGP, dimana petani membutuhkan GGP, dan GGP membutuhkan para petani. 

Selain memperoleh benefit pembebasan bea masuk untuk material-material seperti pupuk dan herbisida yang umumnya diimpor dari negara lain, pada akhirnya negara akan menikmati perolehan devisa yang lebih besar, sebagai dampak meningkatnya produk ekspor setelah fasilitas ini diberlakukan.

"Kami memproyeksikan ke depannya, hingga tahun 2020, diharapkan luasan produksi dari program CSV bisa mencapai lebih dari 1.000 ha. Saat ini cakupan area seluruhnya berada di Provinsi Lampung dengan GGP sebagai basis ekologis, sebagai mitra petani dalam pengelolaan lahan produksi," pungkas Welly.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: