Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menyelamatkan Buruh Migran dari Hukuman Mati

Menyelamatkan Buruh Migran dari Hukuman Mati Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Muhammad Zaini Misrin, buruh migran asal Bangkalan, Jawa Timur menjalani eksekusi mati di Arab Saudi, pertengahan Maret lalu, setelah segala upaya pembebasannya baik melalui jalur hukum dan pemaafan menemui jalan buntu.

Zaini Misrin (47) yang bekerja sebagai sopir di Arab Saudi ditangkap pada 2004. Ia dituduh membunuh majikannya yang bernama Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy dan divonis hukuman mati pada 2008. Dalam kasus Zaini Misrin terungkap bahwa hingga divonis mati, ia menjalani proses hukum yang tidak adil. Ia dipaksa untuk mengaku melakukan pembunuhan setelah mengalami tekanan dan intimidasi dari otoritas Arab Saudi.

Pada proses persidangan hingga dijatuhkan vonis hukuman mati, Zaini Misrin juga tidak mendapatkan penerjemah yang netral dan imparsial. Zaini juga tidak didampingi pengacara saat diperiksa aparat. Padahal, terdakwa yang menghadapi ancaman hukuman mati wajib mendapatkan layanan bantuan hukum, penerjemah, konseling, maupun kesehatan.

Pemancungan Zaini Misrin itu menambah daftar kelam buruh migran Indonesia yang dieksekusi mati tanpa pemberitahuan resmi kepada Indonesia. Sebelumnya, eksekusi tanpa notifikasi dilakukan terhadap keempat tenaga kerja Indonesia (TKI) lainnya, yaitu Yanti Irianti, Ruyati, Siti Zaenab, dan Karni.

Atas kasus eksekusi Zaini Misrin, Kementerian Luar Negeri memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Osama Mohammed Al-Shuaibi untuk meminta penjelasan resmi dan melayangkan nota protes kepada Kerajaan Arab Saudi. Eksekusi tanpa notifikasi yang kembali terjadi dan dilakukan terhadap Zaini Misrin membuktikan bahwa hingga saat ini ada arogansi dari otoritas Arab Saudi.

Ketiadaan pemberitahuan tersebut sangatlah menyedihkan bagi Pemerintah Indonesia karena Arab Saudi terkesan menyepelekan wibawa bangsa yang berpenduduk lebih dari 250 juta ini. Hubungan bilateral Indonesia-Arab Saudi telah berlangsung lama dan melibatkan rasa saling percaya yang mendalam. Dua negara bukan hanya sebagai mitra kerja sama, tetapi juga saudara.

Sesuai notifikasi diplomatik yang dibuat pemerintah Arab Saudi yang ditujukan ke Kedutaan Besar RI, seyogianya pihak Arab Saudi memberitahukan semua tahapan berikut hari dan tanggal yang akan diberlakukan sebelum pelaksanaan hukuman mati.

Jika hal ini diterapkan secara benar oleh pemerintah Arab Saudi, ungkap Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Teuku Rezasyahakan, memungkinkan Kedutaan Besar RI mempersiapkan langkah-langkah hukum lanjutan, seperti mendekati keluarga yang terbunuh guna mendapatkan pengampunan dari mereka atas terpidana hukuman mati.

Rezasyah mengatakan ketiadaan pemberitahuan eksekusi ke Kedutaan Besar RI tidak salah secara hukum, namun secara etika tidak baik. Pada saat yang sama, di dalam negeri RI sendiri, pemerintah senantiasa memberitahukan detail prosedur sebuah penghukuman mati kepada perwakilan negara asal para terpidana mati tersebut.

"Apa yang dilakukan Arab Saudi mencederai pemerintah RI karena dianggap tidak bersikap proaktif. Padahal pemerintah RI senantiasa memonitor perkembangan hukuman mati ini dan tiba-tiba menerima berita yang mendadak dan mengagetkan tersebut," ujar dia.

Ia mengatakan pemerintah harus menindaklanjuti nota protes tersebut dengan perjanjian bilateral Indonesia-Arab Saudi yang lebih rinci dan tegas terkait sistem perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI), terutama buruh migran. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, kasus eksekusi Zaini Misrin tanpa notifikasi bisa terjadi kembali kepada TKI lainnya.

Data dari Migrant Care menyebutkan masih ada 21 buruh migran Indonesia yang terancam vonis hukuman mati di Arab Saudi. Bahkan, vonis hukuman mati sudah dijatuhkan kepada Tuti Tursilawati dan Eti binti Toyib dan tinggal menunggu eksekusi.

"Karena nama baik bangsa adalah taruhannya. Masyarakat Indonesia punya kecenderungan menyalahkan pemerintah RI, walaupun kesalahan prosedur dilakukan pihak asing. Padahal pemerintah telah bekerja keras melindungi warga negara," kata dia.

Ia mengharapkan pemerintah dan masyarakat yang peduli terhadap buruh migran dapat bersinergi untuk membuat pemetaan lokasi TKI.

"Pemetaan lokasi dengan koordinator dari pihak TKI sendiri. Sistem zoning semacam ini memungkinkan para TKI saling mencari tahu keberadaan sesama TKI, berikut masalah yang mereka hadapi," ujar dia.

Pemetaan dilakukan berdasarkan lokasi geografi sehingga dapat mendata TKI di lokasi tertentu sekaligus memasukkan data usia, lokasi kerja, jenis kelamin, dan status pekerjaan. Upaya tersebut harus langsung disosialisasikan sebelum mereka berangkat ke negara tujuan. Salah satu caranya dengan meminta kesediaan TKI yang ditokohkan untuk menjadi penghubung dengan KBRI.

Ia mengakui kehidupan para TKI di Arab Saudi sangat tertutup dan sulit didatangi. Oleh karena itu, ia meminta TKI harus lebih proaktif untuk senantiasa berkomunikasi dengan KBRI, KJRI, maupun pemuka TKI di wilayah mereka dengan ponsel mereka.

"TKI juga harus proaktif mengabarkan keberadaan mereka dan masalah yang mereka hadapi," ujar dia.

Selain itu, petugas KJRI maupun KBRI juga dituntut untuk selalu rajin melakukan kunjungan dan komunikasi dengan buruh migran.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah Arab Saudi tidak mengatur soal kewajiban negara memberitahu perwakilan apabila ada warga negara asing yang akan dieksekusi mati. Padahal, Arab Saudi itu peserta dari Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler di mana Pasal 36 menyebutkan ada kewajiban negara memberitahu perwakilan bila ada warga negara asing yang ditangkap dan ditahan serta dieksekusi hukuman mati.

Akan tetapi, lanjut dia, masalahnya Pasal 36 ini mungkin belum diterjemahkan ke dalam hak nasionalnya sehingga otoritas setempat merasa tidak terikat.

"Saya khawatir semua warga negara asing terpidana mati juga tidak diberikan pemberitahuan oleh Arab Saudi ke perwakilannya," ujar dia.

Oleh karena itu, ia menyarankan perwakilan negara-negara di Arab Saudi yang warganya akan dieksekusi hukuman mati untuk berkumpul dan bersama-sama bertemu dengan otoritas setempat agar mereka diberitahu kalau ada warga negaranya yang akan dieksekusi.

"Duta Besar Indonesia maupun negara-negara lainnya yang bertugas di Arab Saudi harus melakukan lobi dengan otoritas setempat. Sebaiknya jangan kepala negara yang mendesak itu karena akan ada resistensi dari Arab Saudi karena mereka tidak mau dipermalukan secara internasional," kata dia.

Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa apabila Arab Saudi tidak memberikan notifikasi, hal ini akan merepotkan pemerintah mereka masing-masing karena publiknya akan marah dan berimbang kepada hubungan bilateral.

"Jadi bukan pemerintah pusat yang mendesak Arab Saudi, melainkan kepala perwakilan di Arab Saudi," kata dia.

Selain itu, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengatakan berlakunya penerapan hukuman mati dalam hukum positif Indonesia menjadi rintangan bagi pembelaan buruh migran. Hal tersebut membuat upaya pembebasan WNI yang tersangkut hukuman mati di negara lain tidak memiliki legitimasi politik dan moral.

"Bagaimana Indonesia bisa mendesak negara lain untuk membebaskan warga negaranya, sementara hukum positif negara ini masih memberlakukan hukuman mati," ujar dia.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sebagai komitmen moral menentang hukuman mati terhadap siapapun.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: