Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Susahnya Menjaga Gizi Tetap Seimbang

Susahnya Menjaga Gizi Tetap Seimbang Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat. Setidaknya semboyan kuno itu masih dan akan tetap relevan dengan kehidupan manusia dari masa ke masa. Kondisi kesehatan seseorang itu, tidak terlepas dari awal perkembangannya yakni dari janin, lahir menjadi bayi dan tumbuh menjadi anak-anak hingga dewasa.

Menelaah hal itu, kesehatan merupakan hal mutlak yang harus serius diperhatikan oleh individu maupun kelompok untuk mencapai derajat kesehatan melalui campur tangan pemerintah dan masyarakat.

Untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat menurut Pakar Gizi dari Universitas Hasanuddin, Makassar Prof DR Razak Thaha terdapat sejumlah indikator berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yakni Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), Umur Harapan Hidup (UHH) dan Status Gizi.

Indikator tersebut ditentukan dengan empat faktor utama yaitu perilaku masyarakat, lingkungan, pelayanan kesehatan dan faktor genetika. Sementara di Indonesia keempat faktor itu telah menjadi kompleksitas dalam menentukan kondisi gizi masyarakat yang diperhadapkan pada beban ganda masalah gizi yakni di satu sisi menghadapi gizi kurang dan di sisi lain menghadapi gizi lebih.

Gizi kurang akan memicu terjadinya penyakit infeksi seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, dan campak, sedang gizi lebih -- umumnya ditemukan di kota-kota besar dan sudah terbilang maju di Indonesia-- memicu terjadinya obesitas dan penyakit Diabetes Melitus atau yang lebih dikenal dengan nama penyakit gula.

Berdasarkan hasil survei Pemantauan Status Gizi (PSG) Kementerian Kesehatan pada 2016, Sulsel menempati urutan ketiga nasional atau 35,6 persen prevalensi bayi Stunting dengan Umur 0-59 bulan yang mengalami stunting (tinggi badan tidak sesuai dengan usia/ kerdil) akibat kekurangan gizi. Ada dua daerah diatasnya yakni Nusa Tenggara Timur (NTT) urutan kedua dan Sulawesi Barat berada diurutan pertama.

Kondisi ini sangat miris jika dihubungkan dengan Sulawesi Selatan (Sulsel) yang terkenal sebagai penyangga pangan nasional, karena mampu menghidupi 12 provinsi di wilayah Timur Indonesia dan sebagian di wilayan Barat Indonesia. Setidaknya ini selalu didengung-dengungkan Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo pada dua periode masa pemerintahannya.

Rupanya persoalan gizi di lapangan tidak berbanding lurus dengan status daerah lumbung pangan nasional, karena menurut peneliti gizi Hammond (2000), status gizi dipengaruhi secara langsung oleh asupan zat gizi dan kebutuhan tubuh akan zat gizi, asupan zat gizi tergantung pada konsumsi makanan yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keadaan ekonomi, pola asuh, pola makan, dan kondisi emosional, perilaku ibu mengenai gizi seimbang, kepedulian orang tua, budaya dan penyakit infeksi.

Dengan demikian, meskipun suatu daerah sangat kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, namun jika tidak dikelola dengan baik, maka akan sulit melakukan pembangunan derajat kesehatan seperti yang didam-idamkan.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar dr Naisyah Tun Asikin, peranan gizi sudah mulai sejak awal kehidupan dan akan terus berlanjut yang nantinya akan menjadi sebuah siklus. Status gizi ibu akan berpengaruh terhadap asupan gizi anak dalam janin, apabila asupannya kurang maka akan beresiko menjadi berat badan lahir rendah (BBLR).

"Anak dengan BBLR, jika tidak ditangani dengan serius akan tumbuh besar menjadi anak yang pendek (stunting). Anak yang stunting cenderung akan sulit mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun psikomotorik yang erat kaitannya dengan kemunduran kecerdasan dan produktivitas," katanya.

Penyebab stunting sangat banyak, diantaranya adalah anemia pada ibu hamil, bayi lahir premature ataupun BBLR, pemberian ASI ekslusif, pola asuh ibu, penyakit infeksi yang diderita anak dalam waktu yang lama.

Untuk mengantisipasi itu semua, Dinas Kesehatan Kota Makassar bersama Dinas Kesehatan Provinsi mendukung upaya pemerintah menekan kasus gizi kurang dan stunting melalui program Expanding Maternal and Newborn Survival (EMAS) dan mengaktifkan sosialisasi peningkatan gizi keluarga melalui pos yandu, puskesmas dan puskesmas pembantu.

Naisyah mengatakan, secara berkala pihaknya bersama kader-kader posyandu dan penyuluh lapangan menyosialisasikan pentingnya peningkatan derajat kesehatan. Termasuk melakukan pendampingan pada calon ibu dan ibu hamil hingga pasca persalinan.

Pemkot Makassar sendiri, juga sudah menyiapkan call center 112 untuk layanan "Home Care". Melalui layanan ini, petugas kesehatan akan ke rumah pasien untuk memberikan tindakan atau merujuk dan membawa ke rumah sakit, tergantung kondisi pasien di lapangan.

Sementara Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Dr dr Rahmat Latief mengatakan, pihaknya senantiasa melakukan koordinasi dengan jajarannnya di tingkat kabupaten/kota untuk mengeliminasi persoalan gizi kurang dan stunting.

Pertumbuhan tinggi badan yang tidak normal pada masa kanak-kanak, lanjut dia, merupakan faktor risiko bagi meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif dan perkembangan motorik yang rendah, dan fungsi-fungsi yang tidak seimbang.

Kondisi itu mencerminkan suatu kegagalan proses pertumbuhan linier sebagai hasil ketidakoptimalan kesehatan dan atau kondisi yang berhubungan dengan gizi. Harus diakui, tingginya angka stunting pada populasi diasosiasikan dengan kemiskinan sosial ekonomi seperti yang terjadi di Sulbar yang sempat menempati posisi pertama pada 2016 yakni 39,7 persen bayi Stunting dengan Umur 0-59 bulan dan posisi kedua nasional pada 2017.

Peran Keluarga Persoalan gizi kurang dan stunting akibat kekurangan gizi kronis selain menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, juga peranan keluarga sangat penting dalam penentuan gizi anak.

"Pemahaman yang masih minim tentang pentingnya gizi seimbang yakni mengkonsumsi beraneka ragam makanan dan adanya faktor budaya turut mempengaruhi kondisi gizi anak di lapangan," kata Razak Thaha.

Membiasakan ibu hamil dan anak makan sayur, ikan dan aneka makanan begizi adalah penting untuk menghadirkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas. Sedang pemerintah di lapangan juga telah membantu dengan kebijakan melakukan fortifikasi untuk minyak goreng dan penggunaan yodium pada garam yang akan diperjualbelikan di pasaran.

Khusus terkait dengan faktor budaya, diakui turut berpengaruh dalam membentuk karakter "food habit" (perilaku makan) dan "food pattern" (pola makan) keluarga. Sebagai gambaran di kalangan Suku Bugis - Makassar, masih ada keluarga yang melarang anaknya makan ikan, karena khawatir anaknya akan cacingan.

Pandangan seperti itu kemudian tertanam di benak sang anak, sehingga menyebabkan anak kekurangan protein dan zat yodium, sehingga kelak menjadi faktor pemicu gizi kurang.

Hal itu diakui salah seorang warga di Amma'rang, Kabupaten Pangkep, Sulsel Naharia. Menurut ibu dari empat orang anak ini, persepsi kalau makan ikan dapat menyebabkan cacingan sudah diperoleh dari ayahnya, kemudian disampaikan ke anak-anaknya. Namun setelah ikut kegiatan Posyandu di daerahnya, kini sudah menyadari pentingnya memberikan aneka ragam makanan pada anak supaya tidak kekurangan gizi.

Lain halnya Sitti Jauriah warga di Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar yang mengaku rela menyisihkan sebagian biaya dapurnya untuk membeli susu formula, agar bayinya gemuk dan sehat seperti yang ditonton diiklan televisi.

Persepsi anak sehat dengan susu formula dan meninggalkan Air Susu Ibu (ASI) yang lebih bergizi, terserap di kalangan masyarakat marginal Kota Makassar.

Mencermati kondisi tersebut, pekerja sosial Muh Asir Ali yang kerap keluar masuk gang, terus membangun kesadaran ibu-ibu yang memiliki bayi dan balita agar memberikan ASI pada anaknya. Dengan pengetahuan tentang kesehatan dan gizi yang diperoleh dari petugas puskesmas setempat, lelaki lulusan sarjana ekonomi ini bersama-sama mengampanyekan program pemerintah yakni Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di Makassar.

Buah dari kerja keras dan tekad mengubah pola pikir masyarakat di sekitarnya ini, Asirpun terpilih sebagai Bapak Duta ASI yang mewakili Makassar ke tingkat nasional pada 2014.

Sedang dalam kaitannya untuk mendukung peningkatan gizi keluarga dan derajat kesehatan masyarakat, Pemerintah Kota Makassar dibawah nakhoda H Ilham Arief Sirajuddin saat itu mengeluarkan dua Peraturan Wali Kota (Perwali), yakni Perwali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Kesehatan Gizi dan Anak, dan Perwali Nomor 49 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

Dengan menelaah fenomena itu, kemudian bergerak bersama untuk mengatasi persoalan gizi kurang dan stunting di provinsi yang selalu surplus beras rata-rata 2,5 juta ton per tahun, maka bayang-bayang keterbelakangan SDM akan pupus dan berganti menjadi SDM yang handal siap hadir sebagai generasi pelanjut

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Gito Adiputro Wiratno

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: