Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

19,4 Juta Orang Indonesia Tidak Sanggup Penuhi Kebutuhan Pangan

19,4 Juta Orang Indonesia Tidak Sanggup Penuhi Kebutuhan Pangan Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Walaupun Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik, masih ada 19,4 juta warganya yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi masalah ini dengan meningkatkan pasokan melalui peningkatan produksi beras dan mengembangkan tanaman bernilai lebih tinggi. Namun, strategi ini terbukti tidak efektif.

Anggota Dewan Pembina Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Arianto A. Patunru, mengatakan bahwa fokus pemerintah pada pasokan pangan nasional mengacu pada pemahaman yang ketinggalan zaman tentang ketahanan pangan. Ketahanan pangan hanya dimaknai sebagai ketersediaan domestik dan stabilitas pasokan pangan.

“Sejak pertengahan 1990-an, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sudah menambahkan akses individu (keterjangkauan makanan dan preferensi makanan individu) dan pemanfaatan (keamanan pangan dan manfaat gizi) untuk mencapai yang disebut ketahanan pangan. Kedua dimensi ini mencerminkan sisi permintaan keamanan pangan dan hal ini yang diabaikan pemerintah dalam upaya menjamin keamanan pangan,” jelas Arianto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (3/4/2018).

Konsepsi keamanan pangan ini menunjukkan bahwa solusi yang lebih efektif untuk masalah ini adalah meningkatkan persaingan di pasar pangan domestik. Persaingan yang dimaksud adalah mengarah pada kemajuan teknologi, peningkatan kualitas makanan, dan penurunan harga.

Persaingan di pasar pangan domestik dan peningkatan ketersediaan pangan membuka peluang terciptanya pasar dan juga impor yang lebih murah. Para elit politik di Indonesia sebagian besar mengabaikan pentingnya impor untuk mencapai ketahanan pangan. Mereka memiliki pemahaman yang salah kalau impor adalah penyebab tidak tercapainya ketahanan pangan. Sejumlah undang-undang bahkan menetapkan impor hanya diperbolehkan ketika suplai domestik tidak cukup.

Arianto menambahkan, tidak ada pemerintahan yang berhasil merencanakan produksi dan konsumsi secara akurat untuk seluruh negeri, apalagi sebuah negara dengan populasi yang sangat besar seperti Indonesia.

Data pangan menjadi salah satu hal yang sering dipermasalahkan. Misalnya saja, data total luas panen sawah antara Kementerian Pertanian berbeda dengan data BPS. Kemudian data mengenai  jumlah impor garam industri yang diperlukan juga berbeda antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Perindustrian. Beberapa lembaga juga memiliki data konsumsi beras per kapita yang berbeda. Dengan ketidaksesuaian data ini, koordinasi pusat pasokan makanan tidak mungkin dilakukan.

“Ketika harga pangan di tingkat domestik melambung, pemerintah akhirnya mengizinkan impor bahan pangan. Namun para importir harus melalui proses perizinan yang rumit yang melibatkan beberapa pejabat pemerintah. Penundaan yang disebabkan oleh proses ini telah mengakibatkan kerugian Rp303 miliar atau setara dengan US$22 juta untuk pembayar pajak Indonesia sejak tahun 2010,” jelas mantan Kepala Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen Universitas Indonesia (LPEM UI) periode 2009-2012 ini.

Ia mengatakan bahwa harga daging sapi, beras, dan beberapa komoditas lainnya di Indonesia telah melambung di atas harga pasar internasional. Harga makanan eceran seringkali jauh lebih tinggi di Indonesia daripada di negara tetangga dan negara yang jauh lebih kaya. Harga yang tinggi ini sudah membebani konsumen sekitar US$98 miliar antara 2013 hingga 2015, bahkan melebihi jumlah pungutan Kebijakan Pertanian Bersama Uni Eropa pada konsumen Eropa.

Selain melambungnya harga pangan yang memberatkan konsumen, petani justru tidak mendapatkan keuntungan dari hal ini. Sebanyak 2/3 dari petani Indonesia adalah konsumen yang terkena dampak dari tingginya harga pangan. Mereka yang terdampak adalah para petani skala kecil yang memegang kurang dari 0,25 hektar lahan di Jawa Tengah dan hanya menghasilkan Rp500.000 atau sama dengan US$36,35 per orang per bulan.

Kebijakan swasembada, lanjutnya, dimaksudkan untuk melindungi petani. Tetapi para perantara, penggilingan beras, dan pedagang besar adalah pihak yang memperoleh manfaat terbesar kebijakan ini. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: