Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Permendag Nomor 6 Tahun 2015 Tidak Efektif Batasi Konsumsi Alkohol

Permendag Nomor 6 Tahun 2015 Tidak Efektif Batasi Konsumsi Alkohol Kredit Foto: Antara/Maulana Surya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 6 tahun 2015 tidak efektif membatasi konsumsi alkohol di Indonesia, bahkan justru berefek samping pada semakin sulitnya minuman beralkohol legal dijangkau oleh konsumen yang ingin minum. Akibatnya pilihan mereka sering jatuh pada minuman beralkohol oplosan yang mengakibatkan bertambahnya jumlah korban meninggal dunia akibat keracunan minuman beralkohol oplosan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Sugianto Tandra, mengungkapkan bahwa kebijakan yang tertuang dalam Permendag nomor 6 tahun 2015 harus dicabut untuk ikut menurunkan korban jiwa yang diakibatkan oleh minuman beralkohol oplosan. Maraknya konsumsi minuman beralkohol oplosan justru diakibatkan oleh terbatasnya akses terhadap minuman beralkohol legal, seperti pelarangan minimarket untuk menjual alkohol Tipe A (

“Jatuhnya korban akibat konsumsi minuman beralkohol oplosan terkait dengan beberapa hal. Salah satunya adalah kebijakan pembatasan peredaran dan penjualan minuman beralkohol di daerah. Kedua, pelarangan penjualan minuman beralkohol di minimarket dan toko lainnya,” ungkap Sugianto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (10/4/2018).

Berdasarkan data Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), terdapat peningkatan jumlah kematian akibat konsumsi minuman beralkohol oplosan pada periode tahun 2014 hingga 2018. Jumlah kematian akibat konsumsi minuman beralkohol oplosan pada periode ini berjumlah 546, sedangkan pada periode tahun 2008 hingga 2013 berjumlah 232.

Pada periode Januari hingga April 2018. sebanyak 72 nyawa sudah melayang akibat konsumsi minuman beralkohol oplosan. Kejadian yang berlangsung di beberapa lokasi yaitu Cicalengka (Kab. Bandung), Jakarta, Bogor, Kota Bandung, Tangerang, Bekasi, Padalarang (Kab. Bandung Barat), dan di Kabupaten Keerom, Papua diakibatkan oleh mudahnya akses ke minuman beralkohol oplosan dan juga karena murahnya harga.

Selain itu, pengenaan pajak cukai yang tinggi terhadap alkohol legal juga berkontribusi pada tingginya konsumsi minuman beralkohol oplosan. Kebijakan ini menyebabkan minuman beralkohol yang legal sulit terjangkau secara harga bagi mereka yang memang mengonsumsi alkohol.

“Kasus di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung juga memberikan contoh efek samping dari pembatasan minuman beralkohol legal seperti itu. Berbeda dari minuman beralkohol legal, produksi maupun peracikan oplosan sama sekali tidak terawasi. Sehingga seringkali alkohol yang dimasukkan berupa methyl alkohol atau etanol yang bukan untuk konsumsi manusia,” jelasnya.

Jumlah konsumen maupun volume konsumsi alokohol di Indonesia termasuk yang paling kecil di dunia. Namun, kebijakan tidak boleh mengesampingkan mereka yang tergolong konsumen, terutama yang berasal dari kalangan kurang mampu. Alih-alih melarang konsumsi, lanjut Sugianto, sebaiknya kebijakan difokuskan untuk meningkatkan edukasi mengenai bahaya alkohol. Kalaupun mereka memilih untuk tetap minum, harus dipastikan mereka mendapatkan akses untuk mengonsumsi minuman beralkohol yang legal. 

Pemerintah harus lebih memahami aspek kesehatan masyarakat jika kebijakan pelarangan terus dilakukan. Pemberlakukan sanksi hukum terhadap pelaku black market dan pemilik tempat yang menjual minuman oplosan dan ilegal juga wajib dilakukan supaya memberikan efek jera dan memutus rantai peredaran minuman jenis ini di masyarakat.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: