Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

CEO ISS Indonesia: Create Your Own Battlefield

Oleh: Elisa Lumbantoruan, CEO ISS Indonesia

CEO ISS Indonesia: Create Your Own Battlefield Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

We have to create your own battlefield. Itulah prinsip mendasar dalam berbisnis. Sepanjang karier di sejumlah perusahaan, prinsip tersebut menjadi pegangan untuk menjadi pemenang. Kita tidak mungkin bersaing di medan perang yang telah ditentukan oleh para kompetitor. Kitalah yang semestinya menciptakan medan perang itu. Apabila ada kompetitor yang turut bertempur dalam medan tersebut, tidak masalah, tetapi prinsipnya kita yang menentukan game-nya.

Perusahaan harus selalu unggul dibandingkan dengan para kompetitor. Oleh karena itu, perusahaan harus menciptakan value. Perusahaan harus kuat dalam value creation. Salah satu value creation yang ditempuh oleh ISS Indonesia adalah memberikan kebutuhan yang klien butuhkan.

Dalam menciptakan medan pertempuran itu, kita berusaha untuk mengubah industri, player, dan juga customer dari jasa labor supplier menjadi penyedia jasa pengelola fasilitas. Tantangannya ada pada keberadaan pasar untuk segmen tersebut. Bukan tidak ada pasarnya, pasar untuk segmen pasar tersebut tetap ada. Di Jakarta, kami bersaing dengan lebih dari 700 perusahaan. Saat ini, jumlah karyawan kami lebih dari 60 ribu orang, sedangkan nomor duanya atau kompetitor mungkin hanya sekitar 10 ribu orang.

Bagi banyak industri, revolusi industri ke-4 sangat menantang. Revolusi industri yang ke-4 atau lebih banyak dibicarakan sebagai disruptif yang melahirkan digitalisasi dan sharing economy, sebenarnya ini hal yang normal saja. Itu adalah sebuah inovasi yang berkelanjutan. Kita melihat teknologi sebagai enabler untuk mempercepat segala prosesnya.

Saya tidak terlalu takut dengan disruptif. Kita selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Inovasi terjadi, sudah pasti the way we do things akan berubah. Teknologi hanya enabler, yang berubah sebenarnya dari sisi way the control yang kita berikan.

Dulu, industri atau ekonomi selalu supply centric. Jadi, strateginya kita push. Saya punya produk, saya push ke market. Contohnya perusahaan taksi yang tradisional, mereka push ke market. Anda tidak punya pilihan kalau ingin menggunakan taksi. Mereka punya sistem dan kita harus ikuti sistem mereka, tidak ada pilihan. Akan tetapi, sekarang orang memakai taksi online untuk memesan taksi. Bukan karena harganya murah, tetapi karena mereka memiliki kontrol. Mereka bisa menentukan sendiri. Jadi, intinya ada pada kontrol.

Dalam disruptif seperti ini, kita harus cepat mengantisipasi semua perubahan. Kita yang hari ini menjadi korban dari perubahan berusaha untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan itu. Oleh karenanya, kita lebih baik menjadi perusahaan yang agile. Jadi, kita mempunyai agility, yaitu kita bisa memprediksi perubahan atau bila perlu kita yang mendorong perubahan tersebut. 

Nah, ISS mempraktikkan perubahan tersebut. Kami sudah berubah dari tahun 2015, dari labor supplier menjadi service provider. Tahun ini, kami canangkan bahwa kami akan berubah ke experience management pada tahun 2020. Mulai sekarang, kami sudah berinvestasi. Dalam fase experience management tersebut, semakin banyak keterlibatan customer dalam bisnis proses.

Kita juga dapat melihat implementasi experience management yang banyak diterapkan dalam bisnis restoran terkini. Mereka bergerak dari komoditas ke experience. Misalnya, Anda kalau pergi ke rumah makan Padang, makanan di sana sudah tinggal makan, jadi sangat simpel dan mudah. Sedikit rumit, misalnya pergi ke  Hanamasa, di sana Anda mengambil sendiri makanannya, lalu masak sendiri, tetapi harganya lebih mahal, padahal barangnya sama. Mereka (Hanamasa) melibatkan konsumen lebih banyak aktivitas pada proses memasak tersebut. Semakin banyak bisnis proses yang kita ikut sertakan ke costumer, semakin mahal harganya. Itulah yang dinamakan experience.

Kita melakukan hal serupa dengan menyediakan yang namanya work journey atau touch point. Pertama, masuk ke gerbang Anda akan bertemu dengan satpam kita. Satpam lalu mengatur untuk menuju ruangan saya. Itu touch point yang pertama.

Touch point lainnya, saat berhenti di depan kantor kita, di sana ada taman dengan bangunan yang bagus dan indah. Nah hal itu disebut cleaning, itulah touch point kedua. Lalu Anda bertemu dengan resepsionis dan orang yang kemudian mengantarkan sampai ke ruangan saya. Itu semua adalah the whole touch point dari orang yang berkunjung ke tempat ini. Semua itu dikelola oleh ISS. Semua experience tersebut akan memorable bagi orang yang kita bisa involve di sana.

ISS melakukan perubahan karena ada urgensinya. Meski perusahaan sudah sangat jauh dibandingkan dengan kompetitor lain. Kalau dulu butuh 5—10 tahun untuk bisa catching up, sekarang semakin lama semakin cepat. Mungkin orang hanya butuh 2—3 tahun untuk mengejar kita. Oleh karena itu, kita harus berlari lebih cepat.

Dalam perjalanannya membentuk citra tersebut, perusahaan juga melakukan kebijakan yang selaras dengan perusahaan facilities provider. Perusahaan tidak hanya sekadar mendidik orang menjadi tenaga terampil, tetapi juga membentuk attitude, skill, dan knowledge. We educate people to think something. Pada umumnya, people train to do something. Mereka diberikan training untuk mendapatkan sesuatu.

ISS menonjolkan purpose. Apa purpose klien perusahaan? Misalnya, kalau kita bekerja di lingkungan rumah sakit, apa purpose bekerja di rumah sakit? Pasien selalu berharap cepat sembuh. Pengunjung rumah sakit selalu berharap bisa memperoleh kondisi yang nyaman. Oleh karena itu, kita harus mengedukasi mereka yang bekerja di rumah sakit bahwa harus berpikiran untuk mendukung pasien agar cepat sembuh.

Perusahaan juga harus melihat bahwa kepuasan bukan lagi dinilai langsung oleh kliennya, tetapi konsumen akhir dari klien kita. Pihak yang menentukan kualitas dari pekerjaan kita ini bukan diri kita. Kita mungkin punya system operating procedure (SOP) atau key performance index (KPI), tetapi yang menentukan itu adalah user. Oleh karena itu, telah terjadi pergeseran dari B to B menjadi B to B to C. Pada akhirnya, faktor ‘C-nya’ yang akan menentukan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: