Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lima Taktik CEO XL Axiata Tetap Eksis di Era Digital

Lima Taktik CEO XL Axiata Tetap Eksis di Era Digital Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak pertama kali masuk di XL Axiata pada tahun 1991 lalu, Dian Siswarini yang pada April 2015 lalu didapuk menjadi CEO sudah mengenyam berbagai posisi di perusahaan, mulai dari VP department network and engineering, director of network services, chief digital service officer, dan group chief of marketing and operation officer Axiata Group Berhad. 

Berbagai pengalaman tersebut membuat Dian makin piawai dalam meracik strategi agar tetap menjadi pemain kunci di bisnis telekomunikasi. Sempat coba-coba membangun lini bisnis baru di layanan digital, seperti Elevenia (e-commerce), Adreach (digital advertising), XL Tunai (digital money), layanan cloud, hingga data center, perusahaan akhirnya menyadari untuk kembali fokus ke core business lantaran bisnis tersebut ternyata karakternya membakar uang: need lots of money.

“Jadi, sekarang kita lebih memilih untuk berpartner dengan para pemain OTT. Daripada berhadapan head-to-head dengan mereka, kami lebih memilih berkolaborasi dengan mereka. Sama seperti konsep The Avenger, para superhero membentuk tim dan saling bekerja sama,” kata dia.

Dian menganggap sekarang adalah eranya deep collaboration, bukan gagah-gagahan untuk terjun seorang diri di bisnis tertentu. Untuk itu, berikut adalah 5 taktik Dian agar tetap eksis di era bisnis telekomunikasi saat ini.

Pertama, berkolaborasi dengan over the top company. Selain berpartner dengan induk perusahaan, Axiata Group yang fokus bermain di bisnis digital service, perusahaan juga menjalin kolaborasi dengan OTT provider lain. Misalnya dengan Google lewat program YouTube Tanpa Kuota. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah mahalnya bisnis digital itu sendiri. Sebagai contoh, pemain besar seperti Alibaba, masuk dengan dana miliaran dolar AS, sekitar US$1,2 miliar atau Rp16 triliun. Jika punya dana sekitar US$500 juta atau sekitar Rp7 triliun, perusahaan lebih memilih untuk pengembangan core business.

Kedua, alokasi resources difokuskan ke core bisnis. Perusahaan lebih realistis dalam mengukur kemampuan mereka terjun di bisnis baru. Apakah perusahaan memiliki resources yang cukup untuk  bertempur? Jika tidak, lebih baik dana yang ada dialokasikan untuk sesuatu yang sudah jelas hasilnya. Fokus ke core business bukan berarti perusahaan tidak memberikan layanan konten. Namun, layanan konten diberikan dengan cara kolaborasi sehingga tidak perlu menggunakan capex sendiri. Dengan demikian, pelanggan tetap dapat membeli layanan musik, layanan video, streaming, chatting, dan lainnya.

Alasan lain, menjaga pangsa pasar. Meski OTT telah lama mendisrupsi industri telekomunikasi, misalnya dalam hal layanan suara dan pesan singkat, tetapi customer identity atau database tetap dimiliki operator. Operator telekomunikasi terus melakukan peran-peran yang masih relevan untuk para customer-nya karena selama lisensi untuk pengadaan infrastruktur tidak diberikan kepada OTT. Operator telekomunikasi masih tetap aman. “Kalau Anda berkomunikasi melalui WhatsApp, Anda tidak ingat nomor lawan bicara Anda ‘kan? Jadi, gak masalah customers pakai WhatsApp atau Facebook, tetapi tetap bayar juga ke kami untuk internetnya.

Ketiga, pelibatan tim. Berbeda dengan gaya kepemimpinan para CEO di masa lalu yang very powerfull person dan menjadi center of the company, CEO era sekarang memiliki konsep yang lebih kepada we are nobody without somebody else. Jadi, dalam mengerjakan segala sesuatu harus dengan kerja sama. Untuk itu, penting bagi semua leaders bisa menjadi team player. Bahkan, Dian tak segan-segan untuk menunjukkan dirinya bukan orang yang tahu semuanya dan perlu dukungan dari anggota tim yang lain. She isn’t smartest person in the room.

Berkaitan dengan ini, Dian menciptakan atmosfer keterbukaan di kantor. Siapa pun bisa bebicara dengan CEO tanpa harus membuat janji atau mengikuti prosedur. Harapannya, setiap orang tak segan untuk mengeluarkan pendapat sehingga tim memiliki difference yang semakin baik. Dengan budaya kerja yang lebih partisipatif, everyone involve into the decision making process. Walaupun demikian, secara hierarki putusan akhir ada pada saya.

Keempat, menggerakkan generasi milenial. Bagi Dian, generasi milenial merupakan aset perusahaan. Ia banyak belajar dari generasi milenial yang baru masuk ke perusahaan. Saat ini, boleh dibilang generasi milenial mendominasi angkatan kerja di perusahaan, hampir sekitar 55% dari seluruh pekerja. Mau tidak mau, Dian harus mengakui bahwa generasi milenial memiliki cara kerja, sudut pandang dan horizon yang baru (misalnya mereka berpikir untuk 3-6 bulan ke depan, dibanding generasi sebelumnya yang berpikir untuk 3-5 tahun ke depan). Mereka sangat kreatif dan dan memiliki banyak ide, meski terkadang tidak bisa mem-follow up ide mereka sendiri.

Bahkan, untuk mengakomodir generasi milenial, perusahaan menciptakan sesi Meet the CEO untuk memotivasi mereka. Mengingat karakteristik generasi milenial yang tidak suka hierarki, kantor XL Axiata dirancang dengan konsep openess tanpa ada sekat-sekat. Cara memotivasi mereka juga berbeda sehingga perusahaan membuat satu kompetisi mengingat mereka belum tentu termotivasi dengan kompensasi dan benefit berupa uang. Justru, mereka lebih memilih untuk menerima apresiasi langsung dari CEO. Kadang-kadang mereka memfoto momen tersebut dan mem-posting-nya di Instagram.

Berhadapan dengan milenial, perusahaan merevisi banyak hal, seperti manajemen, benefit, dan proses kerja. Nantinya, bila generasi milenial ini menjadi pemimpin dan decision maker maka perusahaan sudah berada di mode yang cocok dengan the new generation.

Kelima, tidak takut keluar dari zona nyaman. Kesempatan tidak datang dua kali. Itu yang ada di benak Dian saat melakukan pengembangan bisnis layanan digital. Saat mendapat challenge untuk masuk ke digital service dari atasannya, ia tidak berpikir dua kali.

Padahal, sewaktu menjadi direktur network services, ia sudah memiliki 1.000 anak buah, lalu tiba-tiba masuk ke digital service dan tidak punya siapa-siapa. Kalau demotivasi, tentu hal itu akan membuat diri saya down. Akan tetapi, saya justru menjadikannya sebagai sebuah tantangan.

Pun, ketika ditantang untuk belajar ke headquarter regional, tanpa pikir panjang ia menerima tawaran menjadi group chief of marketing and operation officer yang bertugas mengecek subsidiaries di berbagai negara, yakni Bangladesh, Sri Lanka, Kamboja, Malaysia, Indonesia, Singapura, Nepal, dan India. Positifnya, ia belajar bahwa ada market yang ahead of us, seperti Singapura dan Malaysia. Ada market yang mirip dengan kita, seperti Sri Lanka. Ada juga market yang berada di belakang kita, seperti Bangladesh dan Kamboja.

Ia juga belajar bahwa pattern telekomunikasi selalu sama, tetapi timing-nya berbeda. Singapura biasanya jauh lebih cepat. Malaysia sekitar satu atau dua tahun lebih cepat dibandingkan Indonesia. Setelah itu, satu atau dua tahun kemudian Indonesia lebih dulu dari Sri Lanka. Apa yang terjadi pada satu atau dua tahun lalu di Malaysia, kini terjadi di Indonesia. 

When we plan something, We have to discipline in doing that. Continuously, persistence, discipline, and time management. Itulah poin-poin penting untuk mencapai puncak kesuksesan menurut saya,” kata Dian.

Baca Juga: Meningkat 21 Persen, Bandara Ngurah Rai Layani 3,5 Juta Penumpang Hingga Februari 2024

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: