Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rupiah dan IHSG Melemah, Investor Diminta Tak Panik

Rupiah dan IHSG  Melemah, Investor Diminta Tak Panik Kredit Foto: Boyke P. Siregar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Investor disarankan tidak panik dalam merespons ketidakpastian (uncertainty) di bidang ekonomi untuk menahan kejatuhan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Chief Economist & Investment Strategist Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan mengungkapkan pelemahan rupiah dan IHSG hanya temporer dan lebih banyak dipicu faktor eksternal. Di antaranya rencana kenaikan Fed Funds Rate (FFR), ancaman perang dagang AS-RRT, dan kenaikan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS.

"Dalam situasi yang sangat bergejolak, investor jangan panik. Biasanya pada panik dan kemudian berhenti karena takut rugi. Ini sangat disayangkan," kata Katarina dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (26/4/2018).

Ia pun yakin rupiah dan IHSG akan kembali menguat karena fundamental ekonomi nasional masih kokoh.

"Fundamental ekonomi Indonesia masih sangat kuat, ekonominya bertumbuh secara kredibel, pemulihan terjadi bertahap sehingga lebih siap menghadapi goncangan eksternal," tambahnya.

Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Di pasar spot antarbank Jakarta, rupiah selama tahun berjalan (year to date/ytd) atau sejak 2 Januari hingga 25 April  2018 melemah 2,4%. Sementara berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah pada periode yang sama terkoreksi  ke level Rp13.888 meski kemarin menguat 12 poin.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah yang dipicu oleh gejolak global terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar surat berharga negara (SBN) dan saham Indonesia BI mengidentifikasi gejolak tersebut terjadi sebagai dampak kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS), perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik. 

Selain itu, gejolak juga bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik terkait kebutuhan pembayaran impor, utang luar negeri, dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada triwulan II.

"Untuk itu, BI akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya," ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: