Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indonesia Siap Menyusul dalam Revolusi Digital Payment

Indonesia Siap Menyusul dalam Revolusi Digital Payment Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

China memang luar biasa. Revolusi digital payment-nya telah merambah ke berbagai bidang. Cukup dengan platform QR code maka ponsel di sana menjadi alat pembayaran yang paling sakti. Anda mau naik bus, sewa sepeda, bayar tagihan listrik, bayar tagihan air, beli buah-buahan di pasar, sampai memberi uang kepada pengamen. Ya, Anda tidak salah baca, memberi uang kepada pengamen. Cukup tempelkan ponsel Anda kepada QR code yang bersangkutan, dan – voila – Anda berhasil bertransaksi.

Di negara yang dipimpin Xi Jinping ini ada dua pemain besar yang berkuasa, yakni WeChat dan Alipay. Mau tahu jumlah transaksinya? Pada tahun 2016 saja mereka berhasil membuat transaksi sebesar US$5 triliun. Meningkat 200% dari tahun 2015 atau 50 kali besarnya dibandingkan mobile payment dari AS yang masih didominasi oleh kartu kredit dan online payment. Luar biasa.

Sebuah laporan dari CBS menyebutkan bahwa "cash is not king anymore in China". Bahkan, mereka yang masih menggunakan cash dianggap aneh di sana. Hanya orang tua yang tidak mengerti teknologi yang menggunakan cash. Survei yang dikutip CBS menyebutkan 40% masyarakat China hanya membawa uang cash tidak lebih dari US$15 per orang.

Menurut laporan ini, salah satu sebab mobile payment, kita sebut saja begitu, sangat merajalela karena kebanyakan masyarakat China tidak memiliki kartu kredit. Mereka loncat dari masyarakat berbasis uang tunai ke masyarakat berbasih ponsel untuk pembayaran alias mobile payment.

"Mereka kini sudah menjadi masyarakat tanpa cash (cashless society)," ujar Chrisma Albandjar, Chief Communication Officer DANA dalam seminar Strategi Zaman Now Perkuat Pembayaran Nontunai.

Revolusi cashless society terjadi dalam tempo tiga tahun. Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia tidak tertutup kemungkinan mengalami ledakan pembayaran digital yang berbasiskan perangkat mobile (mobile phone) karena lompatan-lompatan seperti ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Misalnya, saat negara-negara lain melalui proses kematangan fix phone sebelum migrasi ke mobile phone, Indonesia justru langsung melompat ke mobile phone dan meledak jumlah penggunanya. Oleh karena itu, transaksi sistem pembayaran berbasis mobile phone sangat potensial di Indonesia.

Apalagi berdasarkan data Hootsuite sampai Januari 2018, jumlah pengguna mobile phone sudah mencapai 177,9 juta pengguna atau sekitar 67% dari jumlah penduduk di Indonesia. Begitu pula dengan penetrasi pengguna internet yang sudah mencapai 50% dari penduduk Indonesia atau sebanyak 132,7 juta pengguna.

Potensi tersebut akan semakin besar pada beberapa tahun mendatang. Prediksinya sampai dengan tahun 2020, pengguna internet bisa mencapai 180,5 juta pengguna atau dengan penetrasi sekitar 68%. Begitu pula dengan pengguna smartphone yang diprediksikan bisa sampai 90% penetrasinya.

Fenomena-fenomena tersebut tentunya tercermin dengan tipikal masyarakat Indonesia masa depan yang akan didominasi generasi milenial. Generasi tersebut adalah generasi-generasi yang lahir dan menggunakan platform online/digital dan terkoneksi dengan sosial media. Semakin besar jumlah generasi tersebut akan semakin memberikan ruang gerak pertumbuhan yang lebih tinggi untuk pembayaran berbasis digital (mobile). 

Saat ini penggunaan layanan pembayaran berbasis mobile didominasi oleh Go-Pay dan T-Cash. Pengguna mereka masing-masing sudah mencapai sekitar 10 juta. Pemain lainnya yang mulai berkembang dan tumbuh adalah PayPro dan OVO membuntuti mereka dengan jumlah pengguna masih di bawah delapan juta. Menurut riset yang dilakukan MDI Vetures dan Mandiri Sekuritas, nilai transaksi melalui pembayaran berbasis mobile akan mencapai Rp459 triliun pada tahun 2020.

Metode pembayaran berbasis digital dengan media smartphone, seperti QR Code menghadapi tantangan. Indonesia yang sedang mengembangkan metode pembayaran tersebut harus belajar dari pengalaman yang terjadi di China. Mulai dari tantangan penyalahgunaan data pengguna hingga pemalsuan QR Code yang berakibat raibnya uang dari transaksi antara pembeli dan penjual.

Penulis: Arif Hatta dan Muhamad Ihsan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: