Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menakar Dampak Disrupsi Ekonomi Digital di Indonesia

Menakar Dampak Disrupsi Ekonomi Digital di Indonesia Kredit Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Meskipun baru sekitar 50 persen penduduk Indonesia yang punya akses internet, disrupsi ekonomi digital yang mengandalkan kecepatan analisis data benar-benar telah membuat semua pelaku ekonomi tradisional -- dari pemerintah, korporasi besar, sampai kaum pekerja -- kewalahan.

Disrupsi pada era digital telah memaksa dunia perbankan dan manufaktur mengubah secara radikal bisnis mereka untuk tetap bertahan. Sementara pemerintah masih gamang dalam meregulasi disrupsi ini sebagaimana nampak maju-mundurnya peraturan Kementerian Perhubungan soal taksi dalam jaringan (daring atau online).

Apa itu Disrupsi dan Revolusi Industri Keempat? Disrupsi secara umum bisa diartikan sebagai sebuah inovasi yang berpotensi menggantikan produk dan jasa oleh perusahaan-perusahaan besar. Inovasi ini pada umumnya melibatkan pengumpulan dan analisis data berjumlah besar untuk menciptakan konsumen baru serta mengarahkan perilaku mereka.

Contoh mudahnya Facebook. Raksasa sosial media itu menggunakan jutaan data dari tombol 'suka' atau 'like' untuk menganalisis kecenderungan perliku pengguna agar para pengiklan bisa memasarkan produk mereka kepada kelompok demografi yang tepat. Bisnis ini jelas mengganggu pemasukan iklan dari media konvensional seperti televisi. Menurut Bank Dunia, inovasi yang disruptif ini dimungkinan oleh sebuah gelombang perkembangan pesat teknologi bernama revolusi industri keempat yang ditandai dengan maraknya otomatisasi dan robotisasi melalui mesin yang bisa belajar secara mandiri (artificial intellegence--AI).

Lalu apa saja dari kedua fenomena ini yang sudah terjadi di Indonesia?

Disrupsi di Indonesia

Disrupsi pada sektor teknologi finansial di Indonesia mengguncang bisnis bank-bank konvensional dengan kehadiran pemain-pemain baru seperti Go-Pay yang berhasil mengubah perilaku transaksi masyarakat tanpa bergantung pada perbankan.

Presiden Direktur Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan lembaga finansial baru seperti GrabPay punya keunggulan besar dalam hal analisis data serta kemudahan dan kecepatan transaksi yang tidak dipunyai oleh pemain lama seperti Bank Mandiri.

"Untuk merespons hal ini kami mulai menerapkan otomatisasi di hampir segala bidang, mulai dari pembukaan rekening sampai ke permohonan kredit," kata Kartika.

Pernyataan Kartika tentang otomatisasi ini tentu saja mengindikasikan akan adanya pengurangan tenaga kerja di Bank Mandiri yang biasa melakukan pekerjaan secara manual untuk diganti dengan mesin. Dia tidak menjelaskan hal itu namun mengatakan pihaknya kini membutuhkan lebih banyak ilmuwan data serta insinyur perangkat lunak untuk mendesain proses otomatisasi tersebut.

"Hingga kini kami masih kesulitan menemukan ilmuwan data ataupun insinyur perangkat lunak karena mereka lebih tertarik bekerja di perusahaan seperti Google," kata dia.

Hal yang sama juga terjadi di sektor manufaktur yang harus menggunakan otomatisasi teknologi cetak tiga dimensi (3D printing) dan AI untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, kata Direktur Eksekutif General Electric (GE) Indonesia, Handry Satriago.

Namun hal yang paling menarik dari cara GE mengubah bisnis mereka adalah bagaimana raksasa manufaktur terbesar kelima di dunia itu dalam mengalihdayakan inovasi sehingga tidak lagi bergantung pada investasi besar di bagian penelitian dan pengembangan (research and development). Handry menceritakan bagaimana kantor pusat GE di AS sering menggelar lomba desain komponen mesin yang akan GE kembangkan lebih lanjut di laboratorium mereka sendiri. Contoh ini mengindikasikan kecenderungan dari perusahaan-perusahaan besar untuk mengalih-dayakan (outsource) sebagian dari fungsi mereka ke pihak ketiga.

Praktik alih-daya inilah yang pada umumnya dilakukan oleh para start-up sektor transportasi seperti Go-Jek dan Grab di seluruh dunia yang kemudian memunculkan masalah hubungan tenaga kerja mengingat para mitra tidak mempunyai hak layaknya buruh biasa seperti tunjangan kesehatan dan hari tua.

Dengan demikian, disrupsi teknologi dan revolusi industri keempat di Indonesia sebagaimana terjadi di sektor finansial dan manufaktur akan berpotensi berdampak pada dua hal, pemotongan jumlah karyawan dan masalah hubungan tenaga kerja. Belum ada penelitian di Indonesia yang menunjukkan berapa banyak pekerjaan yang hilang, namun lembaga konsultasi bisnis McKinsey memperkirakan ada sekitar 400 juta pekerjaan yang akan digantikan oleh otomatisasi dan robotisasi.

Respons Pemerintah

Menanggapi situasi ini, pemerintah tampak masih meraba-raba dan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan. Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pihaknya tengah merancang kebijakan keringanan pajak bagi perusahaan yang menginvestasikan dana besar untuk penelitian dan pengembangan di bidang teknologi.

Namun yang terjadi seperti kasus GE, perusahaan itu justru menyerahkan sebagian fungsi penelitian dan pengembangan ke masyarakat yang mensyaratkan tingkat pendidikan tinggi -- yang membutuhkan investasi dari pemerintah dan oleh karena itu butuh pemasukan pajak yang besar. Saat membicarakan tentang kemungkinan hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi dan robotisasi, Sri Mulyani juga hanya mengutarakan sejumlah pilihan kebijakan tanpa menegaskan apa yang akan dilakukan pemerintah.

"Kami bisa merancang jaringan keamanan sosial seperti tunjangan bagi pengangguran atau pendidikan vokasional yang sesuai kebutuhan industri," kata Sri Mulyani.

Rancangan kebijakan paling komprehensif yang dikeluarkan oleh pemerintah soal antisipasi disrupsi ini adalah Making Indonesia 4.0 dari Kementerian Perindustrian yang baru diluncurkan pada bulan lalu.

"Ini adalah langkah pemerintah untuk menyiapkan diri menghadapai revolusi industri keempat," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Tetapi 10 strategi implementasi yang diutarakan oleh Airlangga sama sekali tidak menyentuh soal potensi hilangnya pekerjaan dan pengaturan hubungan tenaga kerja yang baru.

Visi Making Indonesia 4.0 hanya merupakan upaya untuk mengembangkan beberapa sektor di mana Indonesia punya keunggulan komparatif seperti industri makanan dan minuman, otomotif, tekstil, elektronik, dan kimia. Tidak dijelaskan bagaimana integrasi teknologi baru ke dalam lima sektor itu bisa menciptakan tenaga kerja baru atau mengintegrasikan sektor pertanian dengan industri yang selama ini menjadi persoalan klasik di Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: