Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

3 Game Changers Angkasa Pura II

3 Game Changers Angkasa Pura II Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Angkasa Pura (AP) II selaku operator Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta dan 14 bandara lainnya di Indonesia Bagian Barat mematok menjadi World Class Airport pada 2020. Untuk mencapai sasaran tersebut, tiga skenario besar yang menjadi Game Changers disiapkan. Akankah Game Changers ini membawa perubahan Bandara Soetta dan lainnya?

"Selamat pagi, Bu. Bisa saya bantu kopernya,” ujar seorang helper berkaus biru muda di Terminal I-C Bandar Udara SoekarnoHatta, Tangerang. Koper-koper pun diletakkan di sebuah trolly, lalu helper pun membawa barang-barang penumpang sampai ke counter check-in maskapai. Usai koper-koper tadi masuk ke bagasi pesawat, selesai sudah tugas seorang helper. 

Namun, siapa yang menyangka bahwa petugas helper itu adalah Direktur Utama PT Angkasa Pura (AP) II, Muhammad Awaluddin. Pada Jumat pagi, 8 September 2017 lalu, orang nomor satu di AP II—pengelola Bandara Soetta—ini sedang menyamar sebagai seorang helper. Ia melakukan itu untuk mengetahui kondisi lapangan karena adanya keluhan akan pelayanan helper di bandara yang jadi trending topik di media sosial.

Aksi Awaluddin menyamar jadi helper tidaklah lepas dari bingkai besar visi AP II yang mematok menjadi World Class Airport dengan membidik “On Becoming The Best Smart Connected Airport Operator in the Region” pada 2020. Untuk menggapai target itu, perusahaan menyusun Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2016—2020. Inilah bangun fondasi perusahaan dalam mengkreasi tahapan program strategis korporasi (corporate strategic) menuju visi korporasi.

Ketika Awaluddin menyamar sebagai helper, tema besar RJPP 2017 AP II berbunyi “Service Excellent”. Semua program perusahaan mengarah ke pelayanan prima di 13 bandara yang dikelola AP II, dan tambahan dua bandara lagi yang baru masuk dalam kelolaan perusahaan, yakni Banyuwangi (Jawa Timur) dan Kertajadi (Jawa Barat). Setiap ada keluhan customer sekecil apa pun akan direspons cepat dan dicarikan solusi oleh manajemen AP II. Dalam spirit membangun service excellent itulah kenapa Awaluddin menyamar jadi helper.

Berbekal spirit service excellent pula AP II diganjar penghargaan bergengsi dari World Airport Survey yang dilakukan Skytrax bertajuk “The World Most Improved Airport 2017”. Survei ini menjaring opini pengalaman traveller terhadap fasilitas Bandara Soetta mulai dari check-in, kedatangan, transit, belanja, keamanan, imigrasi, hingga gate keberangkatan. Selain itu, AP II menjadi bandara peringkat ketujuh dunia dengan kategori “Most Connected Airport in The Wolrd” dan peringkat pertama di Asia Pacific versi Megahubs International Index of British Institution, AOG. 

Di luar itu, AP II juga meraih empat kategori The Asia-Pacific Stevie Awards 2017, yakni Gold Winner untuk “Innovative Management in Business Product & Service Industries”; Gold Winner “Innovative in Customer Service Management, Planning, Practice”; Silver Winner “Innovation in Business Information Apps”; dan Bronze Winner “Excellence in Innovation in Business Product & Service Industries”.

Memasuki 2018, RJPP AP II merumuskan tema besar “Growth Accelaration”. Guna mengakselerasi pertumbuhan perusahaan, tiga program besar dirancang. Pertama, di 15 bandara yang dikelola AP II dipatok menjadi “One Million Aircraft Movement” melalui optimalisasi jam operasional, dan perluasan kapasitas penumpang dan pesawat. AP II juga membangun runway ketiga, east cross taxiway (ECT), dan revitalisasi Terminal I & II di Bandara Soetta. Untuk program tersebut, perusahaan mengalokasikan dana Rp18 triliun. 

Kedua, accelerated revenue growth melalui inorganic business growth strategy dengan menggenjot kinerja anak-anak usaha AP II, seperti PT Angkasa Pura Solusi (digital passenger service), PT Angkasa Pura Properti (mengelola hotel bandara), PT Angkasa Pura Kargo (bisnis kargo). AP II menargetkan revenue anak usaha sebesar Rp1,7 triliun (menyumbang 18% dari target revenue AP II sebesar Rp9,4 triliun pada 2018). Perusahaan berharap peningkatan kontribusi bisnis nonaeronautical (bisnis retail, jasa, properti, dan kargo) mampu menyetor dari semula 40% menjadi 60%.

Ketiga, airport digital journey experience. Program ini merupakan integrasi teknologi yang disematkan di berbagai layanan yang dinikmati penumpang secara langsung dengan menggunakan aplikasi mobile di bandara, baik itu pre-journey, in-journey, dan post-journey. Melalui program ini, customer akan mendapatkan pengalaman di bandara yang bebas ribet dan tidak bikin stres. Untuk itulah, AP II mengoptimalisasi digital infrastruktur dalam setiap touchpoint di 15 bandara. Muara dari program ini menjadikan bandara yang dikelola AP II sebagai “Smart Airport”. 

Menyongsong 2019 yang merupakan tahun politik, AP II mengusung tema bertajuk “Global Partnership”. Persiapan untuk mengarah kolaborasi tersebut sudah dilakukan sejak 2018. Ambil contoh ketika merancang area komersial di Terminal 3 Ultimate di Bandara Soetta, AP II menggandeng Incheon Airport Corporation (IAC), pengelola Bandara Incheon, Korea Selatan. Pihak IAC bertindak selaku konsultan yang disewa kurun dua tahun oleh AP II guna menyiapkan kawasan komersial Terminal 3 Ultimate termasuk strategi pemasarannya.

Saat menapaki 2020, dengan semua tahapan yang dilalui dengan program-program unggulannya, semua bandara yang dikelola AP II diharapkan sudah masuk kategori World Class Airport. Sementara untuk Bandara Soetta, perusahaan mematok predikat “The Best Smart Connected Airport in The Region” dengan menjadi bandara berbintang lima versi Skytrax dari saat ini (2018) berbintang tiga. Tambahan dua bintang akan disumbang dari penyelesaian kereta api bandara dan hotel bandara.

3 Game Changers

Menurut Muhammad Awaluddin, langkah-langkah strategis AP II menjadi World Class Airpot dengan predikat “The Best Smart Connected Airport in The Region” pada 2020 sejatinya terbingkai dalam Three Game Changers dalam mengelola bisnis airport. The Three Game Changers itu: Differentiated Airport, Growth Beyond Core, dan Digitalised Service and Operation. 

The First Game Changers: Differentiated Airport. Dalam mengelola ke-15 airport, AP II sangat memperhatikan keunikan lokal di setiap bandara. Ambil contoh Bandara Banyuwangi yang baru Januari 2018 masuk dalam kelolaan AP II. Bandara ini diposisikan sebagai tourism airport yang model layanannya mesti cepat dan agile serta dekorasi bandara yang tidak banyak pernak-pernik, meski kekhasan Banyuwangi akan menonjol.

“Sekitar 75% pergerakan penumpang itu dari turis asing melalui transportasi udara,” tutur Muhammad Awaluddin. Itu artinya, sektor pariwisata bertindak selaku The Leading Sector dan pengelola bandara menjadi tim penyokong arah kebijakan dari Kementerian Pariwisata yang memasang target 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara dengan perkiraan perolehan devisa di atas US$20 miliar pada 2019. Dari sektor pariwisata inilah nantinya diharapkan menjadi penghasil devisa terbesar negara mengalahkan ekspor minyak sawit. 

The Second Game Changers: Growth Beyond Core. Inti bisnis (core business) airport adalah aeronautical, seperti sewa pemakaian runway pesawat, taxiway, apron, dan sewa pemakaian galbarata. Inilah bisnis inti AP II yang sudah digeluti berpuluh-puluh tahun. Dengan skenario The Second Game Changers, perusahaan merancang pertumbuhan pendapatan (revenue) tidak lagi mengandalkan pada bisnis aeronautical, tetapi go beyond the core. Selama ini, bisnis aeronautical menjadi penyumbang sekitar 60% dari pendapatan perusahaan dan 40% dari noncore business. Situasi ini mau dibalik dengan Game Changers tadi.

Pihak AP II sudah menyiapkan tiga anak usaha dalam kerangka membalik sumber pendapatan itu, nantinya pendapatan terbesar dari nonaeronautical business. Ketiga anak perusahaan yang disiapkan, yakni PT APS yang bergerak di bisnis facility services dan passenger services berbasis digital, PT APP yang menggarap dan mengelola hotel Bandara International di Soetta dan Kualanamu, PT APK yang membangun integrated warehouse aeroplex di 10 bandara yang dikelola AP II. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, AP II mematok sumbangan revenue dari anak usaha sebesar Rp1,7 triliun pada 2018 atau baru menyumbang 18% dari target konsolidasi AP II. 

AP II berharap dengan terus dibangunnya berbagai fasilitas di bandara yang dikelola perusahaan, seperti Terminal 3 Bandara Soetta dengan fasilitas komersial yang dikelola Incheon Airport Corporation plus pembangunan hotel bandara di Soetta dan Kualanamu, akan menjadikan bandara sebagai one stop service airport. “Nantinya, bandara tidak lagi sebagai tempat orang datang dan pergi, tetapi menjadi aerotropolis, yakni sebuah kota di dalam kota,” papar Awaluddin, mantan petinggi di PT Telkom Indonesia ini.

The Third Game Changers: Digitalized. Service and Operation. Sebagai figur berlatar bisnis telko, Awaluddin mafhum benar bahwa bisnis telko itu “rohnya” mengelola trafik data dan suara, bisnis pariwisata itu mengelola trafik turis dari originasi (daerah asal) menuju destinasi (tujuan) begitu sebaliknya, dan bisnis airport itu mengelola trafik pergerakan sekitar 105 juta passenger dan barang. Pada The Third Game Changers ini, AP II merancang semua bandara yang dikelola menjadi The Best Smart Connected Airport. Untuk itu, ada tiga hal yang dipersiapkan, yakni membangun smart infrastructure, connected content, dan airport community.

Fasilitas smart infrastructure yang dibangun AP II, yakni jaringan fiber optik di kompleks bandara dan digitalisasi di setiap customer touch point dengan membangun mobile apps bertajuk “Indonesia Airport”. Di apps ini, customer bisa mendapatkan informasi engkap terkait jadwal penerbangan real time, pesawat delay atau on schedule, check in secara digital, boarding pass digital, informasi antrian taksi secara digital, info shuttle bus, pemesanan parkir kendaraan, petunjuk transportasi umum, e-commerce, pelaporan kehilangan barang secara digital. (Lihat: tulisan Digitalisasi AP II).

Adapun program smart content dimaksudkan bagaimana mengolah big data trafik orang, barang, pesawat, transportasi umum, dan lainnya menjadi sesuatu yang bermakna sehingga menjadi valuable information. Di Indonesia, Airport Apps berisi banyak content yang bermanfaat bagi customer sehingga mereka merasakan dan mengalami customer experince yang berbeda. Dari program smart airport inilah diharapkan akan terbangun airport community, baik dari kalangan internal di bandara maupun customer. Jadi pada intinya, melalui program smart airport, setiap touch point customer menjadi titik perhatian pengelola bandara.

Nah, dengan adanya The Three Game Changers AP II ini, sudah barang tentu diharapkan akan berlangsung perbaikan kualitas layanan dan fasilitas bandara. Tinggal langkah berikutnya, yakni bagaimana memonetasinya. Dibangunnya Airport Operation Control Center (AOCC) di Bandara Soetta, manajemen AP II secara real time bisa mengetahui pergerakan duit yang sudah masuk dari semua fasilitas komersial yang disewakan, atau pergerakan pesawat yang landing, take-off, delay, dan yang menginap, atau kondisi perparkiran serta lainnya. Dengan informasi yang real time seperti ini, memudahkan Muhammad Awaluddin dan tim BoD AP II dalam mengambil keputusan secara cepat dan akurat.

On The Right Track 

Ibarat pepatah, tiada gading yang tak retak, begitu pula semua rancangan program AP II menjadikan 15 bandara yang dikelolanya menjadi World Class Airport bukan tanpa ruang untuk perbaikan. Pakar manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, menuturkan pengalaman dan pengamatannya sebelum dirinya dipercaya menjadi Komisaris Utama PT Angkasa Pura II pada September 2016. Sebagai frequent flyer yang seminggu dua kali terbang ke berbagai lokasi di dalam dan luar negeri, bandara baginya sudah menjadi second home. Ia terkadang mandi, istirahat, belanja, makan, dan bekerja di bandara. Komplain yang meluncur terhadap bandara yang dikelola AP II sebagai bandara yang kumuh.

Rhenald Kasali tak memungkiri ada kegelisahan sementara anggota direksi AP II di era sebelum Awaluddin masuk untuk melakukan program transformasi. 

Salah satu kendala yang dihadapi direksi ketika itu masih kuatnya praktik KKN, seperti dalam hal penerimaan pegawai yang masih dilingkup pegawai AP II dan praktik governance yang diabaikan. Dengan kondisi seperti itu, pegawai AP II pun terperangkap dalam comfort zone. Bermula dari kegelisahan inilah gagasan transformasi pun meluncur sejak 2008. Pembangunan Terminal 3 Ultimate menjadi momentum transformasi itu. 

“Terminal 3 Ultimate ini menjadi babak baru bagi industri bandara di Indonesia,” tulis Rhenald Kasali dalam buku Agility, Bukan Singa Yang Mengembik. Dari sisi pembangunan, terminal itu memakai konsep baru, yakni design & build yang mampu memangkas waktu tempuh penggarapan, dari semula dipatok empat tahun menjadi hanya dua tahun. Lalu dari sisi luas bangunan, Terminal 3 Ultimate yang sebesar 422.804 meter persegi merupakan terluas di Indonesia, bahkan di atas Terminal 3 Changi Airport, Singapura yang hanya 380.000 meter persegi. Daya tampung Terminal 3 Ultimate lebih besar dari Changi yakni 25 juta penumpang berbanding 22 juta per tahun. Juga penerapan teknologi terbaru, seperti baggage handling system (BHS) yang menyematkan barkode di setiap bagasi sesuai tujuannya. 

Direktur Eksekutif Lembaga Manajemen FEB UI, Toto Pranoto, tidak memungkiri adanya perubahan pada diri AP II. Itu terlihat dari perbaikan finansial dan lahirnya program transformasi. Kinerja keuangan mengalami peningkatan pendapatan sebesar 18% dari Rp5,6 triliun (2015) menjadi Rp6,6 triliun (2016). Begitu pula pada 2017, pendapatan Rp8,1 triliun atau naik 18% dari 2016. “Peningkatan ini didorong pendapatan berbasis nonaeronautic based, seperti jasa logistik dan sektor properti,” ujar dia. 

Yang monumental, kata Toto Pranoto, ketika manajemen dipimpin Budi Karya Sumadi (kini Menteri Perhubungan), AP II meluncurkan program transformasi berupa perubahan mindset dan kultur perusahaan yang berorientasi pada service oriented. Sebelum program transformasi ini dijalankan, kondisi AP II lebih lekat dengan budaya yang mirip birokrasi karena status perusahaan sebagai pemegang mandate duopoly pengelolaan bandara di Indonesia bersama PT Angkasa Pura I sehingga customer tidak memiliki pilihan.

Sementara itu, CEO Lion Air, Edward Sirait, tidak menampik langkah-langkah perbaikan pelayanan di bandara-bandara yang dikelola AP II memang sudah semakin baik. Namun, sebagai mitra bisnis tentu Lion Air membandingkan dengan pengelolaan bandara-bandara lainnya di luar negeri yang lebih baik dari AP II dengan tingkat harga yang kompetitif. Ia menunjuk hal sederhana untuk diperhatikan manajemen AP II, yakni fasilitas ruang perkantoran maskapai dan toiletnya yang dinilai masih kurang memadai apabila dibanding bandara di luar negeri yang juga Lion Air sewa. “Ini masukan dari sisi kami selaku maskapai yang menjadi mitra kerja pihak AP II,” tutur dia.

Berbekal spirit transformasi menjadi perusahaan yang service oriented melalui 3 Games Changers, AP II sudah memperlihatkan perubahan wajah bandara-bandara yang dikelolanya memenuhi standar world class airport. Harapannya, dengan arah kebijakan AP II yang sudah on the right track ini akan membawa perusahaan sampai pada visi yang dituju pada 2020. Atau setidaknya, terus memperbaiki peringkat Bandara Soetta dari posisi 45 versi Skytrax saat ini (2018) bisa menembus sepuluh besar sebagai The World’s Top 10 Airport.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: