Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

3 Game Changers Bikin Wajah Bandara AP II Jadi World Class Airport

3 Game Changers Bikin Wajah Bandara AP II Jadi World Class Airport Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Apakah ada bandar udara di Indonesia yang sudah berstatus World Class Airport? “Sudah ada, itu di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta,” jawab Muhammad Awaluddin, CEO PT Angkasa Pura II, selaku airport operator Bandara Soetta dan 14 bandara lainya di Indonesia. Pada 2017, Bandara Soetta dianugerahi “The Most Improved Airport” dari Skytrax; dan menjadi nomor satu sebagai “The Most Connected Airport di Asia Pacific” dari Megahubs International Index of British Institution, AOG.

Untuk menggapai predikat sebagai the world class airport, sudah barang tentu banyak upaya transformasi di diri AP II. Sejak Awaluddin jadi komandan di AP II pada September 2016, ia menyusun Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2016—2020 dengan target menjadi The Best Smart Connected Airport Operator. Guna memburu target itulah, AP II meluncurkan 3 Game Changers.

Untuk menggali pemikiran besar Awaluddin dalam mentransformasi 15 bandara yang dikelolanya menjadi world class airport, wartawan Warta Ekonomi, M. Ihsan, Cahyo Prayogo, Agus Aryanto, dan fotografer Sufri Yuliardi melakukan penggalian pemikirannya di Kantor AP II di Perkantoran Bandara Soetta, 28 Maret 2018. Berikut petikannya.

Bisa dijelaskan, apa bedanya bandara yang sudah world class dengan yang belum dan bagaimana Anda menjadikan bandara di bawah kelola AP II menjadi kelas dunia?

Apabila bicara Bandara Soekarno Hatta atau bandara di mana pun di Indonesia, saya rasa bandara itu adalah tempat yang kategorinya sangat banchmarkable dan comparable. Kalau Anda terbang dari Soetta dan mendarat di Changi Airport yang memakan waktu sekitar satu jam, Anda sudah bisa langsung membandingkan apa yang ada di sini (Soetta) dan di sana (Changi). Begitu pula apabila Anda terbang sekitar lima jam ke Bandara Incheon Airport di Korea Selatan atau Haneda Airport di Jepang. Anda langsung bisa membandingkan atau menjadikan benchmarking. 

Jadi, dengan kondisi seperti ini, bandara merupakan tempat yang comparable dan benchmarkable sehingga dalam setiap pembuatan bandara di mana pun tidak bisa memakai local standard. Dia harus memakai global standard. Inilah yang sekarang sedang diupayakan di semua bandara yang dikelola oleh AP II. Dalam hal ini, bukan saya bermaksud tidak menghargai local standard, tetapi karena memang standar ini merupakan sesuatu yang mesti diadopsi. Ambil contoh bandara kecil seperti Sibolangit di Tapanuli Utara, apa iya, mesti memakai global standard? Menurut hemat saya, harus karena bandara tersebut melayani rute Singapura-Silangit-Singapura, kelak akan ada rute baru, yaitu Silangit-Penang. 

Bisa dijelaskan yang dimaksud bandara dengan global standard itu seperti apa? 

Global standard artinya world class standard. Acuannya banyak, di industri transportasi udara, khususnya pengelolaan bandar udara, kami  mempunyai banyak standar yang acuannya ke global standard tadi. Ada Skytrax Standard dan airport service quality standard yang dikeluarkan oleh Airport Consult International (ACI). Ini yang kemudian kami adopsi semua. Jadi, Terminal 3 Soetta sekarang—sampai hal-hal yang kecil—harus mengikuti global standard. Misalnya penulisan di signing board, itu ada acuan global standard-nya, seperti bahasa yang pertama dipakai adalah bahasa Indonesia, lalu ada bahasa asing kedua (Inggris), dan ketiga (Arab).

Contoh lain yang sederhana seperti mengurus bagasi, juga ada global standard-nya. Kami bersyukur di Indonesia sudah ada aturan terkait hal ini, yakni Peraturan Menteri Perhubungan No. 178 Tahun 2015. Intinya, first baggage in harus sudah selesai dalam arti sampai di tangan customer dalam kurun 20 menit atau paling lama 40 menit. Contoh lain, check in system. Dulu, penumpang pesawat harus antre di counter check in maskapai di bandara, entah ia bawa bagasi atau tidak. Sekarang ini, kecenderungan orang tidak mau diatur oleh siapa pun termasuk oleh pengelola bandara. Dengan kemajuan teknologi, check in bisa dilakukan aplikasi teknologi digital, penumpang yang tidak bawa bagasi bisa langsung check in dan mendapat digital boarding pass. 

Jadi, semua proses itu dilakukan secara cepat melalui kemajuan teknologi?

Ya. Meski demikian, bagi kami selaku pengelola bandara, dwelling time passenger di airport justru harus lama dengan maksud agar mereka bisa menikmati environment dan experience yang nyaman dan aman selama di bandara. Mereka bisa berbelanja, melakukan aktivitas lain termasuk business meeting, atau kerja sekali pun sambil menanti boarding tiba. Inilah yang yang menjadi visi kami di AP II, yakni menjadikan semua bandara yang kami kelola menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi customer.

Lalu, apa yang Anda lakukan untuk menggapai visi tersebut? 

Itulah mengapa sejak saya bergabung di AP II pada September 2016, kebetulan pada saat itu sedang dilakukan review atas rencana jangka panjang perusahaan (RJPP) dalam artian corporate strategic scenario. Di situ saya punya banyak waktu dan berdiskusi dengan banyak pihak, kemudian mereview kembali visi Angksa Pura II ini. Dari sinilah lahir visi AP II yang baru berbunyi “To Become The Best Smart Connected Airport Operator in The Region”. Visi itu kami tuangkan dalam satu staging corporate scenario secara tahunan dalam sebuah buku bertajuk RJPP. 

RJPP inilah yang kami pakai sebagai rujukan dan dijalankan secara konsisten mengikuti skenario yang sudah dituangkan di situ. Ambil contoh, program tahun 2017 lalu mengusung tema “Service Excellence”. Semua program utama perusahaan termasuk target-targetnya harus mengacu tema itu. Termasuk ketika saya ingin mengetahui layanan helper bandara, yang waktu itu sempat disorot customer karena dianggap kurang memuaskan. Oleh karenanya, saya pernah menyamar menjadi petugas helper di bandara untuk mengetahui kondisi lapangan seperti apa. Ini semua dilakukan karena memang spirit pada 2017 mengusung service excellent.

Kalau tahun 2018 ini, tema yang diusung apa? 

Untuk tema di 2018 berbunyi “Growth Acceleration" guna mempercepat pertumbuhan perusahaan. Lalu untuk 2019 temanya ditetapkan “Global Partnership” yang tidak mudah untuk dieksekusi, oleh karenanya pada Semester II 2018 mesti sudah disiapkan. Tahun 2020, bandara AP II sudah menjadi “Best Smart Connected Airport in the Region”. Kami mencoba konsisten dalam menjalankan setiap staging dari corporate scenario dalam RJPP yang selaras dengan visi dan misi.

Bisa dijelaskan cara Anda mengeksekusi setiap corporate scenario secara konsisten merujuk RJPP?

Saya coba tinjau dulu ke corporate strateginya karena pijakan kami itu harus benar. Kalau konsep berpikir benar, dalam bertindak juga pasti benar. Secara korporasi, strategi itu terbagi tiga: corporate level strategy, business level strategy, dan functional level strategy. Seorang CEO dan anggota dewan direksi, mereka bermain di level corporate strategy, meski begitu ia juga harus paham di level business dan functional strategy. Nah, corporate strategy menjadi landasan pijak perusahaan.

Di level corporate strategy masih terbagi menjadi tiga, yakni directional strategy, portfolio strategy, dan parenting strategy. Dalam bingkai corporate strategy inilah kami menempatkan kaitan antara induk perusahaan (AP II) dan anak perusahaan (PT Angkasa Pura Solusi, PT Angkasa Pura Propertindo, dan PT Angkasa Pura Kargo) masuk dalam bingkai parenting strategy yang disusun merujuk pula RJPP.

Parenting Strategy terhadap anak usaha dilakukan melalui mekanisme control strategy. Apa yang dikontrol? Ada tiga, yakni strategy control, planning control, dan financial control. Dari sinilah kami menyelaraskan program kerja anak-anak usaha dengan RJPP.

Jadi, tidak boleh ada induk usaha dan anak usaha jalan sendiri-sendiri. Secara grup usaha, induk, dan anak usaha harus satu kesatuan, baik itu dalam strategy, planning, dan financial. Control strategy menjadi vital dalam hal ini. Mekanisme kontrol yang manual bisa dikerjakan melalui rapat gabungan antara direksi induk usaha dan anak usaha yang digelar secara bulanan. Di sinilah setiap anak usaha mempresentasikan program kerja mereka. Kami pun mengetahui kondisi riil setiap anak usaha. Sejatinya, antara induk dan anak usaha memburu dua value yang sama, yakni yield dan gain value. Akan tetapi, ketika induk dan anak usaha bersinergi, ada satu value lagi, yakni synergy value. Hal-hal inilah yang sebelumnya belum pernah diukur. 

Sebagai mantan orang telko, apakah Anda tidak membangun model pengendalian berbasis digital yang bisa mengetahui kondisi perusahaan secara real time? 

Kami memiliki yang namanya Smart Airport Dashboard System. Di dashboard ini, kami bisa mengetahui secara real time flight movement per detik, ini sudah mencapai 107 flight plus yang scheduled, dan total menjadi 204 ribu pesawat. Kalau jumlah ini ditambah yang unscheduled 29 flight, total menjadi 233 ribu pesawat. Itu angka untuk kuartal pertama. Kalau 233 pesawat dikalikan empat kuartal, total menjadi 932 pesawat, ini sudah mendekati target 1 juta pergerakan pesawat. Padahal, angka itu belum termasuk yang peak dan low season.

Melalui dashboard ini, kami juga bisa memantau pergerakan penumpang pesawat (passenger movement). Pada 2017 lalu, pergerakan penumpang mencapai 105 juta. Sampai 28 Maret 2018, passenger movement di Bandara Angkasa Pura II mencapai 15 juta. Begitu pula di dashboard ini, kami bisa memantau omzet tenant-tenant perusahaan yang sudah mencapai angka per detik ini sebesar Rp590 miliar (Januari—Maret 2018). Melalui dashboard ini, kami juga bisa memantau kinerja bagian service dan operation. Misalnya, hasil survei toilet di bandara secara riil. Kalau dulu, laporan seperti ini menggunakan Excel dan ditulis sehingga merepotkan.

Dari dashboard ini bisa mengetahui semua pergerakan di Bandara Soetta mulai dari Terminal 1, 2, dan 3?

Semua data bisa diketahui baik secara daily, weekly, monthly, maupun annualy. Ini contoh saja, yang memberi pendapat excelent atas pelayanan ke kami, persentasenya sebesar 71,9%. Namun, kita harus concern pada yang memberi penilaian very poor, meski nilainya kecil, yakni 1,28%. Ini mungkin bisa terjadi di terminal 1 atau 2, kalau 3 sepertinya bagus. Adapun terkait bagasi, yang kami ukur adalah bagasi on time performance antara first baggage dan last baggage sekitar 94,7%. Artinya, first baggage memakan waktu 20 menit dan yang last baggage sekitar 40 menit

Melalui dashboard ini, kami juga memantau pergerakan pesawat, slot penerbangan, airport helper, hingga tingkat pemakaian parkir. Misalnya, saya bisa mengetahui berapa jumlah pesawat yang menginap di Bandara Soetta kemarin malam secara real time. Sebelum ada dashboard ini, kami sungguh tidak mengetahui jumlah pesawat yang menginap setiap hari. Melalui dashboard ini bisa diketahui pula lamanya satu pesawat on the ground dengan memperhitungkan dari waktu mulai on block.

Contoh, ada satu pesawat (ia menyebutkan nama maskapainya) yang diam di bandara terbilang cukup lama, yakni sejak pukul 13:45 pada 27 Maret 2018, dan baru boarding pukul 05:30 pada 28 Maret 2018. Bagi kami sebenarnya tidak ada masalah, toh maskapai itu bayar biaya menginap pesawat. Akan tetapi kalau areal parkir pesawat tadi bisa dipakai untuk pergerakan pesawat lain, level of productivity tentu jadi lebih bagus lagi. Berdasarkan informasi dashboard ini, kami juga mengetahui berapa pendapatan dari bisnis aeronautical dan nonaeronautical.

Kalau tidak keliru, sumber pendapatan Changi Airport lebih besar nonaeronautical ketimbang aeronautical-nya. Kalau AP II?

Changi International Airport sumber pendapatan terbesar dari nonaeronautical. Ini kebalikan dari pendapatan di AP II saat ini, yang terbesar masih bersumber dari bisnis aeronautical sekitar 59% dan nonaeronautical 41%. Nah, kami ingin membalik formasi itu melalui Three Game Changers dalam mengelola bandara. Ketiga game Changers itu, yakni Differentiated Airport, Growth Beyond Core, dan Digitalised Service and Operation.

Bisa dielaborasikan ketiga elemen Game Changers AP II itu?

Game Changers pertama, yakni Differentiated Airport. Saat ini, AP II mengelola 15 bandara, tentu untuk setiap bandara tidak bisa disamaratakan meski secara standar memakai global standard. Menurut hemat saya, setiap bandara itu harus memiliki diferensiasi mulai dari konsep operating model dan service model. Ambil contoh Bandara Bayunwangi, Jawa Timur, yang baru dikelola perusahaan pada awal Januari 2018 lalu. Di bandara ini, customer jangan berharap akan dilayani seperti di Bandara Soekarno-Hatta. Kalau di Soetta, customer akan bertemu dengan customer service yang rapih, pakai sepatu roda, dan feminim, sedangkan di Banyuwangi karena memposisikan sebagai tourism airport, model layanannya sporty, cepat, dan agile dengan tanpa meninggalkan budaya lokal, seperti memakai pakaian khas Udeng Banyuwangi.

Game Changers kedua, Growth Beyond Core. Selama ini, yang menjadi core business AP II, yakni aeronautical, seperti sewa pemakaian runway pesawat ketika landing dan take off, taxiway, apron, dan pemakaian garbarata. Melalui Game Changers kedua ini, kami ingin mendorong bisnis nonaeronautical lebih besar lagi dari sekarang ini melalui pengembangan bisnis di properti, kargo, dan ritel. Itu pula yang mendorong kami mengembangkan bandara tidak sebatas menjadi tempat orang datang dan pergi, tetapi juga menjadi aerotropolis, yakni sebuah kota di dalam bandara. Saat ini, AP II sedang membangun hotel bintang empat berkapasitas 150 kamar di kawasan Terminal 3 Ultimate. Hotel ini guna memfasilitasi penumpang transit yang tidak perlu harus keluar bandara untuk melanjutkan perjalanan mereka esok harinya. 

Game Changers ketiga, Digitilised Service and Operation. Bukan karena saya ini berlatar belakang telko lalu menjadikan digitalisasi sebagai game changers ketiga, tetapi digitalisasi memang new game changers di dalam pengelolaan bandara. Siapa yang mengabaikan digitalisasi ini sama saja sedang melawan takdir. Pasalnya, pengelolaan bandara ke depan menjadi sangat dinamis dengan adanya new game changers digitalisasi ini.

Bisa dijelaskan bagaimana Anda memonetasi new game changers ketiga untuk menambah pendapatan perusahaan?

Digitalisasi di bandara itu, saya menyebutnya smart airport yang lalu melahirkan visi to be the best smart connected airport operator in the region. Setidaknya, ada tiga hal yang perlu dipersiapkan guna menjadi smart airport, yakni smart infrastructure, smart content, dan airport community.

Untuk menjadi smart airport, kami harus menyiapkan smart infrastructure seperti menyediakan fiber optic di sekeliling kompleks bandara. Ini sedang kami bangun. Lalu, digitalisasi dari customer touch point juga mesti dibangun. Connected content merupakan salah satu dari konten itu. Tinggal bagaimana connected content yang banyak itu diintegrasikan menjadi yang namanya connected content. Setelah itu, membangun airport community, baik dari kalangan internal dan eksternal bandara. Jadi, smart airport tidak akan terbangun kalau ketiga unsur tadi tidak berjalan.

Apa bedanya connected content dengan big data?

Big data itu basic atau pembentuknya untuk connected content karena big data is only a data. Data itu tidak bermakna, yang bermakna adalah informasi. Data jadi bermakna setelah diolah menjadi informasi. Nah, connected content itu konsep besarnya tadi, dibangun oleh connected data dan connected aplication. Ini connected aplication yang sebenarnya dia menjadi content. Hal inilah yang mesti disiapkan. Dari sini mengalir pembuatan apps bertajuk Indonesia Airport. Di apps inilah diintegrasikan konten-konten tadi.

Jadi, AP II saat ini memiliki apps sendiri? 

Namanya Indonesia Airport yang bisa diunduh melalui smartphone. Melalui apps ini, customer bisa mengetahui apakah jadwal penerbangannya on schedule atau mengalami delay. Kalau ada info delay, sudah tentu tidak perlu terburu-buru mesti ke bandara. Melalui apps ini juga diketahui jadwal kereta bandara sehingga bisa mengukur waktu untuk bisa tiba di bandara. Atau, bisa juga mengetahui pergerakan skytrain antarbandara. Customer juga bisa mengetahui daftar antrean kalau mau naik taksi kesayangan. Atau, customer juga bisa mengetahui pergerakan bagasi yang dibawa mulai dari keluar badan pesawat sampai pengangkutan dan masuk ke conveyer belt. Dengan fasilitas apps ini, boleh dibilang airport on your hand.

Apa target yang Anda bidik dengan menghadirkan Indonesia Airport apps?

Pada waktu kami mengembangkan Indonesia Airport apps, ada dua tujuan yang hendak dicapai. Pertama, improving di customer eksperience. Dengan kehadiran apps tadi, customer merasakan experience berbeda dari sebelum ada ini. Bisa mengetahui jadwal pesawat, bisa check in secara digital, pesan taksi, dan mengetahui jadwal kereta bandara dan e-commerce, atau bisa mengetahui berapa menit antrian kalau masuk di security check point, termasuk proses bagasi. Jadi, di semua customer touch point harus dimudahkan di setiap titiknya. Saya membagi customer experience menjadi tiga, yakni pre-journey (saat menuju bandara sampai proses check in), on journey (mendapatkan boarding pass dan masuk ke pesawat), dan postjourney (saat kembali ke originasi). Setiap rangkaian di customer touch point menjadi sangat menentukan.

Kedua, improve the operating efficiency. Pada tahapan ini, dari setiap proses customer touch point akan diketahui, misalnya ternyata layanan bagasi kita tidak efektif atau semalam ada banyak pesawat yang menginap di bandara sehingga menggangu pergerakan pesawat. Dalam hal ini kami mempunyai standar bahwa pesawat yang parkir harus berapa lama. Dari sinilah kami bisa compare antara target dan performance-nya seperti apa. Situasi ini yang perlu kami pahami. Bahkan, yang sederhana sekali pun kami harus bisa mengukurnya. If you can’t measury, you can’t manage, itu menurut saya. 

Dari upaya improving customer experience dan enhancing operating efficiency, secara tidak sadar sebenarnya kami sedang meletakan pijakan untuk masuk ke bisnis digital itu sendiri. Contoh, sekarang kita memiliki 105 juta passenger traffic, wich is a big data. Kalau saya bertanya, apakah selama ini kita sudah manfaatkan 105 juta traffic passanger tadi? Jawabnya belum dan kami mulai sekarang. Dari big data itu, kami pelajari bagaimana customer behaviour-nya, seberapa besar spending selama di bandara, belanja apa saja di bandara, kebiasaan setiap penumpang apakah masuk kategori frequent flyer yang terbang di setiap hari apa saja, dan lainnya. Data-data ini menarik. Dari big data ini bisa dikembangkan banyak hal. 

Lantas, bagaimana Anda memonetasi digital business di mana big data ada di dalamnya?

Setidaknya kami merumuskan lima sumber pendapatan dari airport digital business, yang pertama itu bagaimana memonetasi big data. Data itu ketika diolah menjadi informasi berpotensi untuk dimonetasi. Kedua, apa yang disebut e-commerce. Saat ini, kami bermitra dengan 800-an tenant dengan kategori food & beverage, duty free shop, toko buku, bahkan gerai Bakmie GM. Kami sedang mengupayakan agar yang bisa menikmati makanan, seperti Bakmie GM, tidak hanya passenger dan public yang ada di Terminal 3 Bandara Soetta. Untuk bisa menikmati Bakmi GM bisa dipesan melalui airport e-commerce.

Perlu diketahui, di Bandara Soetta ini yang bekerja setiap hari ada tiga shift, yakni 3 kali 8 jam dengan jumlah pekerja mencapai 50 ribu orang. Airport itu never sleep. Tengok saja mereka yang bekerja di bagian maintenance pesawat di Garuda Maintenance Facility yang karyawannya ribuan orang dan bekerja hampir 24 jam. Perawatan dan pemeliharaan pesawat tidak boleh berhenti. Dari sinilah pemikiran bahwa airport e-commerce harusnya tidaklah di-unlock. Untuk maksud tersebut, kami bisa bekerja sama dengan e-commerce provider, seperti dengan Go-Jek dan Grab.

Ketiga, airport e-payment. Kalau Anda perhatikan, di dashboard AP II terlihat bahwa nilai transaksi di bandara itu besar, terutama transaksi tunai yang berpeluang untuk dimigrasi ke transaksi nontunai dengan memakai e-money, QR-Code, uang elektronik, atau pakai OVO milik Lippo Group yang saat ini masih dalam proses penjajakan. Inilah yang akan kami kembangkan. 

Keempat, airport e-advertising. Kalau kita mengikuti cara konvensional, advertising di bandara ada di outdoor atau indoor billboard. Customer hanya melihat iklan di single screen saja, padahal sekarang ini sudah berkembang agar bisa beriklan di multiscreen. Misal, di apps Indonesia Airport, ada ruang kosong yang bisa dipakai untuk beriklan. Telkomsel sudah berminat untuk mengisinya. Hal seperti ini sebelumnya belum terpikirkan. Di airport e-commerce itu banyak info yang bisa didapat customer.

Kelima, airport community . Sekarang ini, kami sedang mengembangkan airport id. Ketika punya id, costumer bisa menjadi member di airport community. Semua customer yang sering berpergian dengan memakai moda pesawat udara, bisa menjadi member di airport community. Dalam hal ini pun kami sedang bekerja sama dengan pihak maskapai juga sudah memiliki data passenger mereka. Passenger maskapai semestinya bisa mendapatkan pelayanan di luar maskapai dengan menjadi member di airport community.

Seberapa besar pendapatan yang Anda target dari program digitalisasi di bandara?

Ada tiga sumber pendapatan perusahaan saat ini. Pertama, yang disebut sustaining revenue yang bersumber dari existing revenue. Kedua, scaling revenue yaitu upaya meng-up grade dari existing revenue. Ketiga, scooping revenue yang merupakan new revenue stream dari bisnis baru. Pertanyaanya, berapa target pendapatan dari digital bisnis ini? Target saya untuk scooping revenue tahun 2018 hanya 1% dari Rp9,4 triliun revenue.

Angka itu apakah tidak terlalu kecil? 

Menurut saya, yang namanya scoping revenue dari bisnis digital dalam proses inkubasi itu janganlah terlalu over estimate. Pasalnya, bisnis baru itu bisa jatuh bangun. Apalagi proses membangun airport e-commerce ini didahului dengan proses inkubasi. Namun, proses inkubasi tadi tetap saya paralelkan dengan rencana target revenue. Kalau dipikir-pikir itu sudah luar biasa.

 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhamad Ihsan
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: