Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Harga Beras Melonjak, Rantai Distribusi Beras Perlu Dipangkas

Harga Beras Melonjak, Rantai Distribusi Beras Perlu Dipangkas Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Pertanian menggap rencana impor beras 500 ribu ton tidak diperlukan karena stok beras nasional yang mencapai 1,2 juta ton dianggap cukup sampai Lebaran. Namun di pasaran, harga beras medium justru melonjak menjadi Rp11.700 dari Rp9.450 per kg. Pemerintah harusnya fokus membenahi rantai distribusi beras yang panjang.

Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi, mengatakan, pembenahan rantai distribusi sangat memengaruhi harga beras medium. Panjangnya rantai distribusi beras di Tanah Air menyebabkan harga beras tinggi dan merugikan petani dan pedagang eceran. Ironisnya, rantai distribusi ini justru menguntungkan sejumlah pihak.

“Beras harus melalui empat sampai enam titik distribusi sebelum sampai ke tangan konsumen. Pertama, petani menjual hasil panen kepada tengkulak atau pemotong padi, yang akan mengeringkan padi dan menjualnya kepada pemilik penggilingan. Setelah padi digiling menjadi beras, pemilik penggilingan menjual beras ke pedagang grosir berskala besar yang memiliki gudang penyimpanan,” jelas Hizkia dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (22/5/2018).

Kemudian, lanjut Hizkia, pedagang grosir berskala besar ini akan kembali menjual beras tersebut kepada pedagang grosir berskala kecil di tingkat provinsi (seperti di Pasar Induk Beras Cipinang) atau kepada pedagang grosir antarpulau. Pihak terakhir inilah yang akan menjual beras kepada para pedagang eceran.

“Dalam setiap rantai distribusi, margin laba terbesar dinikmati oleh para tengkulak, pemilik penggilingan padi, atau pedagang grosir. Situasi ini menunjukkan keterlibatan pihak-pihak yang menikmati laba besar terbesar dalam rantai distribusi justru terjadi saat beras belum sampai di pasar eceran, termasuk pasar tradisional,” ungkap Hizkia.

Hal ini jugalah yang mendasari argumen CIPS yang mengatakan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif. Kebijakan ini memaksa para pedagang eceran untuk menurunkan harga jual beras, padahal mereka bukanlah pihak yang menyebabkan tingginya harga komoditas yang satu ini. Kebijakan ini juga membuat mereka rugi karena mereka membeli beras dengan harga yang lebih mahal dari HET.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: