Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Diplomasi Minyak Sawit untuk Membuka Tembok China

Diplomasi Minyak Sawit untuk Membuka Tembok China Kredit Foto: Reuters/Jason Lee
Warta Ekonomi, Jakarta -

Untuk urusan dagang, siapa yang meragukan China di tengah begitu futurolog yang memprediksi bahwa negeri Tirai Bambu ini akan menjadi superpower baru menggantikan posisi Amerika Serikat? Hal itulah yang kemudian mendorong banyak negara untuk bisa bermitra dengan China, terlebih dalam hal ekonomi, tak terkecuali Indonesia.

Namun bukan sembarangan untuk bisa masuk ke pasar China yang dikenal cenderung sensitif terhadap perubahan apapun. Oleh karena itulah, Presiden Joko Widodo memiliki strategi khusus untuk bisa menembus pasar China dengan lebih efektif.

China dengan penduduk terbesar di dunia dianggap Presiden Jokowi sebagai pasar potensial bagi Indonesia, terlebih untuk produk-produk pertanian dan perkebunan. Wajar jika kemudian Indonesia berupaya menjadikan China sebagai mitra dagang sekaligus menciptakan ketergantungan Negeri Tirai Bambu itu pada produk-produk tropis Nusantara. Ketergantungan itulah yang akan membuat pasar China selalu membuka diri terhadap komoditas asal Indonesia.

Presiden Jokowi pun kemudian tak segan menawarkan pasokan rutin minyak kelapa sawit ke Beijing. Tawaran itu sekaligus merupakan cara Jokowi untuk bisa menembus Negeri Tirai Bambu di sisi lain upaya memasok produk-produk pertanian yang lain, termasuk buah tropis.

Meski arus pro dan kontra terkait hubungannya dengan China yang tak pernah usai, Presiden Jokowi tetap saja menganggap China sebagai mitra dagang yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.

Setengah menekan, Jokowi meminta Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok Li Keqiang untuk menyanggupi peningkatan ekspor berwujud tambahan kuota ekspor sedikitnya 500.000 ton minyak kelapa sawit dari Jakarta ke Beijing.

Pintu Masuk

Hubungan Beijing-Jakarta sejatinya tidak terbangun dalam semalam, melainkan telah berlangsung selama puluhan tahun silam. Namun membina sebuah kemitraan dagang yang lebih sistematis dan konkret disadari harus dibangun komitmennya dari waktu ke waktu. Dengan China, ada begitu banyak hal yang telah dilakukan Indonesia bersama, namun membiarkan pasar China dimanfaatkan peluangnya oleh kompetitor juga bukan pilihan yang bijaksana.

Oleh karena itulah, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengaku pihaknya akan terus melakukan pendekatan dengan China untuk menyampaikan permintaan peningkatan ekspor. Terlebih dalam dua tahun terakhir, dirasakan mulai ada penurunan defisit APBN yang disumbang, salah satunya yang terbesar dari komponen ekspor sawit.

Sementara China kemudian diketahui sedang mengembangkan B5 sehingga memerlukan tambahan pasokan kelapa sawit dalam jumlah yang besar. Di samping sawit, ada begitu banyak peluang lain yang bisa digarap dari pasar China yang demikian besar potensinya.

Sebagai negara dengan penduduk 1,37 miliar, RRT merupakan pasar yang besar sekali bagi komoditas dan produk-produk dari Indonesia. Maka kelapa sawit pun kemudian dianggap sebagai pintu masuk bagi jalannya ekspor produk dan komoditas Indonesia yang lain meliputi sarang burung walet, kopi, dan buah-buah tropis, seperti manggis, buah naga, dan salak.

Retno pun mencari penyebab masih terkendalanya ekspor buah tropis ke China selama ini yang diketahui kemudian lantaran faktor standar karantina. Oleh karena itulah, diperlukan dialog lebih lanjut perihal kerja sama badan karantina antara kedua negara sehingga persoalan tersebut dapat teratasi, termasuk pada saat telah adanya kesepakatan MRA.

Tambah Kuota

Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang mengaku memiliki keterkaitan psikologis tersendiri dengan Indonesia. Satu dekade silam, pria yang masuk dalam World's 12th Most Powerful Person versi Majalah Forbes itu pernah berkunjung ke Indonesia. Menurut dia, Indonesia telah begitu berkemajuan dalam 10 tahun terakhir sejak terakhir kali ia melihat.

Ia sendiri melihat Indonesia sebagai mitra yang sangat penting di mana China memiliki kepentingan menjadikan Indonesia sebagai basis pangan masyarakat mereka. Maka wajar jika kemudian Li membuka peluang impor produk pertanian, khususnya buah tropis dari Indonesia. Terlebih lantaran banyak produk pertanian asal Indonesia yang tidak ada di Negeri Tirai Bambu. Li sendiri menyadari negaranya adalah importir kelapa sawit terbesar bagi Indonesia.

Namun demikian, Li membuka pintu tambahan kuota ekspor sawit atas permintaan Jakarta demi mempertimbangkan kesejahteraan petani sawit di Indonesia. Maka peluang besar itulah yang kemudian digenjot Indonesia di sela pamor buruk kerja sama dengan China menjelang tahun politik di Indonesia.

Pro dan kontra barangkali memang tak bisa dihindarkan, namun peluang besar menjadi mitra dagang China adalah kesempatan untuk menurunkan defisit APBN agar semakin sehat untuk satu arti kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: