Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Di Balik Kekalahan Uber dari Grab

Di Balik Kekalahan Uber dari Grab Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tidak lama sejak pendiri Uber menguji coba aplikasi mereka di antara para koleganya pebisnis San Francisco, sekumpulan alumni Harvard Business School dari Malaysia menelurkan ide yang sama: mereka ingin mendirikan perusahaan semacam Uber, tapi untuk pasar Asia. Pada 2012, mereka kemudian meluncurkan aplikasinya dengan dipersenjatai 40 mitra pengemudi di Kuala Lumpur bernama Grab.

Enam tahun kemudian, Grab mendominasi pangsa pasar transportasi online berbasis aplikasi di Asia Tenggara, dengan armada mitra pengemudi mencapai 2,3 juta lebih dan beroperasi di 168 kota yang tersebar di 8 negara. Tahun 2017 lalu, Grab mendapatkan suntikan modal dari investor sebesar US$2,5 miliar, termasuk dari Softbank, perusahaan transportasi online asal Tiongkok Didi Chuxing, dan Hyundai. Seri pendanaan terkini itu bernilai US$6 miliar, menjadikannya perusahaan startup dengan nilai pasar tertinggi di Asia Tenggara. 

Meskipun di sisi lain Uber juga secara agresif menambah investasinya di kawasan, mereka nyatanya masih kesulitan menyaingi Grab. Salah satu penyebabnya adalah keunggulan Grab secara budaya. Meski Uber selama satu dekade terakhir telah mempelajari apa yang pengguna “Barat” inginkan dari sebuah layanan transportasi online, perusahaan kesulitan dalam mengadaptasi layanannya di negara-negara berkembang. Sebaliknya, Grab telah menyelesaikan “puzzle” tersebut: Bagaimana membuat pembayaran nontunai berhasil di negara-negara yang kekurangan infrastruktur perbankan dan industri keuangan.

Co-founder Grab, Anthony Tan, menyatakan fasilitas transaksi yang disediakan perusahaanya merepresentasikan masa depan perusahaan. Tan, yang tidak lain adalah putra dari pemilik salah satu distributor terbesar di Malaysia, Automobile, bertemu dengan mitranya Hooi Ling Tan saat sedang makan mie di salah satu restoran hotel di Davos, Swiss. Mereka kemudian membicarakan ide mendirikan Grab, dan ide merekrut para ahli coding dari Facebook, Amazon dan Google.

Mereka tentu akan membutuhkan pasukan itu. Di Asia Tenggara, kompetisi transportasi online telah tereskalasi pada persaingan mendapatkan modal dana dan SDM. Sejak Uber meluncur di kawasan pada 2013 lalu, perusahaan telah menghabiskan banyak dana untuk merekrut mitra pengemudi. Sementara, kompetitor lokalnya Go-Jek sudah memimpin di Indonesia, dan baru-baru ini mendapatkan pendanaan sekitar US$1,2 miliar dari serangkaian investor termasuk Google dan raksasa China, Tencent, dan JD.com serta sovereign wealth fund asal Singapura, Temasek. 

Seiring besarnya pangsa pasar di Asia Tenggara, para perusahaan transaksi online ini terus tumbuh. Berdasarkan laporan dari Google pada Desember lalu, belanja modal aplikasi transaksi online di kawasan telah tumbuh dua kali lipat menjadi US$5 miliar dalam 2 tahun terakhir dan diperkirakan melonjak hingga US$20 miliar pada 2025 mendatang.

Sampai hari ini, perusahaan-perusahaan lokal (Grab dan Go-jek) nampaknya menjadi pemenang. Meski telah menggelontorkan investasi yang besar, Uber terus mengalami kerugian karena harus bersaing dengan model bisnis diskon harga dan promosi yang terus digencarkan oleh kompetitor. Jika merujuk pada CEO baru Uber, Dara Khosrowshahi menggarisbawahi posisi perusahaan di Asia Tenggara sudah berada pada situasi pasar yang overcapitalized. 

Menurutnya perusahaan sudah pasti akan terus melakukan penetrasi pasar lebih dalam dan belajar, namun ia tidak yakin pasarnya akan memberi untung dalam waktu dekat.

Padahal sebelumnya pada November dikabarkan bahwa Uber mungkin membuka peluang untuk bekerja sama dengan kompetitornya Grab, sebagai upaya mengurangi beban biaya dan persiapan menjadi perusahaan terbuka (initial public obligation) pada 2019 mendatang. Terkait ini, sebelumnya pada 2016 Uber menderita kerugian di China dan pada akhirnya “dipaksa” menjual asetnya ke perusahaan lokal Didi Chuxing dengan imbalan tukar guling saham 20% saham di perusahaan baru yang di-merger. Saat ini Uber telah menyelesaikan kesepakatan dengan Softbank, investor kedua perusahaan, dan bisa saja mengulang pola yang sama seperti yang terjadi di China.

Jelas bahwa aplikasi one-size-fitsall milik Uber, meski sudah disesuaikan untuk pasar lokal, tetap tertinggal dibanding kompetitor yang menawarkan layanan yang lebih sophisticated dan memahami kebutuhan mitra pengendara di negara seperti Filipina dan Vietnam. Saat Grabfirst meluncur, pada mulanya perusahaan harus mengajari para mitra pengendara bagaimana menggunakan ponsel pintar. Setiap 2 pekan sekali mereka mengadakan sesi latihan bagi mitra pengendara. Mengingat, sebagian besar pengguna tidak memiliki kartu kredit, sedari awal mungkin Grab menerima pembayaran secara tunai. Butuh waktu hingga 2 tahun bagi Grab hingga akhirnya pengguna di beberapa bagian kawasan menerima pembayaran secara nontunai.

Saat seseorang di kawasan Asia Tenggara menggunakan ponsel pintar pertamanya, mereka kemudian akan terbiasa menggunakan layanan Grab untuk kebutuhan transportasi mereka, saat itulah Tan memperkenalkan digital wallet-nya. Ia percaya di pasar, saat ecommerce tumbuh pasti pasar transportasi online akan mengekor. Ia percaya penggunaan teknologi untuk memfasilitasi transaksi potensinya besar. Menurut dia, kompetitor terbesarnya bukan Go-Jek ataupun Uber, melainkan uang tunai. 

Delapan bulan yang lalu, Grab mulai memungkinkan pengguna mereka menggunakan online banking, kartu kredit maupun ATM atau bahkan convenience stores yang disebut GrabPay untuk mengisi ulang digital wallet Grab. Sejak itu, perusahaan terus berkembang dan membeli perusahaan startup di bidang fintech dan mendirikan pusat riset dan pengembangan yang dideikasikan khusus untuk mengembangkan unit bisnis pembayaran mereka.

Tahun lalu Last fall, Grab juga mulai menggandeng perusahaan pembayaran P2P dan menggandeng toko-toko lain untuk menerima pembayaran GrabPay: pengguna memindai kode QR toko dengan ponsel pintar mereka, mengisikan nominal yang harus mereka bayar kemudian tinggal menekan tombol bayar. Grab memulai GrabPay di 25 restoran-restoran dan foodcourt di Singapura pada November 2017 lalu. Anda bahkan bisa membayar sebuah burger di McDonald dengan menukar poin Grab loyalty. 

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: