Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lima PR Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI, Pertama Soal Rupiah

Lima PR Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI, Pertama Soal Rupiah Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mahkamah Agung secara resmi telah melantik Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI periode 2018-2023 setelah melakukan sumpah jabatan di hadapan Ketua MA, M. Hatta Ali, di Jakarta, Kamis (24/5/2018). Perry Warjiyo diangkat sebagai Gubernur BI menggantikan Agus Martowardojo berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 70/P Tahun 2018 tanggal 16 April 2018.

Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, ke depan ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus dibereskan Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI yang baru.

Pertama, stabilisasi nilai tukar rupiah. Sejak awal 2018, rupiah sudah melemah -4,62% (ytd), bahkan hari ini, nilai tukar rupiah makin melemah yakni dibuka pada posisi Rp14.205 per dolar AS. Menurut Bhima, respons BI yang sebelumnya terlambat menyesuaikan suku bunga acuan BI-7day Repo Rate harus disikapi oleh Perry Warjiyo.

"Sebagai langkah strategis, BI bisa konsisten menerapkan intervensi cadangan devisa dan jika rupiah melemah hingga Juni serta ruang kenaikan bunga acuan masih memungkinkan, BI bisa naikan 25 bps lagi BI-7days repo rate," ujar Bhima di Jakarta, Kamis (24/5/2018).

Kemudian, bauran kebijakan lain salah satunya bersama dengan Pemerintah apabila mendesak bisa membuat Perpu UU Lalu Lintas Devisa no.24/ 1999. Poin Perpu adalah mewajibkan eksportir untuk menahan devisa hasil eskpor minimum 6 bulan di bank domestik. Tujuannya memperkuat devisa ekspor.

"Cara ini efektif untuk meredam pelemahan nilai tukar di Thailand," kata Bhima.

Kedua, menjaga inflasi tetap rendah dengan berbagai bauran kebijakan serta koordinasi lintas stakeholder. Salah satu hal yang bisa dilakukan BI adalah memperkuat koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Pemerintah daerah harus berperan aktif menjaga pasokan dan harga pangan karena volatile food merupakan komponen paling besar inflasi terutama saat Ramadan dan jelang Lebaran.

"BI juga bisa memperkuat early warning system di tiap daerah. Bagi daerah yang mengalami kekurangan pasokan pangan, bisa langsung koordinasi dengan daerah lain yang kelebihan pasokan," paparnya.

Ketiga, BI harus pro growth policy karena juga punya fungsi mendorong pertumbuhan ekonomi. Diharapkan, BI tidak sekadar bermain aman dengan mengotak-atik instrumen moneter agar stabilitas keuangan terjaga.

Sebagai contoh, kata Bhima, BI perlu merelaksasi loan to value (LTV) agar DP kredit rumah dan kendaraan bermotor bisa lebih murah lagi. Dengan kebijakan itu, pada akhirnya pertumbuhan kredit naik, industri naik, dan perekonomian bisa tumbuh di atas 5,1%. 

Keempat, BI harus mempermudah perizinan fintech di bidang sistem pembayaran. Pasalnya, banyak pelaku fintech sistem pembayaran (e-money, e-wallet, dan sebagainya) mengeluhkan biaya dan proses pengajuan izin di regulator. Ada 11 kementerian/lembaga yang berkaitan dengan izin fintech. Harusnya, BI bisa melakukan penyederhanaan prosedur (single window policy) untuk mendorong pertumbuhan fintech.

"Pak Perry harus jadi Gubernur BI berjiwa milenial yang paham perubahan teknologi keuangan," ucap Bhima.

Terakhir, BI harus memastikan sistem pembayaran yang aman dan efisien. Bhima mengatakan, BI sebelumnya telah mengeluarkan aturan soal Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), namun dalam implementasi tentu perlu hati-hati. Salah satunya mengukur kemampuan perusahaan switching dalam melindungi data dan keamanan transaksi nasabah bank.

"Aturan GPN dengan logo baru juga diharapkan mempermudah transaksi serta mengandung unsur efisiensi. Jangan sampai masyarakat dan bank dipersulit dalam penukaran kartu debit/kredit lama dengan kartu berlogo GPN," tutur Bhima.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: