Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Humas Indonesia Menuju Industri 4.0

Oleh: Agung Laksamana, Ketua Public Affairs Forum Indonesia & Dewan Kehormatan Perhumas

Humas Indonesia Menuju Industri 4.0 Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Change is scary, but not as scary as staying the same forever.

Kutipan ini saya temukan di internet. Perubahan memang hal yang tidak bisa kita tepis kedatangannya. Dan, mereka yang tidak mau beradaptasi dengan perubahan, bisa dipastikan akan tergerus dan tenggelam.

500 tahun sebelum Masehi, Heraclitus seorang Philosopher Yunani berkata: the only thing that is constant is change! Perubahan terjadi di mana-mana! Model bisnis, consumer habit, tren pasar, dunia ritel, dan industri berubah! Semua hal di dunia terus mengalami perubahan.

Sebut saja Industri 1.0 yang terjadi setelah penemuan mesin uap di abad ke-18 yang telah menghasilkan efisiensi dan efektivitas cara produksi. Kala itu, operasional industri masih berbasis manual dan mekanikal. Alhasil, produk dan jasa yang dihasilkan menjadi lebih besar, variatif, dan presisi pasca-era Industri 1.0 tiba. Sedangkan Industri 2.0 menitikberatkan pengorganisasian kerja seiring kehadiran energi listrik di abad ke-19. Di sini adalah produksi-massal, standardisasi, spesialisasi kerja, dan pabrikasi. Output dari produksi semakin banyak dan terjadi dalam hitungan jam.

Di era Industri 3.0, terjadi lompatan teknologi yang luar biasa. Kemajuan dunia di bidang elektronik dan teknologi informasi (TI) membuat produksi secara massal dan otomatisasi. Sebut saja pabrikan mobil, smartphone, elektronik, di mana produk terlahir dalam hitungan menit.

Sekarang, kita tengah berada di Industri 4.0. Robot hadir untuk membantu proses produk dan diprediksi menggantikan manusia. Teknologi artificial intelligent (AI) digunakan di berbagai industri, sebut saja otomotif, elektronik, kedokteran, eksplorasi, dan lainnya. Peran manusia semakin berkurang, bahkan terganti dengan AI.

Humas Berevolusi

Bagaimana industri humas (public relations) menyikapi ini? Sebagai latar belakang, terjadi empat tahapan di sini. Humas 1.0 adalah era di mana praktisi humas harus menjalankan tugasnya secara tradisional. Inilah era di mana humas harus melakukan monitoring secara manual setiap harinya. Bagi Anda yang lahir di era 1960-1970-an, tentu pernah mengalami hal ini. Media cetak, seperti koran, majalah, hingga televisi masih menjadi andalan.

Sementara, era Humas 2.0 adalah era kelahiran media online. Media seperti New York Times, The Economist, Kompas, hingga Tempo beralih ke platfrom digital. Arus informasi lalu-lalang karena awak media bisa membuat berita kapan saja, di mana saja, dan tentang apa pun. Jika di era Humas 1.0, wartawan terpaku dengan deadline di sore hari, kini setiap waktu adalah deadline.

Sedangkan era Humas 3.0 adalah era di mana media sosial menjadi media yang dipercaya masyarakat. Sebuah anomali terjadi di sini. Jika dulu hanya wartawan yang bisa membuat berita, kini berubah. Siapa pun bisa mengunggah berita. Medium seperti Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, hingga blog menjadi digital platform. Humas bukan hanya memonitor media –offline dan online, melainkan juga media sosial. Berita baik dan buruk bisa datang kapan saja, oleh siapa saja.

Adapun era Humas 4.0 adalah era di mana artificial intelligent (AI) dan era big data hadir. Dampak dari fenomena ini belum terasa saat ini. Namun, kenyataanya robot sudah mampu menulis artikel di media dan membantu menulis, mencari bahan, atau apapun. Dulu kita selalu utarakan, tugas humas adalah 24x7 jam, namun di era Humas 4.0 menjadi 7x1.440 menit. Benar menjadi per menit! Humas harus selalu aware  dengan situasi yang terjadi. Humas bukan berkompetisi dengan humas lintas negara, sekarang bersaing dengan AI dan robot!

Di sebuah kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluhkan kualitas humas saat ini belum memenuhi standar yang ada. Saat ini, banyak humas dari kementerian/lembaga (K/L) tidak mengerti program dan kebijakan yang ada. Mereka hanya berkutat pada aktivitas membuat press release dan mengundang wartawan. Padahal, humas harus mengerti audiens, program, bertanding tanpa henti layaknya tinju.

"Komunikasi itu seperti boxing full body contact 24/7. Komunikasi itu sangat cair, terus-menerus dan orang bisa bereaksi atas kebijakan kita dari berbagai lini," katanya.

Itulah alasan Menteri Sri Mulyani mengatakan humas harus ikut dalam setiap pertemuan dan rapat. Tujuannya agar program pemerintah dapat tersebarluaskan dengan benar sehingga kabar hoax pun tidak terjadi.

Skill apa yang dibutuhkan dalam era Humas 4.0? Skill set baru, dari pemahaman IT, new media, dan teknologi. Humas harus memahami apa itu literasi digital media serta aplikasi teknologi dan dampaknya bagi organisasi dan reputasi brand mereka.

Pastinya tidak semua hal bisa digantikan oleh AI dan robot. Dari aspek seni dan kreativitas, dari tanggung jawab sosial, wisdom, hingga hubungan interpersonal sesama manusia sulit tergantikan oleh AI dan robot. Namun, kondisi ini tidak berarti kita cepat puas. Humas harus terus belajar dan haus akan pengetahuan menjadi hal wajib bagi praktisi humas di era 4.0.

Yes, perubahan ini bisa jadi menakutkan. Pertanyaannya sekarang, apakah divisi humas Anda sudah siap menghadapi era 4.0? Charles Darwin, 160 tahun lalu, memberikan solusi ketika ia menuliskan: it is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent; it is the one most adaptable to change.

Humas harus terus beradaptasi! Selamat datang di era Humas 4.0.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: