Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Unbanked People Bikin Bisnis Fintech Menjamur

Unbanked People Bikin Bisnis Fintech Menjamur Kredit Foto: Antara/Aji Styawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Besarnya jumlah pendukuk Indonesia yang belum memiliki akses ke lembaga jasa keuangan formal (unbanked people) memacu pertumbuhan fintech. Mereka adalah penduduk Indonesia yang tidak memiliki collateral (jaminan), tidak memiliki usaha dengan usia yang matang, maupun tidak memenuhi prasyarat-prasyarat kelayakan lain untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan. Pada tahun 2014 lalu, jumlahnya mencapai 64% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa.

Sementara dari perkiraan Asian Development Bank (ADB), di Indonesia ada sekitar US$144 miliar kebutuhan pembayaran dan US$70 miliar kebutuhan peminjaman yang belum bisa dipenuhi segmen formal. Fintech, yang fokus pada aksesibilitas dan kecepatan proses, berusaha menjembatani gap ini. Berbagai perusahaan fintech bermunculan untuk memanfaatkan ceruk pasar ini.

Menurut catatan Asosiasi Financial Technology Indonesia (Aftech), ada 235 perusahaan fintech yang bergerak di 4 bidang utama hingga akhir 2017 lalu, yakni pembayaran (92 perusahaan), peminjaman (75 perusahaan), market aggregator (26 perusahaan), serta manajemen investasi (26 perusahaan). Meski didominasi oleh perusahaan fintech pembayaran dan peminjaman, masih ada fintech yang bergerak di bidang-bidang baru, seperti teknologi asuransi, equity rising, software akuntansi, dan bidang-bidang lain. Sejak saat itu, jumlah unbanked people turun drastis menjadi 37% saja dari total penduduk Indonesia. 

Namun, bukan berarti masalah unbanked people teratasi dengan banyaknya fintech yang bermunculan. Bisnis apa pun, tidak akan berkembang tanpa adanya regulator yang bisa menjamin aspek keamanan bagi konsumen. Pada 2016 lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis POJK Nomor 77/POJK01/2016 mengenai tata cara layanan pinjammeminjam uang berbasis teknologi. Tercatat sudah ada 36 perusahaan fintech peminjaman—dari prakiraan total 120 perusahaan—terdaftar di OJK.

Di saat yang bersamaan, kesadaraan perbankan untuk menggandeng fintech juga makin besar. Menurut Aftech, 64% pelaku usaha fintech saat ini, melalui Application Programming Interface (API) telah terkoneksi dengan 10 perbankan, yakni bank BCA, Mandiri, UOB, HSBC, QNB, DBS, BTPN, Danamon, CIMB Niaga, serta OCBC NISP. Mereka terkoneksi secara langsung dalam menyalurkan pinjaman bank maupun secara tidak langsung lewat perantara sesama fintech.

Masih di tahun yang sama, BI merilis PBI Nomor 18/17/PBI/2016. Lalu, belasan fintech juga terdaftar sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran, seperti OVO, Go-Pay, DOKU, Arthajasa, Espay, Bimasakti, Truemoney, iSaku, Buanamedia, Skysab, dan MobileCash. Saat ini, sudah ada 25 penyelenggara fintech yang mendaftarkan diri untuk masuk ke Regulatory Sandbox (ruang uji coba terbatas) milik BI.

Onny Widjanarko, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, mengatakan bahwa di negara mana pun kolaborasi antara fintech dengan lembaga formal polanya selalu sama: J-curve. Awal mengenal fintech, biasanya bisnis perbankan agak melemah karena ter-adjust oleh fintech, yakni terjadi perpindahan konsumen akibat persaingan bisnis. Lalu, tahapan selanjutnya adalah menemukan pola kerja sama dan mengkreasikan inovasi bisnis baru sehingga perlahan-lahan semakin naik bersama. 

Untuk itu, pihaknya masih mencermati perkembangan bisnis sambil menyiapkan lanskap atau roadmap arah pengembangan fintech ke depan. Sampai saat ini, arahannya ada 3, yaitu ke UMKM, menumbuhkan bisnis syariah, dan mengurangi transaksi tunai yang saat ini masih sekitar 85%. 

Bisnis Model Terus Berevolusi, Regulasi Mengikuti 

Menanggapi pertumbuhan bisnis fintech yang kian progresif, OJK pun tidak tinggal diam. OJK akan segera merilis 2 surat edaran terkait mekanisme perizinan (PMA dan sebagainya) dan tata cara peminjaman (crowdfunding, aggregator, penggunaan virtual account, pelaksanaan teknis P2P lending seperti aspek perjanjian). Semua itu muaranya agar fintech tetap berada dalam koridor tata kelola yang berasaskan TARIF (transparansi, akuntabilitas, rensponsibiltas, independensi, dan fairness). OJK bersama Aftech juga akan segera merilis code of conduct responsible lending untuk menciptakan standar agar ada level playing field, termasuk di dalamnya soal transparansi, yakni biaya-biaya dari pinjaman akan di-disclose.

BI pun, membuka ruang uji coba terbatas (Regulatory Sandbox) jika memang model bisnis fintech tersebut benar-benar baru dan belum pernah ada di aturan, seperti principal, switching, issuer, acquirer, kliring, penyelesaian akhir, transfer dana, payment gateway, dan e-wallet. Bisnis fintech yang karakteristiknya inovatif sendiri membuat regulator cenderung bersikap wait and see sebelum mematok sebuah aturan baku. Di luar OJK dan BI, pemerintah melalui Dukcapil tengah menguji coba ID elektronik untuk memungkinkan penggunaan data biometrik di electronic KYC, mengingat saat ini belum dimungkinkan verifikasi calon nasabah tanpa tatap muka (remote KYC/presenceless) dan masih paper based

Berbagai evolusi model bisnis ini juga di satu sisi membuat bisnis fintech terfragmentasi sehingga tidak ada satu pemain yang dominan di bidang tertentu. Edward I Chamdani, CEO Ideosource, mencontohkan di bidang pembayaran, selain Go-Pay yang dianggap cukup leading, sebetulnya masih ada peluang di bidang lain, termasuk pembayaran mikro, peminjaman mikro, dan masih banyak pemain yang bisa masuk ke sana. 

Go-Pay pun bisa dikatakan berhasil lantaran sudah memiliki footprint yang kuat (pengguna Go-Jek yang hampir sekitar 20%-nya saat ini menjadi pengguna aktif Go-Pay), sebagaimana user Paypal yang berasal dari eBay atau Alipay yang user based-nya adalah Alibaba, dan Wechat Pay dari Wechat. Betul saja, berdasarkan catatan BI, pertumbuhan e-money mencapai 436% dalam beberapa tahun belakangan. Dari 26 perusahaan yang terdaftar sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran, fintech pembayaran seperti Go-Pay dan OVO mulai menggeser posisi perbankan swasta di posisi 3 terbesar.

Tidak adanya pemain tunggal yang adidaya, juga lantaran belum ada inovasi produk yang berupa 360 (one stop solution), bisa saja satu perusahaan fintech menawarkan produk yang terintegrasi (tentunya juga sudah didukung dengan regulasi yang memadai). Contoh, perusahaan fintech yang memiliki produk e-wallet bisa sekaligus menawarkan peminjaman (baik consumer, corporate, maupun micro), lalu instrumen investasi (B2B, wealth management, dan sebagainya). Sebetulnya, fintech peminjaman malah bisa berinovasi lewat channeling convenient store atau sebagai platform penyaluran program-program pemerintah atau pun distribusi SBN. 

Fragmentasi bisnis dari point of view regulator di sisi lain justru dianggap membebani masyarakat selain dari sisi cost juga keamaan yang relatif rendah. Dicontohkan Onny, saat ini ada 22 pemain QR Code yang tentunya, jika tidak ada standarisasi, mereka akan bermain sendiri-sendiri. Saat ini QR Code memiliki standar internasional IMV. Kalau pun saat ini belum semua pemain mampu mengikuti standar, diberikan tenggat waktu sehingga pada saatnya mereka harus siap-siap meng-adjust. Apalagi sekarang sudah banyak solusi teknologi, seperti API, application, dan programing interface yang bisa saling terhubung (interlink).

Tantangan Ke Depan

Industri fintech Indonesia terbilang baru jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat, China, dan Inggris yang sudah lebih belasan tahun berdiri. Bisa dibilang proses digitalisasi di industri ini, saat ini masih terpotong dengan belum dimungkinkannya verifikasi calon nasabah tanpa tatap muka (remote KYC/presenceless) dan masih paper based. Bandingkan saja dengan Estonia yang sudah memiliki sistem regitrasi online untuk permanent resident, atau registrasi perusahaan via online system di Singapura. Nantinya, seiring dengan membaiknya kecepatan yang sifatnya berbasis cloud, evolusi industri fintech akan berjalan lebih cepat. Salah satu harapannya lewat UU digital yang tengah difinalisasi.

Jika kecepatan yang sifatnya cloud basis tadi sudah membaik, bisnis fintech akan makin melesat. Menurut IDC Financial Insight, ada 10 perusahaan fintech yang bakal tumbuh pesat di tahun 2018 ini. Pada bidang pembayaran, ada Go-Pay, Doku, T-Cash, Xendit, dan Midtrans. Beberapa di antaranya bahkan diproyeksikan menjadi Unicorn pada 2020 mendatang (Nexticorn), seperti Modalku, PayAccess, Cermati, Bareksa, dan Jojonomic. Beberapa hal menjadi pertimbangan, seperti potensi pengguna, model bisnis, kemudahan penggunaan, persaingan dengan yang lain, valuasi perusahaan, budaya perusahaan, manajemen, teknologi, dan prakiraan keuntungan.

Menurut Chamdani, sebelum sampai ke tahap itu, tren industri fintech dalam 2 hingga 3 tahun ke depan akan diwarnai dengan maraknya inovasi produk yang mengarah pada tren one stop solution. Kedua, animo investor luar negeri makin besar, utamanya dari China untuk masuk ke industri fintech peminjaman consumer di Indonesia. Namun perlu dicermati, lantaran sumber investasinya berasal dari hot money (dana di pasar keuangan), biasanya investor China mendapatkan gain-nya bukan dari operasional yang di Indonesia, tetapi dari sentimen positif yang bakal mengerek harga saham mereka di pasar saham luar China, apakah itu Shanghai, Hongkong, atau di New York.

Ketiga, karena sumber peminjaman (pool fintech peminjaman) terbatas pada pelaku itu-itu saja, ke depannya akan mulai merambah ke crowdfunding. Perusahaan Modal Ventura (PMV) di Indonesia mayoritas memiliki time spent liquidity antara 5—10 tahun sehingga biasanya akan lari ke sophisticated investor company atau orang yang terbiasa investasi senilai Rp5 miliar lebih. Di Singapura sudah ada situs crowdfunding, yakni Fundnel. com (equity based dengan menjual convertible loan dan bond) yang mampu membawa sophisticated investor mulai masuk turun ke level investasi menengah sekitar Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Di Indonesia sudah ada, namanya Akseleran. 

Menariknya lagi, jika nanti OJK merilis aturan secondary board untuk memungkinkan saham-saham yang masih di bawah development board bisa masuk ke Indonesia Stock Exchange (IDX), peluang fintech untuk menjadi perusahaan terbuka semakin lebar.

Chamdani di Amvesindo bersama Kadin dan OJK sedang menginisiasi agar fintech-fintech ini, yang tentunya sudah dikurasi, bisa satu per satu masuk ke IDX atau pakai risk management model ini, dijadikan satu pool, seperti reksadana yang memiliki satu indeks berisi 10 portfolio ideosource terbaik, dan di dalamnya ada Bhinneka. “Ini bisa menjadi salah satu exit strategy bagi mereka. Di sisi lain, bisa mem-boost investor pasar modal yang baru mencapai 500 ribuan,” kata dia.

Tren terakhir—meski agak kontroversi karena masih menunggu regulasi— munculnya fintech pembayaran yang berbasis utility token atau initial coin offering (ICO). Saat ini, berbagai negara di dunia, seperti Singapura, Jepang, dan Swiss sudah mulai tebuka terhadap ICO atau sekuritisasi aset yang kemudian dijadikan token. Konsepnya menarik, namun memang yang masih sulit adalah menjaga agar tidak terjadi fraud-nya. 

Menurut dia, sebagaimana tren di perbankan (penggunaan credit card) yang saling sharing KYC atau blacklist database, para pemain fintech juga bisa menerapkan pola yang sama. Pada tahap awal, secara terpusat seperti SID checking (SLIK). Namun, seiring penggunaan teknologi blockchain, ke depan akan secara otomatis tersebar data KYC di server masing-masing. 

Menurut Onny, pada dasarnya BI menyambut baik penerapan teknologi blockchain oleh fintech, tetapi harus berhati-hati dalam hal instrumennya, apakah itu token atau e-money, harus tetap mengedepankan keamanan masyarakat karena pada dasarnya teknologi bersifat netral. BI sendiri tengah meriset central bank digital currency (CBDC) dan berencana menggunakan purwarupa blockchain tahun depan. 

Yang masih sulit, meliterasi masyarakat terkait instrumen-instrumen yang tidak memiliki underlying yang jelas, seperti cryptocurrency. Di dunia, sudah tercatat ada 112 institusi yang menggunakan darknet (yang mencapai 90% dari jaringan internet sebenarnya, sedangkan sisanyalah yang kita kenal dengan internet yang kita gunakan) untuk aktivitas, seperti human trafficking, drugs transaction, dan sebagainya. Semua transaksi tersebut dilakukan dengan menggunakan token.

Bahkan, masyarakat luar negeri, seperti di AS, yang lebih madani (melek terhadap literasi keuangan) pun masih meragukan penggunaan token. Security Exchange Comission (Otoritas Bursa Efek AS) baru akan mengakui cryptocurrency sebagai instrumen investasi jika bisa menjawab 5 pertanyaan seputar ini: underlying, net asset value, governance, transparency, dan accountability. “Kalau kata MUI, imbal hasil investasi 40% saja sudah dianggap judi, ini 16.000%?” kata Onny.

Adrian Gunadi, Wakil Ketua Aftech yang juga CEO Investree, mengakui salah satu tantangan yang dihadapi fintech ke depan adalah meng-hire, melatih, dan membangun SDM. Sejak 2 tahun belakangan, minat angkatan kerja untuk bekerja di perusahaan fintech terus meningkat, utamanya dari generasi milenial, atau angkatan kerja dengan usia 21—35 tahun.

Industri fintech masih menghadapi kurangnya ketrampilan (skill gap) terutama di bidang data dan analisis, pengetahuan industri keuangan, pemrograman, back end, desain pengalaman pengguna, serta manajemen dan risiko.

Tantangan lain, berkolaborasi lebih dalam antarsesama stakeholder. Misalnya, di Investree saat ini sudah ada beberapa bank swasta dari kategori BUKU II hingga IV yang menawarkan kerja sama channeling agent karena kedua belah pihak menyadari kolaborasi ini akan membawa keuntungan. Bagi bank, mereka akan lebih efisien dalam mengakuisisi nasabah UMKM dan memenuhi kewajiban yang disyaratkan OJK perihal peminjaman ke sektor UMKM, minimal mencapai 20% dari total pinjaman. Sementara bagi customer, biaya peminjaman akan semakin efisien.

Asal tahu, sekitar 85% fintech peminjaman saat ini berbentuk peer to peer (P2P) sehingga biaya yang ditawarkan agak tidak wajar. Seiring bertambahnya jumlah pemain dari institusi, biaya akan normal dengan sendirinya dalam waktu 1—2 tahun ke depan. Bagi fintech sendiri, sebagai penyedia platform processing fee, seperti biaya analisis, collection (bila terjadi gagal bayar misalnya), dan cadangan premi asuransi jaminan akan semakin efisien.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: