Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengulik Kewirausahaan dan Filantropi

Oleh: Fadel Muhammad, Wakil Ketua MPR RI/Founder dan Presiden Komisaris Warta Ekonomi

Mengulik Kewirausahaan dan Filantropi Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Filantropi dewasa ini mnejadi kata yang mengandung harapan. Banyak kalangan intelektual tertarik untuk meneliti peran yayasan filantropi dalam mendorong terciptanya perubahan sosial yang lebih baik. Namun, penelitian tersebut lebih cenderung menyoroti aspek dampak sumber daya keuangan yayasan. Belum begitu banyak penelitian yang berusaha mengeksplorasi bagaimana yayasan filantropi memanfaatkan mekanisme sosial untuk memajukan dan melegitimasi perubahan yang diinginkan.

Sebagai agen perubahan, yayasan filantropi dikenal sebagai institution entrepreneur yang berperan untuk menerangi mekanisme sosial yang mereka terapkan dalam mengejar perubahan kelembagaan. Yayasan filantropi sebagai agen perubahan memiliki kemampuan untuk memberikan legitimasi budaya baru yang diperlukan untuk menuju perubahan yang lebih baik.

Peran penting yayasan filantropi adalah memberdayakan organisasi baru yang diarahkan sebagai wahana untuk melakukan perubahan sosial yang dikehendaki melalui tiga mekanisme sosial. Pertama, mengombinasikan unsur budaya lokal dan unsur budaya baru untuk membentuk model organisasi baru yang dirancang guna melakukan perubahan. Kedua, mengembangkan dan menegakkan kerangka kerja evaluatif untuk menilai bentuk-bentuk organisasi baru yang cocok untuk melakukan perubahan. Ketiga, mensponsori para profesional baru untuk membangun kompetensi dengan keahlian yang diinginkan.

Yayasan filantropi semula lebih dikenal sebagai pemberi hibah, tetapi belakangan ini yayasan filantropi mulai masuk ke lapangan kewirausahaan, mereka melakukan institutional entrepreneurship. Melakukan sebuah proses untuk melaksanakan perubahan yang direncanakan yang sama sekali berbeda dengan pola yang sudah ada dan melembaga. Yayasan filantropi ini memanfaatkan budaya sebagai wahana untuk melakukan perubahan. Institution entrepreneur menautkan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat untuk membingkai bentuk organiasi yang paling disukai, yang dianggap penting dan perlu, dan sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada.

Kaya, tapi Ingin Bermakna

Filantropisme berhubungan erat sekali dengan keterlibatan orang-orang super kaya. Banyak orang kaya yang kini menjadi filantrop, menyumbangkan hartanya. Harta mereka disumbangkan untuk kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, hingga kesehatan. Bill Gates mendirikan Bill and Melinda Gates Foundation yang memiliki motto All lives have equal, equal value we are impatient optimists working to reduce inequity. Yayasan ini dalam upayanya mengikis kemiskinan memiliki keyakinan bahwa jalan keluar dari kemiskinan dimulai ketika generasi berikutnya dapat mengakses layanan kesehatan berkualitas dan pendidikan yang bagus.

Bill and Melinda Gates Foundation dalam kegiatan filantropinya di negara-negara yang sedang berkembang, fokus pada peningkatan kesehatan dan kesejahteraan manusia, membantu individu mengangkat diri mereka keluar dari kelaparan dan kemiskinan ekstrem. Selain itu, yayasan ini juga melakukan pemberdayaan kaum perempuan miskin agar mereka mampu bertransformasi lebih baik. Di sisi lain, yayasan ini juga menginspirasi masyarakat untuk ikut serta mengambil tindakan mengubah dunia melalui kegiatan kewirausahaan. 

Warren Buffet dan Mark Zuckerberg adalah orang dalam daftar orang terkaya dunia yang aktif di kegiatan filantropi. Filantropisme sebenarnya bukan tradisi baru. Andrew Carnegie (raja baja) dan Rockefeller (raja minyak) sudah lama dikenal sebagai filantrop. Yayasan peninggalan mereka banyak memberikan beasiswa kepada mahasiswa dari berbagai belahan dunia.

Kegiatan filantropi awalnya seperti upaya untuk membersihkan dosa. Era revolusi industri telah melahirkan orang kaya baru dengan kekayaan yang sangat melimpah. Kekayaan yang dimilikinya telah menciptakan jurang pemisah antara pekerja di bawah dan dengan pimpinan yang kala itu disebut Robber Baron alias perampok. Robber Baron kala itu diartikan sebagai kapitalis dan orang kaya yang tidak bermoral karena menghisap rakyat. Dalam rangka mengatasi ketidakseimbangan ini dan mungkin juga untuk meningkatkan reputasi mereka saat mendekati masa tuanya, beberapa pebisnis terkaya memilih untuk menyumbangkan hampir seluruh hartanya. Pionir kegiatan filantaropi adalah Andrew Carnegie. Orang kaya asal Skotlandia pemilik perusahaan baja US Steel, yang juga merupakan orang terkaya sepanjang masa. Carnegie yakin bahwa pengusaha sukses secara moral wajib menyumbangkan hartanya untuk membantu yang lain.

Berbeda dengan kaum filantropi Barat yang merasa telah melakukan dosa, filantropi Timur tumbuh dari tradisi moral yang berkembang di masyarakat. Konosuke Matsushita adalah contohnya. Matsushita menjadi seorang yang sukses karena inovatif. Ide-ide yang digagas kemudian diwujudkan dalam praktik-praktik manajemen nonkonvensional dan radikal, yang pada hari ini pun masih dipandang modern.

Matsushita adalah seorang filantrop, tidak ingin sukses sendirian. Falsafahnya let life and live. Menurutnya, misi dari sebuah perusahaan industri haruslah mengatasi kemiskinan, membebaskan masyarakat secara keseluruhan dari kesengsaraan, dan membawa kekayaan. Ia mendirikan organisasi, yang mirip dengan badan yang mengorganisasikan penganugerahan hadiah Nobel, pada tahun 1979 dengan nama Matsushita Institute of Government and Management. Badan ini ditujukan untuk mengembangkan kepemimpinan dalam pemerintahan dan politik abad ke-21. 

Sebagai perbandingan, lulusan dari lembaga ini memiliki kemungkinan sangat besar untuk menjadi wakil rakyat di Diet (DPR) Jepang dibandingkan dengan para lulusan Kennedy School of Government, Universitas Harvard untuk menjadi anggota U.S. Congress. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, menurut John Kottter, 10% dari alumni lembaga yang didirikan oleh Matsusitha ini sudah menjadi anggota Diet Jepang. Matshusita melalui institutional entrepreneur yang didirikannya telah berhasil merancang perubahan sosial sesuai harapannya.

Filantropisme di Indonesia

Dalam daftar World Giving Index 2017 yang dirilis Charities Aid Foundation (CAF), Indonesia menempati posisi kedua. Di atas Indonesia, ada Myanmar yang mengisi posisi pertama. Dalam subkategori kedermawanan mengorbankan waktu untuk membantu sesama, Indonesia berada di posisi puncak. Mengungguli semua negara di dunia, masyarakat Indonesia paling aktif mendedikasikan waktu demi membantu sesama. Ini artinya, kedermawanan masyarakat Indonesia juga disertai aksi nyata turun ke lapangan. Membersamai dan merasakan apa yang dialami oleh mereka yang membutuhkan uluran tangan.

Kedermawanan masyarakat Indonesia ini dilihat dengan jeli oleh Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Penggalangan energi derma masyarakat Indonesia ini kemudian ditujukan untuk membangun sekolah dan rumah sakit. Muhamadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang terkemuka dalam gerakan filantropi. Apa yang dilakukan Muhammadiyah selama ini membawa keuntungan yang bisa dinikmati masyarakat dan bangsa secara umum, tidak hanya warga perserikatan Muhammadiyah sendiri.

Sayangnya, energi berderma itu belum difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, belakangan ini sudah banyak bermunculan orang kaya Indonesia melakukan gerakan filantropi, seperti Ciputra, Sukanto Tanoto, Tahir, Anne Avantie, dan Irwan Hidayat, mereka adalah para filantrop yang banyak menolong masyarakat agar mampu bertransformasi lebih baik.

Negara perlu memberikan insentif agar para orang kaya itu tergerak menjadi filantrop. Ini sebagai upaya untuk mewujudkan sustainable development goal.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: