Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pertumbuhan Kredit Vs Pertumbuhan Ekonomi: Kausalitas?

Oleh: ,

Pertumbuhan Kredit Vs Pertumbuhan Ekonomi: Kausalitas? Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Beberapa waktu lalu, penulis membaca sebuah tulisan di salah satu media daring (online) yang intinya menyimpulkan antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi tidak terdapat korelasi penting sehingga tidak perlu dipaksakan. Kesimpulan ini terlalu absurd dan cenderung misleading. Berbagai literatur, penelitian akademik, dan kajian empiris di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan adanya hubungan kausalitas yang signifikan antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pertumbuhan pendapatan per kapita baik untuk negara maju maupun negara sedang berkembang. Hal ini berarti, kredit perbankan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi juga berpengaruh positif terhadap kredit perbankan (bidirectional causality).

Secara teori, ada beberapa variabel yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, baik sisi permintaan agregat maupun penawaran agregat. Dari sisi permintaan agregat, sumber pertumbuhan ekonomi terdiri atas konsumsi masyarakat; investasi swasta, domestik, dan luar negeri; pengeluaran pemerintah; dan ekspor bersih (selisih ekspor dengan impor). Sementara sisi penawaran, dicerminkan melalui fungsi produksi bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh ketersediaan modal, tenaga kerja (SDM), aset fisik, keuangan, sosial, teknologi, kewirausahaan, serta sumber daya alam dan energi.

Bagaimana peran kredit perbankan dalam pertumbuhan ekonomi? Kenaikan permintaan kredit perbankan, baik konsumsi, modal kerja, atau pun investasi akan mendorong daya beli, gairah usaha, dan tambahan investasi, khususnya investasi langsung. Aktifitas ini pada akhirnya dapat menciptakan efek pengganda (multiplier effect), antara lain pendirian pabrik baru, penyerapan tenaga kerja, permintaan bahan mentah, kenaikan hasil produksi, peningkatan daya beli, kenaikan pembayaran pajak, dan lain-lain. Siklus ini ujung-ujungnya adalah pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi akan mendorong investasi baru. Investasi baru akan merangsang permintaan kredit baru, mendorong konsumsi, daya beli, dan seterusnya. Proses efek pengganda itulah yang memberi efek rembetan pada pertumbuhan ekonomi, baik pada level daerah maupun nasional.

Faktor lain yang juga menentukan adalah besaran suku bunga kredit. Penelitian menunjukkan, secara simultan, kredit perbankan dan suku bunga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tinggi rendahnya kredit perbankan juga sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suku bunga perbankan. Jika suku bunga turun, permintaan terhadap kredit meningkat, ceteris paribus, dan sebaliknya. Kecepatan transmisi dari kredit dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi sangat tergantung kepada karakteristik ekonomi dan perbandingan skala usaha sektor keuangan secara relatif dengan besaran produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Semakin besar rasio kredit terhadap PDB maka semakin besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan suatu negara. Akan tetapi,bukan berarti semakin kecil maka pengaruhnya menjadi tidak signifikan. Dalam jangka panjang, pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi akan saling menstimulus.

Kajian teoritis di atas didukung oleh kajian empiris oleh banyak ekonom, akademisi, bahkan kajian BI dan OJK dalam berbagai periode waktu pengamatan di Indonesia. Hasil studi mereka secara umum mengonfirmasi bahwa kredit perbankan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Melengkapi sejumlah pendapat, kajian OJK (2015) menyatakan bahwa kredit perbankan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam rentang waktu yang lebih pendek apabila kualitas modal fisik atau kualitas infrastruktur sudah mencapai tingkat tertentu sehingga mampu mendorong produktivitas dan daya saing di sektor riil. Efek multiplier-nya akan lebih besar lagi apabila didukung dengan rendahnya suku bunga kredit. 

Mencermati berbagai hasil penelitian tersebut, prakondisi pertumbuhan yang berkualitas sebagaimana disyaratkan, pada dasarnya, telah sejalan dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Proyek infrastruktur terus berjalan dan sudah memberikan dampak positif, juga nilai tambah bagi perekonomian. Suku bunga perbankan yang terus turun— bahkan terendah dalam lima tahun terakhir—serta penilaian lembaga rating yang menempatkan Indonesia sebagai negara layak investasi dan menjadi negara peringkat dua yang paling menarik untuk investasi, menjadi bahan pembuktian. 

Selanjutnya, beberapa kajian lain menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena pertumbuhan ekonomi saat ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun selanjutnya. Kondisi tersebut dipastikan akan mendorong permintaan investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan kredit perbankan. 

Kembali kepada pertanyaan apakah bank main aman, terlalu konservatif, dan tidak mau ekspansi menyalurkan kredit? Apabila ekspansi dan kontribusi perbankan terhadap pembangunan hanya dilihat dari ekspansi kreditnya, pertumbuhan kredit dalam 3 tahun terakhir memang relatif menurun, meski dalam tren meningkat di akhir 2017. Namun, kalau dilihat dari keseluruhan penempatan dana, menyimak pendalaman pasar keuangan dan pasar hutang yang mulai marak, kontribusi perbankan pada sektor riil juga mesti dilihat dari substitusi ekspansi pada sektor surat utang dan instrumen pasar uang lainnya. Mencari moda pembiayaan dari pasar utang ini rupanya telah menjadi tren perusahaan-perusahaan domestik. Kemudahan proses, ketiadaan ikatan jaminan, dan bunga yang lebih bersaing menjadi pertimbangan utama. Tren ini sejalan dengan semakin maraknya transaksi di pasar modal yang terus meningkat.

Surat berharga non-sovereign (surat berharga di luar yang diterbitkan pemerintah dan BI) yang ada dalam portofolio bank saat ini meningkat dengan tren cukup besar, antara lain terdiri dari commercial papers (CP), medium term note (MTN), floating rate note, obligasi korporasi, dan reksa dana. Sejak tahun 2010, jumlah instrumen surat utang korporasi dan fasilitas pembiayaan sektor riil lainnya terus meningkat signifikan dari Rp74 triliun tahun 2010 menjadi Rp225 trilliun pada posisi Februari 2018 (table 1).

Perkembangan alternatif pembiayaan di luar sektor perbankan ini sejalan dengan arah strategis OJK untuk mendorong intermediasi pasar modal dalam pembiayaan yang berjangka waktu menengah panjang. Segmentasi jangka waktu ini menjadi penting agar terjadi pembagian beban antara sektor perbankan yang dominasi sumber dananya jangka pendek, dengan pasar modal dan pasar utang yang diharapkan memiliki horizon pembiayaan yang lebih panjang. Dengan demikian, perbankan tidak dipaksakan masuk dalam pembiayaan menengah panjang yang berpotensi memicu risiko likuiditas akibat mismatch sumber dana. Meski demikian, bank tetap dapat berpartisipasi dalam pembiayaan jangka menengah panjang tersebut secara terukur melalui pembelian berbagai surat utang korporasi di pasar utang sesuai dengan risk appetite-nya.

Pergeseran pilihan pembiayaan korporasi dari kredit ke surat utang dalam berbagai bentuk tersebut (meski telah mendapat fasilitas kredit dari bank) mengonfirmasi mengapa fasilitas kredit yang telah diberikan oleh bank, tetapi belum ditarik (undisbursed loan) terus meningkat. Tercatat jumlah undisbursed loan pada posisi Desember 2017 mencapai Rp1.400 triliun. Bandingkan dengan tren undisbursed loan pada tahun 2011 sebesar Rp603 triliun saat pertumbuhan kredit masih tinggi dan Rp1.138 triliun pada akhir 2014 saat perlambatan kredit terjadi hingga akhir 2017. Tren penurunan pertumbuhan kredit dan peningkatan undisbursed loan ini juga sejalan dengan peningkatan eksposur surat-surat berharga di luar yang diterbitkan pemerintah. Korporasi kini telah mendua. Di satu sisi, tetap mengharapkan fasilitas pendanaan dari bank melalui aplikasi kredit. Namun, di sisi lain juga menggali sumber dana di pasar modal dan pasar utang. Smart…! Arbitrage suku bunga, jangka waktu, dan kemudahan akses dana menjadi kata kunci.

Lantas, apakah perlambatan pertumbuhan kredit karena faktor substitusi surat utang tersebut? Atau pertanyaan mendasarnya: apakah terdapat pergeseran appetite bank dalam menyalurkan kredit? Kita lihat faktanya. Pertumbuhan kredit dalam kurun waktu 2010—2013 mencapai rata-rata 21% (table 2). Tren perlambatan pertumbuhan kredit bermula dari 2014—2016 dan kembali dalam tren meningkat tahun 2017 sebesar 8,24% meski masih di bawah ekspektasi. Tren DPK bergerak di arah yang sama (table 3).

Apabila pertumbuhan kredit ditambah dengan pertumbuhan penempatan pada surat utang korporasi, pertumbuhan pembiayaan perbankan kepada sektor riil telah mencapai 11,26%. Perlu pula diingat bahwa pada masa  konsolidasi, bank banyak melakukan hapus buku kredit macet, pelunasan yang dipercepat, dan penjualan kredit bermasalah dan yang besarnya di luar tren normal (unusual rundown) tahun-tahun sebelumnya yang besarnya mencapai 2,03%. Apabila tren penurunan nominal kredit yang di luar polanya tersebut diperhitungkan atau dengan kata lain hanya dihitung kredit bersih yoy, secara nominal ekspansi pembiayaan perbankan kepada sektor riil telah mencapai 13,56%. Pertumbuhan ini belum memperhitungkan penempatan dana bank pada sektor keuangan, baik dengan pola channelling dan executing. Misalnya, penempatan bank umum kepada BPR dan lembaga keuangan lainnya yang besarnya di kisaran 1,35%.

Dengan alternatif pola pembiayaan yang makin beragam di luar sektor perbankan ini, peran kredit dalam jangka panjang akan makin berkurang. Terlebih, porsi kapitalisasi pasar modal dalam sistem keuangan dibanding aset perbankan saat ini juga tidak berbeda jauh (table 4). Perbankan juga harus bersaing dengan lembaga keuangan lain, seperti asuransi, perusahaan pembiayaan, dan dana pensiun untuk pembiayaan di pasar utang. 

Dari gambaran tersebut, jangan-jangan bank bukan lagi main aman, tetapi sedang melakukan positioning menyeimbangkan portofolio penempatan dananya dari kredit ke surat utang lainnya. Mudah-mudahan bukan karena kalah bersaing dan ditinggalkan debiturnya yang lari ke pasar modal dan pasar surat utang yang makin bergairah. Akan tetapi, bagaimana pun bank sebagai pemegang likuiditas terbesar di sektor jasa keuangan pasti tetap yang dominan kontribusinya dalam pembiayaan nasional. Kita lihat episode berikutnya…

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: