Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bank Asing Dominasi Segmen Wholesale Banking

Bank Asing Dominasi Segmen Wholesale Banking Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Segmen bisnis korporasi masih didominasi oleh perbankan global. Selain memiliki jaringan dan outreach yang lebih luas secara global, umumnya perbankan global unggul dalam hal technology advanced dan pengalamannya dalam meng-handle struktur-struktur transaksi yang makin kompleks.

Menurut catatan Coalition, perusahaan konsultan global, setidaknya pada 2017 lalu ada dua kelompok perbankan global yang mendominasi segmen ini. Pada kelompok pertama, secara berurutan menduduki peringkat teratas adalah J.P. Morgan, Goldman Sachs, Citi, Bank of America Merrill Lynch, dan Morgan Stanley. Mereka umumnya pemain global dan memimpin pangsa pasar hampir di semua kategori.

Lalu di kelompok kedua, ada Deutsche Bank, Barclays, Credit Suisse, HSBC, UBS, dan Standard Chartered. Para bank papan atas ini umumnya menjalankan 3 lini bisnis: fix income clearing corporation (FICC) termasuk G10 rates, G10 forex, securitization, credit, commodities municipal finance, ekuitas (equity) termasuk cash equities, equity derivates, prime services, feature and options, serta investment banking (IB) seperti mergers and acquisitions, equity capital markets, dan debt capital markets.

Definisi perbankan korporasi sendiri, jika mengacu pada Investopedia, adalah segmen perbankan yang umumnya melayani beragam korporasi, mulai dari perusahaan berskala menengah hingga besar dengan penghasilan jutaan dolar (konglomerat) dan penjualan mencapai jutaan dolar di berbagai negara. Beragam layanan diberikan, termasuk kredit, layanan treasury and cash management services, equipment lending, commercial real estate, trade financing seperti letters of credit (L/C), serta layanan pegawai seperti payroll dan group retirement plans. 

Memang, jika menilik pertumbuhan kelas menengah dan orang-orang kaya (konglomerat) di Indonesia yang tengah menggeliat, ini menjanjikan potensi yang besar. Tak ayal, berbagai perbankan global merapat ke sini. Lini usaha wealth management—bisnis pengelolaan dana kelas premium yang diisi golongan menengah-atas— menjadi sasaran. Pertumbuhan jumlah dana pihak ketiga (DPK) dari kelompok tersebut memang naik dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya terlihat dari simpanan nasabah dengan nilai di atas Rp2 miliar.

Salah satu bank yang gencar membidik konglomerasi Indonesia adalah Citi Indonesia. Citi, melalui bisnis trade financing-nya terus menggandeng mitra bisnis baru. Maklum, tahun 2017 lalu bisnis trade finance Citi Indonesia banyak disumbang oleh bisnis letter of credit (L/C). Penyumbang lainnya adalah open akun atau supply financing.

Dua bisnis trade finance ini mempunyai segmen pasar masing-masing. Untuk L/C, Vincent C. Soegianto, Treasury and Trade Head Citi Indonesia, mengatakan ini mayoritas untuk korporasi besar. Sementara untuk open akun dan supply financing, biasanya untuk klien yang kepercayaannya lebih besar.

Riko Tasmaya, Managing Director Head of Global Subsidiaries Group Citi Indonesia pernah mengatakan bahwa yang membedakan trade finance Citi Indonesia dengan bank lain adalah terkait implementasi digital banking. Citi sangat fokus pada digital platform. Inilah yang membedakan Citi dengan yang lain. Selain itu, Citi juga mempunyai banyak klien trade finance perusahaan multinasional asing. Ini turut mendongkrak pendapatan bank berbasis bukan bunga atau fee based income perusahaan.

Lain cerita dengan Standard Chartered Indonesia. Bank yang satu ini fokus pada transaksi pembayaran internasional. Perusahaan telah mengembangkan aplikasi berbasis distributed ledger technology bersama Infocomm Development Authority of Singapore (IDA) dan telah berhasil menyelesaikan pembuktian konsep atau proof of concept (POC). Ini akan mengurangi risiko seputar duplikasi pembiayaan faktur untuk bank serta menjaga kerahasiaan klien secara bersamaan. 

Tidak berhenti di situ, sejak Desember 2017 lalu, perusahaan telah mengembangkan SWIFT Global Payment Innovation (SWIFT GPI) dalam dolar AS dan dolar Singapura, dan segera menyusul euro untuk memperluas layanan kepada klien yang melakukan pembayaran lintas negara dalam mata uang dolar AS. Dengan SWIFT GPI, klien dapat mempercepat proses pembayaran, mendorong terciptanya transparansi, dan pegecekan real time dalam pengiriman uang lintas negara (cross border payment) yang dalam waktu dekat akan menjadi standar baru dalam pengiriman uang.

Head of Cash Management and Transaction Banks Standard Chartered Indonesia, Rolly Angetula Lahagu, menyatakan ada beberapa kelebihan yang didapat dengan SWIFT GPI. Pertama, penggunaan dana yang cepat dan pada hari yang sama (same day US) secara teknis sudah bisa 30 menit. Namun, kemudian ada proses selanjutnya, yakni administrasi. Keuntungan kedua, tansparansi penuh biaya dan kurs valas (FX) di seluruh rantai pembayaran dan keterlacakan menyeluruh (end to end) sehingga biaya makin murah. 

Dari 11 ribu bank anggota SWIFT, 160 di antaranya sudah menyatakan minat (signing up) untuk menggunakan SWIFT GPI, antara lain BNI, BRI, dan Bank Sinarmas. Di antara 160 bank tersebut, 53 di antaranya sudah live termasuk Standard Chartered dan mereka meng-capture sekitar 85% dari total transaksi global.

Untuk diketahui, Standard Chartered telah melayani Bank Mandiri dan 25 perbankan besar Indonesia lainnya serta lebih dari 100 perbankan global sebagai correspondent bank untuk remittance US dolar. Saat ini, ketika nasabah perbankan konglomerat Indonesia ingin melakukan transfer valas, bank konglomerat tersebut masih harus menggandeng partner bank yang terdaftar sebagai clearing member di AS, untuk bertindak sebagai bank koresponden seperti Standard Chartered.

“Jadi, kami di sini memfasilitasi remittance in dan out dari klien bank, sebagian besar bank besar di Indonesia sudah menggunakan kita. Masalahnya dengan format SWIFT yang dulu, ini bergerak dari point ke point. Kita tidak pernah tahu soal transparansi kapan diterimanya, dan berapa charge-nya. Nah SWIFT GPI ini bisa mendorong cost hingga 50% kalau di negara berkembang, sedangkan 20%—30% di negara maju,” kata dia.

Diakui Rolly, bank seperti Standard Chartered sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan bank-bank domestik di negara manapun, termasuk untuk kebutuhan investasi maupun menciptakan nilai tambah lainnya. Kuncinya adalah kolaborasi antara perbankan global dan domestik karena masing-masing memiliki comparative advantages.

“Kami bank global memiliki advantages in term of international reach and technology enhancement. Sementara, perbankan domestik juga punya keunggulan di domestik reach. Dengan kolaborasi, akhirnya semakin banyak pemain dan kita bisa saling belajar, yang ujungnya akan men-drive cost down dan yang untung, ya, kita para remitter,” tambah Rolly. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: