Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bank Mandiri: Kami Sudah Setara JP Morgan

Bank Mandiri: Kami Sudah Setara JP Morgan Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Mandiri merupakan bank dengan core business sebagai corporate bank terbesar di Indonesia. Itu bisa dilihat dari sisi kucuran kredit ke korporasi yang nilainya mencapai Rp248 triliun atau 37,4% dari total kredit sebesar Rp662 triliun. Sampai 2020, Bank Mandiri perkirakan pertumbuhan di kredit korporasi masih signifikan, tapi pasca itu akan mengalami stagnasi. Hal ini dikarenakan adanya disrupsi dari kehadiran fintech. Untuk mengantisipasi hal itu, perusahaan mencoba berbagai strategi. Misalnya, dengan melebarkan sayap pelayanan bank tidak melulu hanya ke korporasi tapi juga karyawan dari korporasi yang menjadi customer. Karyawan perusahaan tersebut menjadi lahan baru Bank Mandiri nantinya dengan menawarkan one stop service bank, di sini semua jenis layanan tersedia dengan lengkap. 

Guna menggali lebih lanjut langkah-langkah strategis Bank Mandiri menjadi The Indonesia’s Best ASEAN’s Prominent pada 2020, wartawan Warta Ekonomi yang terdiri atas Agus Aryanto, Yosi Winosa, Arief Hatta, dan Heri Lingga berbincang-bincang dengan Kartika Wirjoatmodjo, CEO PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, di Kantor Pusat Bank Mandiri, di Jakarta, Rabu, 25 April 2018. Berikut petikannya:.

Bank Mandiri bertekad menjadi most prominent bank di Indonesia dan ASEAN, bisa diceritakan langkah transformasi yang sedang dan akan dijalani Bank Mandiri?

Pada awalnya, manajemen telah menetapkan tiga episode core plan, yakni core plan 2005-2010, lalu 2010- 2015, dan 2015-2020. Jadi, kami sudah membuat tiga step transformasi. Di 2015 itu sebenarnya sudah harus siap di posisi tinggal landas ke depan. Namun, waktu itu memang terjadi perubahan cuaca ekonomi, Indonesia mengalami resesi. Tahun 2016 profit kami sempat turun, akhirnya non-performing loan (NPL) naik ke 4%. Ada dua hal yang kami sadari. Pertama, memang ada kelemahan internal yang harus kami perbaiki. Kedua, strategi bisnis kami melihat kapabilitas, persaingan, dan core competence juga mesti ada perubahan.

Lalu, kami melakukan perubahan fokus bisnis, tadinya melihat semua segmen equal atau universal bank. Kami belajar dari kejadian tahun 2016. Sebenarnya, core competence-lah yang bisa membedakan, yang bisa membuat kami survive dan strive secara sustainable. Sebab, kalau strategi kami sama seperti bank lain—kami kerjakan semuanya dari corporate, commercial, SME, micro, dan consumer—kami jadi kehilangan fokus. 

Di sini kami menemukan bahwa sebenarnya Mandiri ini bank yang core-nya korporasi. Itu sempat ada pada periode 2010—2015 atau saat transformasi kedua. Kami bergeser terlalu jauh ke universal bank. Core competence yang ada di korporasi ini malah jadi terdilusi karena terlalu mengarah ke universal bank. Akhirnya, kami tarik lagi yang core korporasi ini sebagai anchor.

Jadi, salah satu langkah transformasi itu fokus pada core business (korporasi), detailnya bagaimana?

Di korporasi, orang melihat seolah-olah sudah settled, padahal room untuk growth-nya masih cukup tinggi. Ada tiga peluang yang kami lihat, pertama dari sisi bagaimana kami bisa melakukan advisory dan transaksi yang lebih kompleks. Di Mandiri “zaman old”, kredit korporasi hanya kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI). Padahal, ada juga perusahaan yang membutuhkan project finance, misalnya pembangunan light rail transit (LRT). Ada juga yang acquisition financing. Ini kebutuhan yang harus di-approach dengan pendekatan financing, yang structure-nya harus berbeda dengan normal. Adapun kami berinovasi dari sisi structure financing dan mitigasi risikonya. Contohnya di proyek LRT atau Komodo Bonds, itu sudah kami fasilitasi dan akan terus dikembangkan.

Kedua, inovasi dari sisi forex. Pasalnya, kebutuhan transaksional ini masuk ke lindung nilai. Sementara, foreign currency business kami cukup besar. Kontribusi profitnya dalam satu tahun sekitar Rp1,5 triliun. Selain memproses day to day spot, unit pengelola forex juga sekarang sudah memberi produk lindung nilai. Misalnya, call spread, cross currency swap, dan interest rate swap. Tidak kalah dengan bank-bank asing karena capability kami sudah di-upgrade. 

Berdasarkan PBI (Peraturan Bank Indonesia-red), pinjaman valas harus dilindung nilai. Sekarang kami aktif sekali ke sana. Perusahaan-perusahaan yang membangun listrik, sebagai contoh yang harus konversi (likuiditasred) ke rupiah. Kami sudah masuk ke sana karena inovasi treasury kami sudah jauh. Risikonya kami share juga dengan counterparty

Ketiga, kami juga ingin menciptakan kemudahan transaksi dengan fasilitas cash management. Nantinya, sistem keuangan korporasi SAP akan dikoneksikan dengan cash management kami. Nantinya, kepala bagian akunting tidak perlu lagi pergi ke cabang, cukup pakai pesuruh bawa dokumen. Semua sudah automasi termasuk pembayaran pajak, PPh, juga forex semuanya kami provide di situ. Sekarang ini kami sudah cukup handal. Sudah banyak korporasi, khususnya BUMN, yang transaksionalnya ini sudah pakai cash management kami. Harapannya, korporasi lain pun kelak akan bergeser ke kanal-kanal (transaksional-red) kami

Ke depan, kami ingin terus berinovasi. Nanti, semua kebutuhan korporasi, transaksi sehari-hari, pembayaran pajak, bayar ke supplier/ distributor, ada excess fund ingin investasi, atau hedging bisa melalui platform kami juga. 

Kembali ke transformasi yang sedang dijalani tadi, apa lagi yang dilakukan setelah refocusing ke core competence?

Untuk tumbuh, kami melihat bahwa korporasi ini “bisnis yang sudah established” dan kapasitas growth-nya ke depan mungkin tidak terlalu tinggi lagi. Dalam jangka pendek ini bisa meng-create strong revenue growth dan market share leadership yang kuat setidaknya dalam 2—3 tahun ke depan. Akan tetapi untuk ke depan, harus ada new core business.

New core-nya ini adalah retail. Kami memiliki beberapa simpul. Pertama, kami perlu me-leverage segmen coreporate banking sebagai energi yang utama. Mandiri adalah bank yang mem-provide financial service kredit kepada perusahaan. Jika diturunkan ke payroll-nya, ke karyawannya itu sebenarnya engine yang tidak dimiliki bank lain. Kalau capture semua nasabah korporasi Mandiri ini di level pegawai, kami bisa mempunyai captive market yang kuat sekali untuk bisa kembangkan. Hal ini kemudian bisa membuat kami berbeda dengan bank lain. 

Retail ini nanti barangnya seperti apa?

Produk yang akan kami dorong di sini beragam karena pegawai akan bertumbuh dari sisi karir, gaji, dan kebutuhan finansialnya, termasuk mulai dari credit card (CC), kepemilikan mobil, KPR, investasi, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, hingga tabungan pendidikan anak. Ini juga harus kami capture. Istilahnya, bank at work. Jadi, bank kami menjadi tempat kerjanya orang. Di situ nanti kami provide kebutuhan karyawan tanpa perlu harus masuk ke kantor cabang Bank Mandiri. Kami sering membuat event di BUMN atau perusahaan swasta. Di sana kami bawa AXA mandiri atau Mandiri Tunas Finance (MTF) untuk jualan. Target pasarnya adalah pegawai BUMN dan perusahaan swasta itu. Ini adalah captive market dengan risikonya yang juga bisa kami kendalikan.

Kami juga tahu bahwa di retail ini akan terjadi disrupsi besar. Agar kami bisa bersaing 10 tahun ke depan, kami juga bangun engine untuk digitalisasinya. Tujuannya, agar bisa convert ke platform digital. Kami sebenarnya sudah punya produk seperti e-cash atau e-money. Nah, kedua produk ini perlu dikembangkan agar tumbuh menjadi ekosistem yang integrated sehingga offering-nya bisa lebih lengkap. 

Artinya, saat ini refocussing core competence dan pengembangan new core. Ke depan apa transformasinya? 

Kami akan evolusikan digital banking menuju customer centric. Karena customer kami berbeda-beda, misalnya para pegawai. ada juga customer base kami yang tumbuh dari cabang, yaitu pedagang. Dalam hal ini, posisi kami nomor dua setelah BCA karena kami lebih kuat di nasabah fix income earner. Namun, kami lawan mereka di transactional customer. Kami mencoba approach yang berbeda. Kami coba sambungkan yang transaksional dengan kreditnya sehingga nanti nasabah bisa tumbuh dengan dukungan pembiayaan, namun juga dapat memanfaatkan cabang untuk proses keuangan sehari-hari.

Proses transformasi tersebut sedang berjalan. Karyawan cabang itu core-nya transaksional, sedangkan Relationship Managers (RM) yang mengurusi kredit ini di luar. Cukup susah mengintegrasikannya karena kalau menyasar nasabah kredit yang bukan nasabah transaksi di cabang, datanya sulit didapat. Selain itu, NPL-nya berpotensi tinggi karena pembayarannya sulit kami dapat secara rutin. Harusnya transaksi dulu di kami, baru kami offer dia kredit. Adapun proses ini nanti akan kami evolusikan dalam platform digital. 

Jadi, internet banking kami yang saat ini hanya transactional tool nantinya akan diintegrasikan dengan kredit. Kami memiliki program besar di back office karena untuk digitalisasi proses bisnis di Mandiri tidak bisa dari front office. Untuk membongkar back office ini, kami punya dua program besar, yakni business process re-engineering dan branch office system improvement. Cabang itu punya screen, lalu ada proses kredit, nanti kami gabung semua sehingga proses di cabang bisa dilakukan secara online.

Berarti mengarahkan digital banking ke retail juga?

Benar. Kami sudah coba untuk credit card. Di GATF (Garuda Travel Fair 2018), orang bisa apply CC, kami approve dalam waktu 1,5 jam. Sebenarnya bisa 1 jam karena ada site traffic. Kami cetak CC di Sentra Mandiri, Jl. RP. Suroso, Gondangdia. Kalau cetak kartu di lokasi GATF atau di Plaza Mandiri, saya yakin hanya 30 menit, mulai dari isi aplikasi, scan data, hingga cek ke SLIK OJK.

Untuk debt ratio, akan dicek ke pemberi kerjanya. Di situ ada proses call specific ke pemberi kerja, dihitung scoring-nya, dan limit-nya berapa. Selesai approval, akan di-authorized untuk personifikasi masuk ke mesin cetak. CC yang berbasis payroll tadi ternyata lebih cepat hanya 30 menit, dari biasanya 1—2 hari. Sementara multiguna, tidak ada proses cetak kartunya. Jadi setelah pemberi kerja memberi otorisasi, kami langsung cairkan ke rekening debitur. 

Untuk KPA dan KPR mungkin cukup challenging karena ada proses verifikasi lokasi lapangan, ke notaris, lalu uang muka (DP). Prosesnya bisa 3—4 hari baru cair, dari selama ini 2 minggu. Mimpinya ke depan, investment pun akan kami masukkan ke sini. Misalnya orang punya excess money di tabungannya, dia bisa ambil reksa dana yang di-provide dari Mandiri Manager Investasi (MMI) atau dia bisa beli unitlink dari AXA Mandiri Financial Services. Saat Ini, kami sedang pertimbangkan apakah harus satu front end atau beda, tapi interlink. Seharusnya semua bisa dilayani dengan front end sehingga kelak nasabah dapat mengelola berbagai aset keuangannya dengan satu screen ini, bukan cuma transaksi saja. Ini yang akan membuat Mandiri berevolusi 5—10 tahun ke depan. 

Namun, apakah perkembangan fintech yang massive juga menjadi constrains tersendiri ke depan?

Kami percaya Indonesia masih growing sehingga kami merasa masih bisa memperluas market share baik di korporasi maupun retail. Akan tetapi memang ada batasnya, saya lihat pertumbuhan revenue growth perbankan di Indonesia sampai 2020 masih bagus. Adapun setelahnya kemungkinan mulai stagnan. Pasalnya, kalau dari sisi retail, salah satunya ada persaingan dengan fintech. Mislanya, yang sudah terasa saat ini di payment. Dulu, semua orang ke ATM untuk bayar keperluan, tetapi saat ini mereka cukup ke Tokopedia. 

Nanti fintech akan mulai memberikan produk investasi, nasabah pun memiliki opsi. Ini akan membuat market-nya mulai berkembang sehingga ikut memangkas pendapatan bank dari sisi fee based. Belum lagi efek pengaturan merchant discount rate (MDR). Untungnya, kami masih punya forex, yang indikasinya masih naik. Sementara, growth fee-based kami masih di kisaran 12%—15%. Kami ada dua engine, retail dan wholesale. Retail mulai melandai, tapi wholesale-nya masih baik.

Akhirnya, harus ada pembeda yang kuat di wholesale?

Pada prinsipnya , running this business is running the people, particularly di wholesale segment karena pada akhirnya orangnya yang harus handal. Artinya, kualitas Relationship Manager (RM), investment bankir, ataupun dealer kami harus kuat. Pasalnya, di wholesale itu memang high expertise. Bank, seperti JP Morgan, Citibank, atau Deutch Bank bisa menguasai wholesale ini karena mereka unggul signifikan dari sisi kemampuan orang-orangnya. 

Adapun Mandiri zaman “feodal” hanya ambil transaksi yang sebenarnya tidak high transaction value, seperti KMK dan KI, keduanya produk paling sederhana. Sekarang kami mulai bergerak ke transaksi yang lebih kompleks, seperti LRT dengan risk mitigation yang sifatnya korporasi. Ada peran pemerintah karena ada PSO-nya juga. Kami gunakan mitigasi, seperti cash efficiency support dari Kementerian Keuangan. Intinya, loading-nya harus tepat.

SDM-nya sudah siap berarti?

Wholesale sifatnya experties yang specialized, ada judgement. Di treasury misalnya, kami ada divisi khusus treasury. Di treasury yang paling top itu kan ada customer flow, banking book dan prop, serta taking position. Prop trading, sudah mulai kami beri mereka kewenangan, tetapi di intra day saja. Mereka itu sudah ada yang di derivative, bukan forward lagi. Misalnya, interest rate swap dan cross currency swap, tapi taking posisi intra day. Itu anak-anak umur 28—32 tahun sudah ada. Ada batasannya, kalau dia cust loss berapa nanti sore hari bisa di-unwind. Tapi, poinnya dalam mengembangkan orang harus ada spesialisasi yang didorong juga.

Saya bicara dengan hampir semua nasabah korporasi, top of mind mereka sekarang sudah Mandiri. Mau transaksi apapun, top of mind mereka Mandiri. Yang terakhir kami support adalah Adaro untuk akuisisi. Jadi, kami sudah managing orang mulai dari yang Pertamina, Telkom, KAI sampai Medco, Salim, dan Djarum. Manusianya tentu beda-beda, modelnya juga. Tantangannya, bagaimana kami bisa membawakan Mandiri dengan flavour yang beda.

Adakah konglomerat yang menchallenge?

Yang masih struggling itu cash management karena sistemnya memang berat. Secara fitur, sales cash management sudah lumayan, tapi sustainability kami masih belum bisa stable untuk bank asing. Standard Chartered, misalnya, platform mereka untuk world bank, stabilitasnya tentu sudah bagus. Sementara, kami masih home base dan belum semumpuni mereka. Itu yang membuat kami masih struggling di cash management. Kami pun sedang mencoba dorong ke arah sana. Untuk produk venture gap expertise-nya sudah tidak ada. 

Apa bisa bertransformasi dalam waktu relatif singkat?

Saat ini, isunya adalah gap generation. Mereka yang milenial sekarang ini jaraknya cukup jauh dengan generasi sebelumnya. Artinya generasi baru ini harus melakukan lompatan yang jauh. Akan tetapi, sisi baiknya adalah generasi milenial lebih inovation, lebih kreatif, dan tentu lebih mudah diajarkan. Bandingkan saat mengajarkan orang-orang lama di zaman dulu terkait produk-produk di structure finanching, mereka lebih susah mengerti.

Kami bersyukur mengingat saat ini kami dianggap sebagai salah satu top recruiter di Indonesia, sama seperti Pertamina dan Telkom. Reputasi ini menjadikan kami pilihan utama best SDM dari ITB, UGM, dan UI. Jadi, bahan bakunya sudah bagus. Tinggal bagaimana melakukan akselerasi knowledge ini.

Selain langkah-langkah transformasi tadi, ada lagi tidak yang dibayangkan jika melihat perkembangan Asian banking karena mereka juga lebih luar biasa untuk urusan pengelolaan cash, jadi one stop service bank?

Ini cikal bakal kami. Kami berencana untuk ekspansi, tetapi pemegang saham meminta tunggu dulu sampai NPL turun di bawah 3%. Jadi, sekarang kami mengutilisasi ASEAN hub kami di Singapura. Kami scale up karena sekarang sudah ada lisence untuk Mandiri Sekuritas dan lisence untuk Mandiri Investment. Mandiri Sekuritas sekarang sudah lokal yang punya lisence untuk global fund. Bond-bond global kami ini sudah setahun ini sangat aktif. Indonesia nomor 3 atau 4 teraktif tahun lalu. Jadi, sekarang ini kami sudah bisa close financing cross border termasuk Komodo Bonds itu karena kami punya lisence untuk distribusi dan underwrite di luar Indonesia. 

Untuk manajemen investasi dan wealth management, kami baru launch minggu lalu dengan menggandeng Bank Lombard Odier. Kami gandeng Swiss Bank ini—salah satu yang tertua dengan pengalam 222 tahun—untuk provide jaringannya ke kami. Strateginya untuk yang offshore ASEAN ini, kami ingin meng-capture kebutuhan orang Indonesia yang cross border. Kalau bisa dikuasai, paling tidak cross border transaction-nya baik yang korporasi maupun privat, pengusaha-penguasaha Indonesia itu bisa kami capture di Singapore office ini. Kalau Singapura ini lebih ke hub untuk menggarap transaksi existing customer, baik yang korporasi maupun private. Ini akan berkembang karena kami ada private banking, sekuritas, dan sebagainya. 

Kalau presence di ASEAN sendiri, ada rencana khusus ekspansi atau memperbesar cabang di ASEAN?

Untuk ASEAN, ada beberapa opsi untuk ekspansi. Kami tidak mau sekedar ekspansi, tapi harus membawa core competence. Kalau kami masuk tanpa core competence, bagaimana caranya bisa bersaing.

Saya cenderung melihat Vietnam dan Filipina, kenapa? Mass product-nya masih di belakang kami, jadi kami masih mempunyai room. Lalu, popluasi dan GDP-nya bagus jadi market-nya growing, margin pun masih bagus. Oleh karena itu, kalau kami masuk ke sana, kami bisa grab market dengan membawa expertise yang ada di sini. Bermacam-macam, termasuk nanti membawa kredit kendaraan dari multifinance atau insurance-nya. Jadi, bisa bank atau bank plus plus.

Kami sudah diskusi dengan salah satu bank di Filipina yang spesialisasinya di kredit untuk pegawai. Ini cocok, kami bisa mengekspor expertise kami ke sana. Namun,, kalau hanya masuk polos, tidak punya expertise, tidak ada kepala cabang, tidak ada target market-nya, saya jamin tidak akan tumbuh. Malaysia juga spesifik karena kami lebih fokus untuk men-serve TKI. Selain itu, banyak juga perusahaan-perusahaan Indonesia sudah beroperasi di dua negara.

Akan tetapi untuk ke negara lain, kami harus benar-benar cari specific thing. Nasabah Indonesia memang harus masuk ke market lokal. Harus jelas target-targetnya apa, core competence-nya apa. Kami yakin dengan inovasi dan rencana digitalisasi yang kami punya.

Sementara, Singapura mungkin susah karena mereka berada di depan kami. Namun, Vietnam dan Filipina kami yakin. DBS CIMB juga mulai masuk ke Hanoi, Vietnman. Saya juga lihat kredit kendaraan bermotor sedang booming di sana.

Dengan berbagai upaya tadi, kirakira apakah akan sampai semua itu di 2020?

Keinginan kami benar-benar menjadi the best bank. Kami juga benar bermain di wholesale dan retail. Untuk wholesale tadi gapnya lebih hijau, sedangkan retail masih membutuhkan waktu 2—3 tahun lagi.

Saya harus akui bahwa dengan BCA dan BRI, kami juga bersaing ketat. Ada banyak front kami masih menang di persaingan itu. Adapun di sektor retail, digital dan KPR masih banyak pekerjaan rumahnya. Kami ini harus mampu untuk masuk ke semua nasabah korporasi yang ada di Indonesia baik nasional, maupun swasta lokal. Semua transaski apapun yang kompleks-kompleks itu bisa ditangani oleh Bank Mandiri.

Sekarang kami sudah nomor satu di sisi fase perkembangan manajemen. Mansek itu sudah ada di nomor satu di asset management. Biasanya nomor satu CIMB, sekarang sudah Mansek. Padahal, biasanya nomor satu itu CIMB, sekarang sudah Mansek. Ini yang saya dorong terus supaya nanti bisa top of mind. Harapannya, semua orang tahu dan bangga bahwa mereka punya home bank yang benar-benar jadi bank yang kuat dan punya expertise yang bagus di Indonesia. Dengan kata lain, kami ini ibarat Citibank-nya Indonesia.

Jadi yakin di 2020 itu sudah menjadi The Prominance Bank ya, termasuk di ASEAN?

Harus dan bukan hanya generasi saya, generasi berikutnya pun harus sampai ke sana. Di ASEAN itu sudah satu level dengan DBS dan CIMB. Untuk menjadi The Prominent Bank tadi, korporasi kami harus sejajar dengan DBS dan CIMB. 

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: