Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Awas, Pakai Uang Elektronik Jadi Boros

Oleh: Stanley Christian, Senior Advisor AZ Consulting

Awas, Pakai Uang Elektronik Jadi Boros Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bagi teman-teman yang sering menggunakan jasa transportasi seperti, KRL, Transjakarta, termasuk kendaraan pribadi pengguna ruas jalan tol, sudah wajib hukumnya memiliki uang elektronik. Selain untuk mendukung program Bank Indonesia, yaitu Gerakan Nontunai (GNT), keberadaan uang elektronik ini untuk mempermudah kita dalam bertransaksi, khususnya pengguna transportasi seperti di atas tadi.

Berdasarkan data statistik Bank Indonesia, jumlah uang elektronik yang sudah beredar hingga November 2017 mencapai 113 juta instrumen berjenis e-money ataupun e-wallet. Jumlah ini meningkat signifikan dari posisi awal 2017 yang hanya 52 juta instrumen uang elektronik. Jumlah itu mencakup 26 jenis uang elektronik yang dikeluarkan oleh 26 perusahaan penerbit berbeda.

Ada dua jenis uang elektronik. Pertama, uang elektronik berbentuk kartu (chip based) atau biasa dikenal e-money. Kedua, adalah e-wallet yakni uang elektronik berbasis aplikasi (server based).

Jumlah transaksi uang elektronik juga melonjak signifikan sepanjang Oktober dan November 2017. Namun, hal itu lebih disebabkan adanya aturan transaksi nontunai di jalan tol. Ditambah lagi saat ini kita dalam suasana pulang kampung alias mudik. Banyak sekali kendaraan roda empat yang menikmati ruas tol berarti transaksi semakin besar. Namun, perlu kita ketahui bersama uang elektronik tidak hanya sebatas untuk pembayaran sarana transportasi. Akan tetapi, kita juga dapat menggunakan uang elektronik tersebut untuk melakukan transaksi di minimarket atau store yang bekerja sama dengan penyedia uang elektronik tersebut.

Semakin menyenangkan bukan? Tapi, kemudahan ini sering kali membuat kita terlena sehingga menjadi salah satu faktor terciptanya kebiasaan konsumtif alias lebih boros. Kok bisa ya dengan uang elektronik yang seharusnya mempermudah bertransaksi tapi malah memicu perilaku boros, berikut ulasannya.

1. Penggunaan Tak Sesuai Tujuan

Umumnya Anda menggunakan uang elektronik untuk membayar sarana transportasi seperti KRL atau bus. Sudah seharusnya Anda menggunakan untuk hal tersebut sehingga dengan jelas dapat mengetahui berapa besar pengeluaran bulanan transportasi. Namun yang terjadi tidaklah hanya untuk membayar transportasi karena ketika sedang menunggu di stasiun kereta, Anda kerap melihat booth/store yang menawarkan promo bila membayar dengan uang elektronik tertentu.

Lalu, apa yang Anda lakukan? Ya, bisa jadi Anda akan tergiur dengan promosi tersebut dan akhirnya membeli dengan memakai uang elektronik. Bisa kita bayangkan bila ini Anda lakukan terlalu sering? Yang ada malah bukan membuat untung, tapi membuat pengeluaran semakin boros.

Seperti diungkapkan oleh David Bach, seorang penulis sekaligus motivator keuangan di Amerika Serikat yang mencetuskan istilah latte factor untuk pengeluaran-pengeluaran itu. Latte factor mengacu pada pengeluaran kecil yang sifatnya rutin, tetapi sebenarnya tidak terlalu penting dan bisa ditiadakan. Istilah latte diambil Bach dari secangkir kopi.

Menurutnya, kopi, adalah pengeluaran skala kecil yang jika dijumlahkan dalam sebulan maka totalnya bisa lebih besar dari anggaran menabung bulanan.

Coba kita bayangkan bila setiap sore seorang pekerja memiliki kebiasaan membeli jajanan di mini market selagi menunggu KRL di stasiun, katakanlah harga rata-ratanya Rp20 ribu. Dalam 20 hari kerja, ia akan menghabiskan Rp400.000 untuk jajanan tersebut. Jadi, ketika ada godaan promo untuk pengguna uang elektronik, bisa saja ini menjadi sumber kebocoran selama ini.

2. Bijak Menggunakan Uang Elektronik

Pikirkan kembali bila Anda ingin menggunakan uang elektronik untuk berbelanja atau jajan sehingga tercipta pengeluaran latte factor seperti di atas. Memang lebih praktis dan mudah, tinggal tap saja dan sudah terbayar. Namun, ini dapat memicu perilaku konsumtif tadi.

Padahal dari jajan-jajan cantik yang tadi, ada potensi dana yang bisa ditabung atau bahkan diinvestasikan loh yang berdasarkan beberapa riset dan fakta bahwa dalam beberapa tahun ke depan para generasi milenial atau pengguna mayoritas uang elektronik ini akan mengalami kesulitan dalam memiliki aset akibat memiliki gaya hidup yang cenderung boros.

Ditambah ada sebuah survei bertajuk Share of Wallet oleh Kadence International Indonesia yang menunjukkan masyarakat di Indonesia hanya menyisihkan rata-rata 8% dari penghasilannya untuk tabungan. Sudah cukup terbayangkan dengan hal-hal kecil seperti dari uang elektronik ini bisa menjadi pemicu untuk gaya hidup yang boros.

Maka sangatlah bijak jika Anda berpikir panjang terlebih dahulu sebelum menggunakan uang elektronik tersebut. Misalnya, apakah barang-barang tersebut penting? Apakah kebutuhannya mendesak? Apakah bermanfaat untuk jangka panjang atau tidak? jika tidak, sebaiknya Anda tidak menggunakan uang elektronik tersebut dan menggunakannya sesuai dengan tujuan, yaitu transportasi. Gunakan uang elektronik dengan disiplin dan Anda akan terhindar dari kebiasaan boros.

Anda mungkin tidak menyangka hal kecil seperti uang elektronik justru bisa menjerumuskan Anda ke masalah keuangan. Apalagi hal lainnya yang lebih besar? Itu sebabnya sebaiknya Anda belajar untuk mengelola keuangan dan investasi yang dilaksanakan oleh tim Keigeld.id di Jakarta dengan klik ini. Anda bisa diskusi tanya jawab dengan cara bergabung di akun telegram grup kami "Seputar Keuangan".

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: