Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Industri Komponen Otomotif Masih Net Importer

Industri Komponen Otomotif Masih Net Importer Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mobil LCGC Indonesia dikabarkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) LCGC melampaui di atas target 84%. Kesuksesan program insentif fiskal pada LCGC. Tapi, sayangnya sebagian raw material TKDN tadi masih harus diimpor karena belum bisa dibuat di dalam negeri.

Raut wajah Presiden Joko Widodo berubah sumringah saat ia melongok ke stand Kementerian Perindustrian di Hall B JIEXPO Kemayoran, Jakarta di sela acara Indonesia International Motor Show (IIMS) 2018 lalu. Seketika senyumnya berkembang saat melihat mobil pedesaan (Alat Mekanis Multiguna Pedesaan/Ammdes) dipajang di area itu. Presiden sudah lama menantikan kehadiran mobil yang kalau bisa secara utuh diproduksi di dalam negeri.

Ammdes gambaran kemandirian industri otomotif nasional. Ammdes memiliki kandungan lokal hingga 68%, didesain lokal, mesin lokal (Semarang dan Surabaya), dan komponennya pun lokal. Ada lebih dari 70 vendor yang menyuplai komponen Ammdes, termasuk industri kecil menengah (IKM) binaan Astra International dan PIKO. Ammdes mengintegrasikan semua kemampuan bangsa untuk memproduksi kendaraan yang benar-benar brand lokal. Inilah wajah masa depan industri otomotif Indonesia yang sedang dibangun pemerintah.

Pemerintah sebetulnya sudah punya peta jalan tahapan pengembangan industri otomotif ke depan. Sejak tahun 2013, pemerintah mengembangkan kendaraan rendah karbon, yakni kendaraan bermotor hemat bahan bakar dan harga terjangkau (KBH2) atau dikenal juga dengan low cost green car (LCGC) yang mengutamakan fuel efficiency lebih dari 20 kilometer per liter. Dilanjutkan tahun 2017 dengan pengenalan baku mutu emisi EURO4 dan teknologi mesin hybrid dan plug in hybrid (HV dan PHV) serta teknologi kendaraan listrik fuel cell vehicle (EV) pada 2030 nanti.

Ultimate goal-nya roadmap tersebut: Indonesia mampu memproduksi sekitar 750 ribu unit low carbon emission vehicle (LCEV) (share 25%) dan 600 ribu unit LCGC (share 20%) pada 2030 mendatang ketika kapasitas produksi ditaksir mencapai 3 juta unit. Pada saat itu, industri komponen dalam negeri juga sudah mampu memproduksi komponen utama, seperti baterai, motor listrik, dan power control unit. Dengan transisi ke kendaraan beremisi rendah dan listrik, akan memangkas emisi CO2 sebesar 29% secara nasional dari sektor transportasi dan pembangkit energi.

“Untuk sampai ke sana, pemerintah membangun ekosistem, baik dari sisi konsistensi regulasi, ketersediaan bahan bakar, maupun insentif fiskal,” ujar Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto. Dicontohkannya, sukses pemerintah membangun ekosistem LCGC lewat insentif fiskal berupa pemangkasan tarif pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) nol persen sejak lima tahun silam. Berkat insentif itu, produksi LCGC mencapai 260 ribuan atau sekitar 23% dari total produksi mobil yang mencapai 1,1 juta (data Gaikindo per akhir 2017). Ini bisa terjadi karena harga jual mobil LCGC lebih terjangkau dan tingkat fuel efisiensi bisa sampai 1:20 km/liter.

Terkait LCGC ini, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, daan Elektronika (ILMATE), Hardjanto, mengatakan bahwa seiring dengan skala ekonomi yang tercapai dan produk yang makin kompetitif dari LCGC, ikut menghela pula gairah di industri komponen otomotif. Saat ini, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) LCGC melampaui 90%, di atas target 84%. Kesuksesan program insentif fiskal pada LCGC dalam meningkatkan volume sekaligus memperdalam struktur komponen tier I, II, dan III. Harap maklum, eksistensi industri otomotif ada di pasok komponen yang jumlahnya ribuan.

“Untuk mencapai target pemerintah 25% pada 2030 tadi, kami mengusulkan beberapa skenario insentif ke Kementerian Keuangan,” kata dia.

Net Importer Komponen Otomotif

Di industri komponen otomotif roda empat khususnya, saat ini Indonesia memiliki sekitar 1.500 perusahaan yang tersebar dari tier I, II (nev), dan III (fer). Tier I merupakan komponen inti dari sebuah kendaraan roda empat, seperti engine assy, body, chassis, clutch & transmission, propeller shaft and axle, suspension system, steering system, exhaust system, brake system, cooling system, AC, interior, dan electrical/elektronik. Sementara tier II merupakan komponen pelengkap, seperti bearing, oil seal, dan steel casting/forging. Tier III merupakan komponen tambahan, seperti kaca, kunci kontak, serta stell & alloy.

Di tier I ada 500 perusahaan, tier II dan III ada 1.000 perusahaan dengan serapan tenaga kerja mencapai 200 ribuan. Di luar itu, masih ada 22 perusahaan original equipment for manufacturer (OEM) dan 14 ribu outlet, workshop, dan authorized sales service and spare parts yang menyerap 450 ribu tenaga kerja.

Namun, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) atau added value industri komponen nasional menurut catatan Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM)—asosiasi yang menaungi 240 perusahaan komponen otomotif—di atas kertas sekitar 85% untuk tier I, sedangkan 60% untuk tier II dan III. Belum semua komponen diproduksi di dalam negeri sehingga masih ada komponen yang harus diimpor. Misalnya, komponen suspensi (air shock absorber, electric shock absorber), komponen sistem pengereman (ABS, wheel speed sensor/ABS sensor, brake booster), komponen transmisi (synchronizer hub & ring), komponen drive axle (diff gears), beberapa komponen mesin, car navigation, dan GPS.

Beberapa komponen sebagian belum sepenuhnya diproduksi di dalam negeri, seperti komponen universal (bearing, screw washer), komponen transmisi (gears, input/ main shaft, shift fork/speed shaft trail, dan cvt drive belt), komponen sistem steering (steering column, steering gears, dan steering shaft), komponen drive axle (drive shaft), electric component, dan ECU.

Tercatat, neraca perdagangan komponen otomotif selama 5 tahun belakang (2013—2017) masih defisit. Masing-masing sebesar US$1,823 miliar pada 2013, US$1,288 miliar pada 2014, US$0,623 miliar pada 2015, US$0,613 miliar pada 2016, dan US$1,112 miliar pada 2017.

Ekonom UI, Faisal Basri, melihat bahwa nilai ekspor mobil dan komponennya masih sangat jauh lebih kecil dibandingkan devisa yang disedot oleh industri ini. Pada tahun 2013 misalnya, impor kendaraan bermotor dan komponennya mencapai US$9,7 miliar atau setara Rp91 triliun dengan kurs kala itu. Bak gayung bersambut, lonjakan penjualan mobil ini juga menggelembungkan impor bahan bakar minyak (BBM) sehingga sejak tahun 2011, BBM menjadi komoditas impor terbesar. Tahun 2013 saja, impor BBM sudah mencapai US$28,7 miliar setara Rp269,2 triliun.

 “Industri ini masih sangat boros devisa. Tak heran kalau industri ini dan produk impor terkait lainnya memberikan sumbangan sangat besar terhadap pemburukan neraca perdagangan, akun semasa, dan neraca pembayaran, serta pelemahan nilai rupiah,” kata dia.

Dicontohkan, LCGC pada awal pertumbuhannya di tahun 2013 lalu lebih banyak mengalirkan devisa ke luar negeri ketimbang mengerek devisa masuk. LCGC yang semata-mata menggunakan kriteria kandungan lokal yang semua, misalnya sebagian besar komponen diproduksi di dalam negeri, tetapi sejatinya komponen tersebut tidak signifikan dari nilainya dan hanya hasil perakitan semata.

Ketua Umum GIAMM, Hamdhani Dzulkarnaen Salim, menyatakan bahwa sebagian besar onderdil kendaraan bermotor di dalam negeri juga masih diproduksi menggunakan bahan baku impor (60%). Bahan baku ini kebanyakan berasal dari negara non-ASEAN, seperti Korea Selatan, Jepang, dan China. Selain itu, garansi yang diberikan produsen mobil antara 3—5 tahun, terkadang bertolak belakang dengan penerapan standar nasional Indonesia (SNI) masing-masing produk onderdil, sedangkan setiap pabrik punya standar masing-masing.

GIAMM sejak 2014 lalu sudah ditawari aluminium produksi Inalum. Namun, secara spesifikasi belum memenuhi standar industri. Pun bahan baku baja dari Krakatau Steel, baru dua tahun terakhir mereka memproduksi tipe baja yang secara volume sudah bisa digunakan beberap anggota GIAMM demi mengurangi ketergantungan impor dan tekanan kurs. Selain aluminium dan baja, Indonesia masih harus mengimpor bahan baku lainnya, seperti plastik (petrokimia), karet, dan komponen lainnya.

Akselerasi lewat Regulasi

Untuk memperbesar industri komponen otomotif nasional, Kementerian Perindustrian mengusulkan sejumlah insentif fiskal kepada Kementerian Keuangan dengan merevisi PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang PPnBM untuk Kendaraan Bermotor. Diusulkan, diskon PPnBM kendaraan hybrid sebesar 25% jika fuel efficiency antara 20—28 kilometer per liter, dan sebesar 50% jika fuel efficiency-nya di atas 28 kilometer per liter. Dengan gap sekitar 15% antara hybrid dengan kendaraan konvensional, akan signifikan mendorong komponen kendaraan hybrid.

Lalu, mengubah dasar perhitungan PPnBM dari berbasis kapasitas mesin dan penumpang menjadi berbasisi emisi CO2 (gram/kilometer). JIka semula hybrid dikenai tarif PPnBM antara 30%—135%, nanti ada batasan, misalnya 150 gram per kilometer dikenai PPnBM lebih tinggi 110—125 gram per kilometer dikenai PPnBM sedang, di bawah 100 gram per kilometer dikenai PPnBM ringan, dan seterusnya semakin mendekati zero emisi semakin bebas PPnBM.

Juga tax holiday berupa pembebasan PPnBM dan BM untuk pengembangan engine tertentu demi meningkatkan TKDN, seperti kendaraan listrik, kendaraan berbahan bakar nabati, pengembangan komponen utama kendaraan listrik baterai, motor listriknya, dan inverter (CPU). Mereka yang mau berinovasi mengembangkan teknologi-teknologi tersebut juga akan diberikan super deduction tax 300%. Diharapkan dengan infrastruktur dan ekosistem yang semakin berkembang, akan ada transisi secara perlahan menuju roadmap pengembangan industri otomotif yang telah disusun kementerian.

 “Kita harus kasih room dan space agar mereka berinovasi menuju roadmap yang sudah kita buat. Teknologi mesin BBN, fuel cell, bahan bakar gas, ada juga yang PHEV dan hybrid inilah kira-kira yang ingin kita kuasai ke depan,” kata Hardjanto. 

Namun, pengembangan komponen kendaraan berteknologi listrik dan beremisi rendah bukan tanpa tantangan. Setidaknya, ada 3 tantangan yang dihadapi. Pertama, bahan baku. Seperti diketahui, baterai mobil listrik saat ini masih berbahan baku lithium yang sukar didaur ulang. Bahkan, Jepang harus mengekspor sekitar 70—80 juta lithium ke Selandia untuk didaur ulang. Produsen mobil, seperti Toyota, Mitubishi, dan Mercedes Benz pun masih menggunakan ulang lithium untuk lampu penerangan mobil-mobil sedan mereka, sekitar 1 ton baterai per mobilnya.

Untuk tantangan ini, kementerian mengusulkan agar Antam dan Inalum mengembangkan baterai berbasis nikel dan cobalt untuk kebutuhan mobil listrik dalam negeri ke depan. Teknologinya sudah dikembangkan Posco yang usdah menginvestasikan sekitar US$60 juta lebih.

Kedua, karakteristik negara Indonesia yang sangat luas dan kepulauan membuat kendaraan listrik dan rendah emisi belum tentu cocok diaplikasikan secara nation wide. Berbeda dengan Singapura dan Korea misalnya, konsep yang tepat bagi Indonesia adalah seperti di Jerman, pembatasan emisi karbon di kota. Misalnya kendaraan dengan emisi karbon maksimal 100 gram per kilometer di perbolehkan masuk ke kota. Sementara heavy duty machinery seyogianya masih diperbolehkan di Kalimantan atau Papua.

Tantangan terakhir, mengingat iklimnya tropis, perlu dipikirkan agar fuel efficiency-nya lebih tinggi dibanding negara-negara beriklim dingin. Saat kendaraan listrik macet, ia harus terus mengalirkan listrik untuk kebutuhan AC dan tentu memengaruhi efisiensi bahan bakar. Apalagi jika baterainya masih berbahan baku lithium, kinerjanya lebih rendah. Solusi yang disulkan oleh beberapa produsen, seperti BOSCH, adalah penggunaan photo voltage dan manajemen energy system (mematikan beberapa fungsi seperti seat cooler).

Hamdhani yang juga CEO PT Astra Otoparts Tbk berharap pemerintah Indonesia bertahap dalam memberlakukan kendaraan listrik. Pemerintah bisa memulai dengan hybrid atau dulu dual power dahulu yang di dalamnya masih ada motor listrik dan internal combustion engine ICE. Ada dua alasan utama, jika pemerintah langsung menerapkan mobil listrik. Pertama, bisa dipastikan 1.800 komponen, seperti piston dan sebagainya bakal gulung tikar.

Kedua, memberikan waktu kepada component maker untuk mempersiapkan diri ke arah sana. Astra Otoparts sendiri terus melakukan riset terakit baterai elektrik, motor maupun komponen yang tetap akan digunakan di era kendaraan listrik, seperti ban Pirelli dan bearing SKF. Pihaknya tengah mengembangkan fast moving part dan giat melakukan analisis ke arah sana.

Perlu diingat, anggapan pada tahun 2025 biaya produksi mobil listrik akan lebih murah dari ICE itu dengan asumsi pada tahun 2025 ditemukan bahan selain lithium. Itu pun dengan asumsi harga minyak terus naik. Jangan sampai Indonesia terburu-buru menerapkan EV, tapi recharge-nya menggunakan batu bara yang tidak menjawab pengurangan emisi. 

“Kami mempersiapkan menuju era EV karena cepat atau lambat ini akan terjadi, hanya masalah waktu. Pasti akan ada komponen baru. Pertama baterai dan itu tidak ringan. Mobil Tesla itu bisa jadi lebih berat karena baterainya terdiri atas beberapa modul, ada battery management system (BMS). 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: