Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

True Localization Komponen Otomotif dalam Negeri, Seperti Apa?

True Localization Komponen Otomotif dalam Negeri, Seperti Apa? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada industri otomotif roda empat dinilai masih belum pas. Pasalnya, bahan baku untuk industri komponen masih diimpor. Padahal, true localization sejatinya bahan baku mesti dari produksi dalam negeri.

Berceritalah Chief Executive Officer (CEO) PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Warih Andang Tjahjono, mobil produksi asal Jepang itu, seperti Kijang Innova dan Sienta TKDN sudah mencapai di atas 80%. Dengan angka TKDN sebesar itu, sebagian besar komponen kedua merek mobil tersebut dipasok dari dalam negeri. Dalam kalkulasi Warih, yang namanya TKDN adalah semua komponen yang diproduksi di dalam negeri, entah itu material dasar dari impor atau lokal, tetapi diolah di dalam negeri. TKDN tertinggi dicapai kendaraan low cost green car (LCGC) yang sudah mencapai level 80%—90%.

Perihal perhitungan TKDN ini memang belum ada kesepakatan nasional, apakah yang dimaksud komponen lokal itu rumusannya persis seperti dikatakan Warih Andang Tjahjono atau memakai rumusan true localization (TL). Kalau memakai rumusan TL komponen lokal yang berbahan baku impor, meski diproses di dalam negeri, tidaklah termasuk hitungan sebagai TL. Jadi, TL itu murni bahan baku dari lokal dan diolah di dalam negeri. Nah, kalau rumusan TL diberlakukan ke Kijang dan Sienta, TKDN baru sekitar 40%.

Dari gambaran di atas, menyembul satu soal krusial yang selama ini menyelimuti industri otomotif khususnya industri komponen otomotif di dalam negeri, yakni pasok bahan baku pembuatan komponen otomotif. Sejumlah bahan baku (raw material) di industri otomotif masih harus diimpor, seperti baja, resin, alumunium, plastik sintetis, dan bahan sejenisnya. Ambil contoh baja yang memenuhi standar industri otomotif terbilang terbatas produksinya. Baja merupakan salah satu bahan utama dalam industri otomotif khususnya komponen, seperti mesin, bodi, transmisi, steering, filter, dan baja olahan (pipe, bar, serta produk komponen sejenis).

Menurut Sekjen Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Hadi Suryadipraja, baja produk PT Krakatau Steel (KS) belumlah memenuhi standar industri otomotif. Kabar baiknya, PT KS telah menjalin kemitraan dengan Nippon Steel untuk memproduksi jenis baja yang memenuhi kriteria industri otomotif. Baja khusus otomotif ini nantinya akan mengurangi ketergantungan produksi impor yang disuplai China, Korea, dan Jepang. “Ketersediaan baja yang memenuhi spesifikasi industri otomotif ini yang masih kurang di dalam negeri sehingga harus impor," ujar dia.

Begitu pula produk alumunium dari PT Inalum pun belum sepenuhnya memenuhi standar otomotif. Spesifikasi produknya harus ditingkatkan lagi agar sesuai kebutuhan industri komponen otomotif. Hal yang sama juga pada kebutuhan resin, selama ini dipasok PT Chandra Asri Petrochemical (CAP) yang mesti terus ditingkatkan lagi agar memenuhi harapan industri otomotif.

Belum lama ini, PT CAP menjalin kemitraan dengan TMMIN. PT CAP memasok resin polypropylene impact copolymer untuk PT TMMIM akan diaplikasikan pada mobil Toyota Vios dan Yaris.

Selain itu, TMMIN juga akan meningkatkan pemakaian komponen lokal dari bahan baku yang diproduksi industri dalam negeri, seperti material resin lain (PP-3 dan TSOP), karet sintetis, dan aluminium. Selama ini, produk karet dalam negeri belum memenuhi standar pabrikan mobil karena kurang mampu menahan panas ekstrem sehingga harus mengimpor karet sintetis.

“Kemitraan ini sejalan dengan langkah Kementerian Perindustrian untuk memperdalam struktur industri nasional agar rantai nilai dari sektor hulu sampai hilir semakin kuat sehingga dapat mengurangi ketergantungan bahan baku impor,” kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto. Kerja sama ini juga akan mendorong pertumbuhan industri komponen kendaraan di dalam negeri. Saat ini, ada 1.500 perusahaan komponen otomotif di Indonesia yang terbagi dalam Tier I, Tier II, dan Tier III. Pemerintah akan mendorong TKDN berbasis bahan baku lokal menjadi di level 90% pada 2019 melalui bahan baku plastik dan baja.

Upaya dalam substitusi impor bahan baku ini menjadi agenda krusial bagi pelaku industri komponen otomotif di dalam negeri. Hal ini menyangkut kemandirian industri otomotif yang kokoh mulai dari industri hulu hingga hilir. Di sinilah dipandang pentingnya semua stakeholder di industri otomotif duduk bersama merumuskan peta jalan (roadmap) pembangunan industri komponen. Di negara seperti Thailand yang awalnya tidak memiliki bahan baku untuk industri komponennya dalam waktu kurun 5 (lima) tahun, merancang planning pembangunan industri hulu otomotif dengan membangun industri bahan baku seperti baja.

Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Hamdhani Dzulkarnaen Salim, mengusulkan dalam roadmap itu secara jelas diawali dengan substitusi impor dengan skala prioritas di sektor hulu yang masuk daftar original equipment manufacturer (OEM). OEM merupakan jenis komponen utama yang khusus untuk memenuhi kebutuhan pabrikan mobil (PM), seperti power train (mesin, transmisi, dan axle). “Substitusi impor OEM ini akan meningkatkan nilai tambah lokal, daya saing dan kebertahanan perusahaan komponen,” ujar CEO PT Astra Otoparts Tbk ini.

Dalam industri otomotif dikenal tiga kategori komponen otomotif, yakni OEM, komponen asli (genuine parts) dan komponen AM (aftermarket). Jenis komponen asli (genuine parts) biasanya masuk Tier I. Jenis komponen ini untuk memasok kebutuhan bengkel resmi dari PM sebagai pengganti suku cadang asli. Misalnya komponen elektrikal, produk karet, produk press, dan interior. Spesifikasi produk ditentukan PM. Sedangkan komponen aftermarket atau Tier II merupakan jenis komponen yang dibuat dengan mencontoh yang asli yang spesifikasi dan kualitas ditentukan sendiri pembuatnya.

Dari ketiga jenis komponen tersebut, jenis OEM terbilang agak berat untuk dikembangkan di dalam negeri karena ada faktor ketergantungan pada kebijakan penyedia merek (PM). Kebijakan PM dalam memutuskan untuk membangun komponen itu di Indonesia dipengaruhi faktor dinamika pasar global atau pasar regional. Pasalnya, pasar PM sebagai perusahaan multi nasional adalah pasar global. Pada sisi lain, jauh lebih memungkinkan untuk dikembangkan di dalam negeri, yakni jenis genuine dan aftermarket. Boleh dibilang kedua jenis komponen tersebut masuk kategori universal. Produsen komponen Tier I dan Tier II ini, apabila terus mendapatkan bimbingan dari PM, berpeluang untuk menjadi produsen OEM.

 

Kemandirian bahan baku industri komponen akan menghilangkan faktor tidak menentu seperti gonjang-ganjing kurs rupiah apabila bahan baku itu masih diimpor. Pelemahan nilai tukar rupiah yang belakang ini nyaris menyundul di level Rp14.000 per dolar AS sudah barang tentu membuat biaya produksi komponen otomotif berbahan baku impor menjadi lebih mahal. Tapi pada sisi lain, produsen komponen otomotif dari Tier I, Tier II, dan Tier III tidak bisa serta merta meminta penyesuaian harga ke pabrikan mobil (ATPM).

Masalah bahan baku pembuatan komponen otomotif barulah satu di antara sederet lain daftar panjang soal yang menjadi pekerjaan rumah bagi pelaku industri otomotif dan pemerintah untuk segera mengurainya. Ketiadaan industri pemasok bahan baku komponen otomotif inilah yang sekarang membuat gambaran “semu” akan kemandirian industri komponen. Posisi TKDN otomotif saat ini di level 60%—80%, Akan tetapi, kalau dihitung ulang merujuk sumber bahan baku, ternyata TKDN itu masih di level 40%. Kondisi ini membuat Indonesia kurang menarik menjadi basis industri otomotif global. 

Baca Juga: Meningkat 21 Persen, Bandara Ngurah Rai Layani 3,5 Juta Penumpang Hingga Februari 2024

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: