Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Seri Tulisan Witjaksono: Asset Capital VS Social Capital (2)

Oleh: Witjaksono, Pembina Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia

Seri Tulisan Witjaksono: Asset Capital VS Social Capital (2) Kredit Foto: Witjaksono
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebelum melangkah jauh menjelaskan efek sebuah lingkungan sosial terhadap perkembangan bisnis/organisasi atau sebaliknya seberapa besar dampak sosial akibat dari sebuah bisnis/organisasi, saya akan flashback pengalaman masa lalu yang berbanding lurus dengan korelasi pembahasan sebuah social capital.

Dalam pembahasan Asset Capital (Part 1) saya menjelaskan bahwa saya ke Jakarta dengan tangan hampa atau bisa disebut zero capital dan zero social. Nah, pertanyaannya adalah bagaimana ketika sedang berada pada zona zero social dan kita bisa mengubah keadaan? (Note: keadaan ini biasanya terjadi pada orang yang baru hijrah/pindah baik ke tempat baru maupun kehidupan baru.

Dalam kondisi seperti itu, hal yang wajib dilakukan adalah melakukan create social zone atau membuat sebuah keadaan sosial baru yang akan berdampak pada kehidupan baru kita. Misalkan, pada saat saya ke Jakarta dan berharap mendapatkan sebuah beasiswa ke Australia namun gagal karena kemiskinan (tidak punya jaminan buat guarantee visa) maka angan-angan untuk kuliah di luar negeri menjadi sirna dan harus merajut mimpi baru lagi dengan cara baru.

Alhasil, alhamdulillah saya lolos dalam seleksi Program Management Trainee di bank swasta nasional. Dari awalnya berada di posisi zero social (tidak punya teman), saya bisa masuk ke lingkungan baru dengan sebutan bankers. Bahkan, orang tua cukup bangga karena saya menjadi pegawai bank (bankers) yang pada tahun itu dianggap cukup keren.

Namun, menjadi seorang bankers juga merupakan keadaan yang baru saat itu. Saya memiliki keterbatasan pertemanan di lingkungan Program Management Trainee karena hanya ada 30 orang di seluruh Indonesia sehingga membatasi ruang lingkup mini sosial baru yang harus terus di-develop menjadi sebuah lingkungan sosial yang lebih besar.

Akhirnya, saya harus melakukan sinkronisasi otak untuk bisa me-leverage sebuah mini social zone. Saat itu saya memutuskan untuk melakukan social improvement partner, yaitu meminta tolong teman untuk mengenalkan diri saya ke teman-temannya hanya untuk bersilaturahmi dan membuat tali pertemanan baru. Di sinilah kuncinya, leverage sebuah keadaan sosial meskipun bermula dari kecil lantas bisa berkembang menjadi besar.

Setiap pulang bekerja jam lima sore, saya selalu meminta untuk diajak nongkrong bersama teman dengan harapan bisa mengembangkan kehidupan sosial. Adapun, pengorbanan yang harus dikeluarkan adalah saya harus saya berangkat setiap subuh dan baru pulang sampai rumah sekitar pukul satu malam hanya untuk me-leverage keadaan sosial.

Kalaulah ada lagu Bang Rhoma: begadang jangan begadang kalau tiada artinya. Nah, pesan itupun selalu saya pegang bahwa tak boleh begadang tanpa ada manfaat. Alhasil, kurang dari satu tahun sistem ini berjalan lantas terlihat dampak nyata ketika saya bisa berpartner dengan salah satu pengusaha untuk set up unit usaha baru.

Social capital secara bahasa adalah sebuah modal dari keadaan sosial. Secara umum, saat ini social capital hanya digunakan oleh kepentingan politik di mana sistem demokrasi mengharuskan setiap politisi wajib memiliki social capital untuk menduduki sebuah jabatan. Ada pertanyaan, apakah pekerjaan seorang marketing itu? Lalu bagaimana mengukur seorang marketing yang sukses?

Sebetulnya, tugas pokok seorang marketing adalah meng-create sebuah social zone yang bermuara pada penjualan produk. Alhasil, biaya marketing yang keluar mayoritas dipakai untuk sebuah kata yang disebut branding. Dana marketing lebih banyak dipakai dalam bentuk social movement yang berdampak langsung dan tidak langsung terhadap pemasaran produk. Dengan demikian, ukuran sukses seorang marketing adalah seberapa besar kekuatan social movement untuk menarik simpati dalam bentuk membeli produk.

Kondisi ini juga menjadi fenomena menarik di tahun politik seperti sekarang ini di mana banyak kandidat politisi yang menebar gambar sepanjang jalan, memasang iklan di mana-mana, dan membuat gerakan sosial praktis dengan satu tujuan, yaitu branding sehingga berkorelasi untuk menarik simpati lingkungan sosial untuk memilih dalam pemilu.

Sahabatku, kembali ke pokok bahasan social capital di mana secara prinsip sebuah social capital bisa di-create dalam kerja yang panjang tapi bersifat sangat loyal di mana tentunya disaksikan oleh kesabaran atau dilakukan secara instans dan praktis, namun korelasinya bersifat instans dan sarat kepentingan praktis. Pilihan-pilihan itu tergantung kepada kita sebagai pemangku kebijakan. Lalu bagaimana mengubah social capital menjadi sebuat asset liquid?

Contoh konkret dari kombinasi sebuah social capital di dalam bisnis korporasi adalah Sistem Perkebunan Inti Rakyat yang selama ini menggunakan kekuatan sosial dari masyarakat setempat untuk menanam tanaman yang sama di suatu wilayah dan hasilnya diolah oleh korporasi. Dengan demikian, kepentingan sebuah korporasi dapat dikombinasi dengan kepentingan sosial yang dampaknya dirasakan lebih luas.

Contoh konkret baru yang saya lakukan adalah menginisiasi penanaman 100.000 hektare jagung di mana social capital yang dimiliki oleh warga Nahdiyin melalui Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mengolaborasikan kepentingan nasional untuk melakukan stop impor jagung dengan cara melakukan penanaman serentak 100 ribu ha jagung dari seluruh stakeholder sebuah lingkungan besar di Nahdatul Ulama.

Dengan harapan besar bahwa social movement ini bisa memberikan efek peningkatan ekonomi warga secara massal dan men-support kegiatan korporasi tanpa harus impor jagung.

Ada pertanyaan cukup menggelitik, Indonesia yang memiliki social capital sangat besar (penduduk nomor empat terbesar di dunia di mana itu terkonversi sebagai market), dan memiliki asset capital yang tidak ternilai ukurannya. Masih harus merasakan kemiskinan dan penjajahan secara ekonomi? Nah, itulah yang pemimpin kita harus jeli melihatnya atau bahkan para pemimpin di republik ini belum merasa keadaan itu? Memang, tidak mudah mengubah keadaan tapi juga tidak susah kalau mau berikhtiar bersama.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: