Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Produksi Dunia Surplus, Baja Lokal RI Terancam

Produksi Dunia Surplus, Baja Lokal RI Terancam Kredit Foto: China Daily via Reuters
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah bertekad untuk melindungi pasar industri baja di dalam negeri dari serbuan produk impor seiring dengan peningkatan kapasitas produksi di tingkat global. Salah satu caranya dengan menggenjot penggunaan baja lokal.

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, mengatakan, industri baja merupakan komponen dasar pertumbuhan ekonomi di setiap negara. Bahkan, industri baja disebut sebagai the mother of industries yang merupakan tulang punggung bagi aktivitas sektor industri lainnya, seperti permesinan dan peralatan, otomotif, maritim, serta elektronik.

"Diperlukan upaya sinkronisasi kebijakan yang berpihak kepada industri baja nasional mengingat potensi pasar domestik yang masih prospektif ke depannya," kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, pada The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) 2018 Conference and Exhibition di Jakarta, Senin (25/6/2018).

Menurut dia, produsen baja di negara-negara berkembang tengah mengantisipasi kelebihan kapasitas baja global yang mengalami surplus terhadap kapasitas produksi hingga 700 juta metrik ton pada tahun lalu. Pada 2017, produksi crude steel secara global mencapai 1,7 miliar ton dan 50% berasal dari China. Sementara Asia Tenggara menghasilkan 1,5%.

Kondisi tersebut diproyeksi Airlangga bakal berdampak terhadap beberapa aspek, di antaranya adalah harga, lapangan pekerjaan, tingkat utilisasi, dan profit bagi produsen baja.

"Selain itu, berisiko terhadap keberlangsungan industri serta berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat," tuturnya.

Di sisi lain, Amerika Serikat sebagai negara utama konsumen baja telah berencana melindungi industri baja domestiknya dengan menaikkan tarif bea masuk untuk produk baja impor sebesar 25%. Implementasi kebijakan AS ini dinilai akan serta-merta mempengaruhi permintaan dan penawaran di pasar baja global termasuk membawa efek bagi kondisi produsen baja di negara-negara berkembang.

"Negara produsen baja utama lainnya, seperti Jepang, India, dan Korea Selatan, bisa saja kemudian membanjiri pasar Asia Tenggara. Dengan demikian, ini menjadi tantangan bagi kita untuk bersama-sama mengantisipasi hal yang akan terjadi di pasar domestik dalam waktu dekat," paparnya.

Kementerian Perindustrian mencatat kebutuhan crude steel (baja kasar) nasional saat ini hampir mencapai 14 juta ton, tapi baru bisa dipenuhi produksi crude steel dalam negeri sebanyak 8-9 juta ton per tahun. Sisanya dipasok dari China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, dan lain-lain.

Oleh karena itu, lanjut Ketua Umum Partai Golkar ini, pihaknya pun semakin memacu peningkatan kapasitas produksi industri baja nasional. Salah satunya dengan mendorong percepatan pembangunan klaster industri baja, misalnya di Cilegon, Banten, yang ditargetkan dapat memproduksi hingga 10 juta ton baja pada 2025. Selain itu, klaster industri baja di Batulicin, Kalimantan Selatan, dan Morowali, Sulawesi Tengah.

Sementara untuk menlindungi industri dalam negeri dari serbuan impor, Airlangga juga mendorong penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada proyek infrastruktur di Tanah Air.

"Konsumen utama produk baja adalah sektor infrastruktur dan konstruksi yang mencapai 80% dari total permintaan domestik atau setara dengan 9,6 juta ton per tahun," ucapnya.

Selain itu, Kemenperin menerapkan SNI untuk produk baja. "Saat ini, terdapat 28 SNI wajib untuk produk baja agar meningkatkan kualitas dan keamanan di industri baja dalam negeri," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: