Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kewirausahaan Pencetus Gerakan Emansipasi dan Pembebasan

Oleh: Fadel Muhammad, Wakil Ketua MPR RI/Founder dan Presiden Komisaris Warta Ekonomi

Kewirausahaan Pencetus Gerakan Emansipasi dan Pembebasan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bulan Mei, bangsa Indonesia mempunyai makna yang sangat penting. Ada dua peristiwa bersejarah yang memberikan inspirasi bagi terbentuknya “Nasion” Indonesia. Pertama, lahirnya perkumpulan protonasionalis yang dikenal dengan nama Budi Utomo. Sekelompok kaum inteligensia, mayoritas dari mereka adalah mahasiswa kedokteran STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) membentuk perserikatan yang dinamakan Budi Utomo ini. Perkumpulan ini dibentuk pada tanggal 20 Mei tahun 1908, diinisiasi oleh seorang dokter asal Jawa, Wahidin Soedirohoesodo (1857-1918) . Tanggal itu kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 

Kedua, ditetapkannya 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ini untuk mengenang jasa Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889–26 April 1959). Beliau pun yang melahirkan prinsip pendidikan nasional berbasis budaya Indonesia, yaitu "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."

Kesadaran kebangsaan itu dibangun dari pendidikan dan energi kewirausahaan. Merujuk pendapat Fritz Fleischmann dari Babson College, kewirausahaan adalah kajian dan praktik yang melibatkan kreativitas, pembelajaran terpadu, dan keterbukaan untuk mendapatkan pengalaman. Ada pertanyaan yang menggelitik: bagaimana kewirausahaan atau lebih tepatnya pemikiran kewirausahaan mampu berkontribusi pada gerakan emansipasi? Sementara emansipasi sendiri sering dikonotasikan sebagai "kebebasan”. Jadi, kita harus memulainya dengan bertanya: kebebasan dari apa dan untuk apa?

Dalam ranah kewirausahaan, emansipasi yang didiskusikan biasanya berkisar pada emansipasi untuk membebaskan dari kemiskinan dan ketergantungan. Namun, kita juga bisa mendiskusikan emansipasi untuk melawan ketidakmampuan yang diakibatkan oleh kemiskinan, terutama kemiskinan struktural yang merupakan hasil dari piramida penindasan.

Kemandirian ekonomi memunculkan kesempatan bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan dan pengembangan pribadi; memperjuangkan keterwakilan untuk mendapatkan suara dalam urusan komunitas dan pemerintahan; melahirkan pemahaman yang lebih baik tentang diri dan dunia; serta menjadi mandiri untuk menentukan kehidupan dan tujuan hidupnya, daripada hidup sekedar menerima nasib dan takdir.

Pemikiran kewirausahaan (entrepreneurial thinking) memunculkan keinginan pribadi yang tercerahkan (enlightened self-interest). Tercerahkannya keinginan pribadi karena hasil dari proses kreativitas dan pembelajaran terpadu memunculkan sikap lebih terbuka untuk mendapatkan pengalaman. Sikap yang terbuka ini menjadikan manusia tercerahkan karena dalam pikiran mereka terjadi dialog antara realitas yang mereka hadapi dengan cita-cita yang diinginkan. Pada akhirnya, ini memunculkan hasrat untuk melakukan emansipasi.

Jika dirunut setelah Budi Utomo muncul, gerakan emansipasi berkembang massif dengan ditandai tumbuhnya organisasi-organisasi emansipatif. Puncaknya, lahir ikrar bersama para pemuda, yang kita kenal dengan “Sumpah Pemuda”, dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928. Triple Helix 3E (entrepreneurship, enlightment, emancipation) yang berbasis pada nilai-nilai kewirausahaan, pencerahan politik, dan kesadaran emansipatoris akhirnya membuahkan hasil, yaitu kemerdekaan Indonesia.

Bekerjanya 3E tersebut telah memunculkan the alertness to new opportunities, 'kewaspadaan pada peluang baru’. Inilah yang ditangkap oleh Mahatma Gandhi dalam upaya menggelorakan semangat emansipatoris bangsa India terhadap pembatasan gerak bangsa India oleh pemerintah kolonial Inggris.

Pada 12 Maret 1930, ribuan orang bergabung dengan Gandhi dalam perjalanan panjang hampir 400 km dari ashram-nya di Sabarmati ke Dandi, sebuah kota pantai yang terkenal dengan cadangan garamnya. Pagi hari setelah kedatangannya, Gandhi pergi ke pantai dan mengumpulkan segumpal garam di depan kerumunan yang berkumpul di sekelilingnya selama 23 hari berbaris. Dengan gerakan damai namun atraktif, Gandhi menciptakan citra kuat yang menarik perhatian media India dan internasional terhadap kesulitan memenuhi kebutuhan dasar di bawah pemerintahan kolonial Inggris.

Ketidakadilan perpajakan Inggris pada garam, pengumpulan dan produksi garam rakyat oleh pemerintah kolonial dinyatakan ilegal dan penjualan garam oleh pemerintah dengan mahal mengakibatkan garam tidak dapat dijangkau oleh kalangan berpendapatan minim. Keadaan ini dikomunikasikan ke publik global. The Salt March adalah upaya simbolis untuk deklarasi kemerdekaan India. Diumumkan 26 Januari 1930, tindakan ini menjadi embrio gerakan emansipatoris yang mengantarkan kemerdekaan India.

Gerakan emansipatoris berkembang karena didukung oleh pemikiran kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Gerakan emansipatoris biasanya bertujuan untuk melakukan perubahan sosial. Ada hubungan yang signifikan antara kewirausahaan sosial dengan perubahan sosial.

Kewirauhsaan sosial secara eksplisit berorientasi pada penciptaan nilai dan lingkungan sosial yang berdampak pada perubahan tatanan sosial yang lebih baik. Nilai-nilai dan lingkungan sosial yang diidealkan itu diartikulasikan secara terus menerus oleh para social entrepreneur.

Suwardi Suryaningat alias Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Taman Siswa telah menjalankan perannya sebagai social entrepreneur. Ia menggunakan pendidikan sebagai sarana untuk melakukan gerakan penyadaran (enlightment, aufklarung) tentang pentingnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Gerakan ini kemudian menginspirasi kaum inteligensia yang lebih mudah untuk menyebarkan gagasan emansipatif. Pembelaan Soekarno di depan Landraad, Bandung yang berjudul “Indonesia Menggugat” adalah pikiran emansipatoris yang dibangun oleh nilainilai kewirausahaan sosial.

Para tokoh pergerakan nasional sebenarnya adalah para socioentrepreneur yang kegiatannya difokuskan pada upaya untuk meraih kebebasan, kemerdekaan, dan posisi yang lebih baik bangsanya dibandingkan saat ini (Rindova, et al, 2009). Narasi besar emansipasi adalah kepedulian terhadap aspirasi untuk kebebasan yang lebih baik (Branzei, 2012) dengan membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan dan tatanan sosial yang menindas, serta upaya untuk menghancurkan status quo.

Peran social entrepreneur sekarang masih sangat diperlukan untuk membuat gerakan emansipatif terutama dalam mengawasi kinerja pemerintah dan daerah dalam mengelola sumber daya alam. Otonomi yang diberikan kepada daerah, saat ini belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Sebaliknya, malah terjadi pengurasan sumber daya alam secara massive

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: