Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Apakah Rupiah Akan Semakin Terpuruk?

Apakah Rupiah Akan Semakin Terpuruk? Kredit Foto: REUTERS/Edgar Su
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rupiah merosot di awal pekan perdagangan ini karena dolar semakin stabil dan ketegangan perdagangan global mengganggu ketertarikan investor pada mata uang ini. Kekhawatiran yang semakin besar mengenai arus keluar modal yang memengaruhi ekonomi Indonesia dapat semakin memperburuk keadaan rupiah.

Chief Market Strategist FXTM, Hussein Sayed, menuturkan, Juni adalah bulan trading yang sangat sulit bagi mata uang pasar berkembang. Apabila situasi negatif ini berlanjut di bulan Juli, mata uang pasar berkembang dapat semakin terpukul, termasuk rupiah.

"USDIDR saat ini berada di kisaran Rp14.375. Penurunan dapat berlanjut mendekati Rp14.500 apabila dolar terus menguat," tutur Hussein dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Menurut Hussin, enam bulan pertama tahun 2018 sungguh menarik. Fundamental ekonomi dan politik menjadi sorotan utama dan sangat memengaruhi pasar. Federal Reserve melakukan pengetatan karena pertumbuhan dan inflasi terus meningkat. Perang perdagangan antara AS dan seluruh negara lainnya terutama China dan Uni Eropa semakin memanas.

"Selain itu, pemerintahan AS memberi stimulus besar untuk ekonomi yang sudah mendekati full employment sehingga Dolar AS semakin menguat," imbuh Hussein.

Hussein melanjutkan, pertumbuhan ekonomi AS yang kuat walaupun seluruh bagian dunia lainnya melemah memberi dukungan untuk pasar ekuitas. Walau begitu, ketidakpastian geopolitik dan proteksionisme menjadi risiko negatif terbesar.

"Sepertinya, kita berada dalam tahap akhir siklus ekonomi saat ini, tapi belum ada isyarat terjadinya resesi. Dalam keadaan ekonomi seperti ini, investor saham harus lebih berhati-hati. Kita memerlukan metode yang lebih selektif karena valuasi akan semakin menantang dalam beberapa bulan mendatang karena volatilitas meningkat," urai Hussein.

Menurut Hussein, inflasi akan menjadi faktor utama yang menggerakkan kebijakan moneter pada tengah tahun kedua 2018 sehingga investor harus memperhatikan harga minyak. Keputusan OPEC dan para anggota non-OPEC untuk meningkatkan pasokan minyak mentah sekitar satu juta barel mulai 1 Juli dianggap sebagai faktor negatif untuk harga minyak.

"Walau demikian, peningkatan pasokan dari sebagian anggota OPEC dan non-OPEC akan diimbangi oleh penurunan pasokan sebagian negara lainnya. Hasil akhirnya sulit diterka oleh para investor," imbuh Hussein.

Hussein juga menuturkan bahwa ekspor minyak Iran saat ini kembali dikenai sanksi oleh AS setelah Trump membatalkan kesepakatan nuklir. Venezuela juga dalam pantauan investor karena ada isyarat lebih lanjut bahwa industri minyak memasuki fase baru yang berbahaya. Pasokan minyak dari Libya juga terpapar risiko negatif dari kekacauan politik saat ini.

"Ketiga negara ini dapat menyumbang penurunan pasokan hingga dua juta barel per hari pada akhir 2018, sehingga harga minyak mungkin akan tetap tinggi pada tengah tahun kedua 2018," tutur Hussein.

Hussein menambahkan, investor dan trader juga harus terus memantau imbal hasil obligasi Treasury AS. Selisih antara imbal hasil obligasi jangka pendek dan jangka panjang AS menyempit ke level paling rendah sejak 2007, dan semakin kita mendekati inversi kurva imbal hasil, peluang terjadinya resesi semakin besar.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: