Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Adu Cerdik Emiten 'Emas Hitam' Kejar Cuan

Adu Cerdik Emiten 'Emas Hitam' Kejar Cuan Kredit Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tahun 2017 masih menjadi tahun yang menggembirakan bagi perusahaan batu bara sejak harga komoditas rebound pada 2016 lalu. Hal ini tercermin dari kinerja keuangan positif yang dicapai 6 besar pemain di industri ini. Dari sisi kinerja operasional, tahun lalu sekitar 461 juta ton batu bara diproduksi dan sekitar 21% di antaranya terserap oleh pasar domestik. Berdasarkan volume produksi tahun lalu, berturut-turut yang terbesar adalah PT Bumi Resource Tbk (BUMI) dengan 83,7 juta ton; PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dengan 51,79 juta ton; PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) dengan 40,2 juta ton; PT Indika Energy Tbk (INDY) dengan 32 juta ton, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan 24,1 juta ton; dan PT Indo Tambang Raya Tbk (ITMG) dengan 22,6 juta ton.

Dari sisi kinerja keuangan, 6 emiten mengalami kenaikan laba bersih. BUMI, misalnya, laba bersihnya naik 102% dari US$120,3 juta menjadi US$242,8 juta. Sementara, ADRO mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 44,43% dari US$334,62 juta menjadi US$483,29 juta. DOID juga mengalami kenaikan laba bersih sebesar 27,2% dari US$37 juta menjadi US$47 juta. Menyusul, INDY yang laba bersihnya naik 596,27% dari rugi US$67,7 juta menjadi US$335,4 juta. PTBA mencatatkan kenaikan laba 233% dari Rp2,53 triliun menjadi Rp5,9 triliun. Adapun ITMG mencatat kenaikan laba bersih sebesar 93,27% dari US$130,70 juta menjadi US$252,60 juta.

Dalam perebutan kue ini, masing-masing punya ramuan tersendiri. Perusahaan saling berlomba untuk menjadi the lowest atau cheapest cost producer. BUMI sebagai kontender juga punya jurus tersendiri. Pada 2016, BUMI masih merugi US$2 miliar. Namun, berkat upaya efisiensi, perusahaan berhasil menekan beban produksi menjadi US$27 per ton dari sebelumnya US$57 per ton, meskipun harga rata-rata penjualan atau average selling price (ASP) turun. Presiden Direktur BUMI, Saptari Hoedaja, pernah menyatakan bahwa efisiensi dilakukan lewat efisiensi beban produksi dengan mulai mengalihkan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) ke pembangunan power plant.

Selain melakukan efisiensi, perusahaan juga terus membenahi perkara restrukturisasi utang sembari membuka peluang bisnis baru, seperti kawasan industri dan bisnis mineral. Untuk bisnis mineral, opsinya menggaet beberapa investor strategis guna mengembangkan aset-aset yang dimiliki perusahaan. Sudah ada investor strategis potensial dari China, Australia, dan Afrika Selatan.

Sementara, ADRO dikenal paling getol dalam mengembangkan lini atau pilar bisnis. Sejauh ini, perusahaan sudah memiliki 7 pilar usaha dan masing-masing pilar ini akan terus dikembangkan. Misalnya untuk logistik, dengan adanya aturan baru yang mewajibkan ekspor harus menggunakan kapal lokal, ini tentu menjadi peluang tersendiri. Sementara untuk water, masih banyaknya daerah yang kekurangan akses air dan sanitasi bersih juga menjadi peluang yang ingin digarap perusahaan.

Presiden Direktur ADRO, Garibaldi Tohir, menyatakan bahwa diversifikasi usaha atau lebih tepatnya kombinasi usaha juga dilakukan sekaligus dalam rangka spread risk mengingat harga batu bara masih terus berfluktuasi. Untuk itu, perusahaan lebih menerapkan strategi napas panjang agar bisa sustainable dan menjadi salah satu world class player, ketimbang rencana bisnis 5 tahunan.

Saat ini, perusahaan tengah fokus mengembangkan coking coal (batu bara kokas) yang karakternya lebih cocok untuk baja. Untuk itu, perusahaan mengakuisisi izin usaha pertambangan (IUP) bekas BHP Billiton di Kalimantan Tengah lantaran cadangan coking coal-nya berstandar dunia. Selain itu, perusahaan juga segera mengakuisisi tambang batu bara kokas kestrel milik Rio Rinto di Australia demi mewujudkan visi mereka. Mereka ingin di setiap pilar usahanya memiliki produk unggulan sehingga menjadi pembeda dari kompetitor

Berbeda dengan perusahaan batu bara lainnya, Indika punya pembeda berupa integrasi bisnis dari hulu ke hilir. Dari A sampai Z ibaratnya mereka punya. Mulai dari identifikasi, eksplorasi, studi kelayakan, rekayasa teknik dan konstruksi, pengelupasan tanah dan pengambilan batu bara, penghancuran dan pencucian, pengangkutan batu bara yang telah diproses terminal batu bara, stockpile sebelum pengiriman, pemuatan ke tongkang, pengiriman menggunakan tongkang, pemindahan dari tongkang ke kapal besar, serta pembangkit listrik. Meski strategi ini belum terbukti bakal mampu membuat Indika menjadi perusahaan yang terbesar, tetapi setidaknya ini sudah terbukti efektif. 

Presiden Direktur INDY, Arsjad Rasjid, menyatakan lewat integrasi seluruh rantai pasok bisnis energi itulah perusahaan mampu menekan biaya. Perlu diingat, ada dua komponen utama yang paling sering “bakar duit” di bisnis ini, yakni jasa pertambangan dan logistik. Secara tidak langsung, lewat integrasi usaha dari hulu dan hilir, perusahaan mengubah biaya menjadi pendapatan pada basis konsolidasi. Ini menjadi keunggulan utama INDY dibanding para kompetitor.

Hasil dari strategi INDY yang berbeda ini adalah pengakuan dari dunia investor lokal maupun global. Pada 2010, AsiaMoney memberikan predikat Most Coherent Strategy in Asia kepada perusahaan. Sementara, Arsjad sendiri diakui sebagai best executive dan juga sebagai young global leader oleh World Economic Forum (WEF). Efeknya, kepercayaan investor semakin besar. Ini terbukti dari oversubscribed 6,1 kali untuk penerbitan obligasi senilai US$575 juta dengan tenor 7 tahun dan kupon 5,875% pada November 2017 lalu. Artinya, ada kepercayaan yang tinggi dari bond holder atas international track record emiten tersebut. Rilis obligasi ini mendapat pengakuan dari The Asset sebagai the best high yield bond, yang diikuti oleh kenaikan rating perusahaan dari Moodys ke Ba3 outlook stabil dan dari Fitch ke B+ outlook positif. 

Analis Senior Paramitra Alfa Sekuritas, William Siregar, mengatakan bahwa penguatan harga batu bara pasti akan mengikuti permintaan yg meningkat di tahun 2017. Seperti yg sudah diketahui, China membutuhkan banyak batu bara untuk menutupi permintaan yg tinggi selama musim dingin di tahun 2017. Ditambah lagi India, mereka membutuhkan batu bara tambahan utk kebutuhan energi dalam negeri. Jadi, hal ini menyebabkan batu bara uptrend selama di tahun 2017, meskipun ada tantangan terkait aliansi kampanye di Eropa dan Amerika Utara untuk mengurangi pemakaian batu bara. 

Prediksinya, batu bara akan tetap menghangat di tahun 2018 mengikuti siklus bisnis dan juga permintaan dari China yg tetap tinggi di musim panas. Di sisi lain, pengaruh kenaikan harga minyak juga sangat berkorelasi positif terhadap harga batu bara dan minyak sawit mentah (CPO). Permintaan dalam negeri juga turut memengaruhi walau tidak signifikan terkait kewajiban pasar domestik (DMO).

“Terkait saham pilihan, kami masih melihat ruang yang besar untuk menguat pada saham INDY, yang memiliki tambang terbesar melalui Kideco dan supply chain yang saling terintegrasi di sektornya,” ujarnya. 

Baca Juga: Kader Gerindra Gantikan AWK Sebagai Anggota DPD RI, De Gadjah: Efektif Kawal Kebijakan dan Pembangunan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: