Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

OJK: Bangun Ekosistem untuk Industri Fintech yang Sustainable

OJK: Bangun Ekosistem untuk Industri Fintech yang Sustainable Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Guna membangun industri fintech yang sustainable, OJK berusaha turut membangun ekosistem sedemikian rupa supaya fintech bisa tumbuh dan berkembang terus, salah satunya melalui regulasi. Mengingat karakter bisnis fintech memiliki inovasi yang unik, industri ini tidak bisa terlalu dikungkung karena bisa mati. Namun, juga tidak bisa dibiarkan berkembang tanpa kendali lantaran bisa merusak tatanan yang ada.

Untuk mengais lebih banyak informasi mengenai regulasi OJK tehadap fintech, redaksi Warta Ekonomi, Arif Hatta, melakukan wawancara khusus dengan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Nur Haida. Berikut ini petikan wawancaranya.

Peraturan seperti apa yang diperlukan agar inovasi keuangan digital ini berkembang?

Sebetulnya, ekosistemnya harus dibuat sedemikian rupa. Fintech pada dasarnya bertumpu pada adanya inovasi. Dengan berkembangnya ekosistem yang baik, inovasi itu bisa tumbuh dan berkembang. Ini yang OJK upayakan agar inovasi bisa berkembang. Salah satau yang bisa membuat fintech ini adalah adanya kejelasan aturan yang mendukung fintech. Di industri yang bergerak di fintech ini, kalau ada peraturan yang jelas, legal standing perusahaan makin jelas.

Sekarang, kami membuat aturan yang bisa membuat inovasi ini berkembang. Inovasi ini sifatnya unik, belum pernah ada selama ini. Kalau inovasi ini unik, kami juga harus memperlakukannya sesuai dengan karakter inovasi itu sendiri. Inovasi yang unik itu tidak bisa terlalu dikungkung karena dia akan mati, tapi kalau dibiarkan berkembang tanpa terkendali juga bisa merusak tatanan yang ada. Dan pihak-pihak yang akan terlibat dalam bisnis proses terlindungi dengan baik. Peraturan yang akan kami keluarkan arahnya ke situ. Mem-balance antara tumbuh kembangnya inovasi dengan adanya perlindungan kepada konsumen.

Ada concern terhadap masing-masing model bisnis?

Saya melihat fintech pada dasarnya ada 6: payment, deposit and lending, fund rising, insurance, market provisioning, dan investment. Paling tidak, 4 dari 6 itu ada di wilayah OJK. Jadi, kami lihat terus apakah antara crowdfunding dan P2P akan akan ada perbedaan? Tentu, karena proses bisnisnya juga berbeda.

Dalam mengaturnya, OJK ini akan melihat payung hukumnya dulu. Dalam waktu dekat, mudah-mudahan akan keluar POJK-nya. Jadi, mengatur tentang dasar-dasar saja, belum mengatur proses bisnis secara spesifik. Berdasarkan itu, akan muncul kemungkinan inovasi baru yang perlu diatur, misalnya sekarang ada P2P, kemudian mungkin ada inovasi baru.

Sekarang, mungkin P2P lending POJK 77, nanti mungkin muncul POJK lain, kenapa? Karena memang dibutuhkan. Jadi, aturan ini mengharuskan fintech mendaftarkan diri; kemudian akan diawasi atau dipantau; kemudian kami lakukan pengujian secara awal, apakan memiliki inovasi baru atau tidak. Kemudian, kalau memang ada, kami masukan ke dalam regulatory sandbox (regsand).

Dari regsand, bisa saja muncul inovasi baru, yang ternyata peraturannya belum ada. Kemudian, kami mungkin memunculkan POJK baru. Tapi bisa juga peraturan baru muncul berdasarkan kebutuhan dari market, yang nyata sekarang ini adalah crowdfunding. Ini kan sudah mulai banyak dibicarakan, peraturannya belum ada. Bisnis model antara P2P dan crowdfunding berbeda sekali dan ekosistemnya juga beda. Tentu, akan ada aturan yang lebih spesifik. Jadi, concern kami akan melihat dari nature model bisnisnya seperti apa.

Itu akan diregulasi segera crowdfunding?

Sebenarnya, crowdfunding beberapa waktu lalu sempat masuk dalam ranah kami untuk meregulasi. Tapi, kemudian, dilihat kebutuhan market, apakah sudah saatnya diregulasi, apakah cukup besar size-nya sehingga kami perlu bikin aturan? Itu tentu ada pertimbangannya. Sekitar tahun 2016, sudah ada pemikiran untuk melihat crowdfunding ini, bagaimana kebutuhan kita, apa sudah perlu diatur atau belum, dulu sebelum zaman OJK sempat ada dan sempet heboh, kan? Tapi, kami lihat size atau magnitude-nya belum terlalu besar. Sekarang, saya rasa mulai bergulir lagi pembahasan untuk crowdfunding ini karena memang ada kebutuhan dari market.

Crowdfunding dari asosiasi ingin kalau sudah ada seconboard, mereka bisa di-pool-kan seperti semacam reksadana agar bisa listing?

Sistem crowdfunding itu sudah banyak. Atau ada satu proyek yang perlu pendanaan, kemudian nanti ada yang mengelola ini, dia carikan dari masyarakat. Sebetulnya, dia khusus mendanai satu proyek atau program tertentu dan berbentuk equity participation atau berbentuk lain. Bisa juga si proyek ini mengeluarkan surat utang, obligasi atau equity participation, modalnya masuk ke perusahaan ini.

Karena si perusahaan harus berkembang dulu sampai layak IPO, si investor-investor ini keluar dengan menjual modalnya. Atau, malah ikut di perusahaan itu dengan, misalnya, nambah modal atau tetap di situ dan terdelusi karena ada saham baru yang keluar. Untuk bisa masuk ke IPO dan lain-lain itu, fintech harus mengikuti ketentuan tertentu, besarannya, dan lain-lain. Crowdfunding ini termasuk bagian fundrising, lebih banyak dibahas di pasar modal. Mungkin, secara teknis, mereka sudah mulai membahas itu.

Tadi disyaratkan mendaftarkan diri. Bagaimana yang belum mendaftar?

Ini baru akan diatur dalam POJK yang akan keluar. Jadi, di aturan itu ada yang kemudian membuat mereka harus mendaftarkan diri karena terkait dengan perbankan. Kalau tidak mendaftarkan diri, mungkin dia enggak bisa dilayani bank. Bank ada di bawah pengawasan OJK. Ya, kami pantau dari situ. Dengan mereka tercatat, kami bisa memantau. Ketika mendaftarkan diri, persyaratannya harusnya simple.

Jadi, tahap pertama, kami bedakan antara mendaftarkan diri dan berizin. Di P2P lending, ada pendaftaran dan perizinan. Nanti, setelah bisnis modelnya sesuai dengan persyaratan, dia akan mendaftarkan izin. Ini diatur lebih dalam lagi mengenai modalnya. Itu ada ketentuan lebih lanjut sehingga mereka bisa melakukan bisnis secara full.

Kalau sudah terdaftar belum keluar izin, tetap boleh beroperasi, kok. Tapi terbatas, belum full. Kalau sudah terdaftar dan berizin, boleh full operated. Hal ini untuk mengetahui berapa banyak, sih, sebetulnya fintech yang ada di Indonesia. Jadi, kami bisa tahu model bisnis mereka. Siapa tahu, ada model bisnis baru atau inovasi baru yang memang harus kami bikin aturannya.

Ini apakah karena ada kekhawatiran ada risiko sistemik?

Saat ini, kami belum melihat ke wilayah itu. Pertama, size-nya memang masih kecil. Misal, Februari 2018 lalu, dana yang disalurkan fintech sekitar Rp3,5 triliun, sedangkan bank sudah Rp2000-an triliun, terus mereka ada batasan maksimal Rp2 miliar. Karena ini industri baru, pemahaman masyarakat belum detail. Bisa saja, berjalan dengan tidak sesuai ketentuan sehingga kami pantau. Mereka yang sudah beroperasi full harus melapor 3 bulan sekali.

Sekarang, hal yang penting yakni agar fintech ini bisa bertumbuh dengan baik, kemudian juga bisa sustain. Jangan hanya melejit, kemudian hilang karena market integrity-nya enggak terjamin. Kembali lagi, utamanya, kami inklusi keuangan. Indonesia mungkin agak beda dengan negara lain yang lebih maju, seperti Singapura. Di sana, tujuan adanya fintech mungkin bukan untuk inklusi keuangan.

Pada 2030, kita ingin jadi 7 terbesar dunia, sementara sebagian besar masyarakat kita ada di level yang masih perlu mendapatkan kesempatan untuk meraih modal. Jadi, yang kami lihat, seperti apa, sih, negara lain seperti Asutralia dan Singapura. Kami bukan mencari best practice, tapi best fit, yang cocok untuk kita.

OJK arahnya ke inklusi keuangan, dari industri sudah sejalan?

Kalau yang kami lihat saat ini, penyaluran dananya memang kepada unbankable. Jadi, sebetulnya, secara praktik, saya rasa sudah sejalan karena ada batasan jumlah. Kalau yang diberikan adalah pihak-pihak yang sebetulnya bisa meminjam ke bank, mereka punya collateral juga untuk dijaminkan. Dan memang market-nya yang mungkin selama ini belum tersentuh layanan keuangan konvensional. Jadi, rasanya, secara nature, mereka adanya di situ dan segmenya di yang selama ini belum tersentuh. Makanya, dia jadi inklusi keuangan

Kalau soal kerahasiaan data, asuransi harus pilih aggregator karena menyangkut masalah data, bagaimana OJK melihatnya?

Fintech yang kami dorong itu, kan, memang harus bermanfaat, lalu aman. Transparansi memang diperlukan, tapi ada kewajiban mereka terhadap keamanan terkait data nasabah, informasi nasabah, dan sebagainya. Jadi, itu pun sebetulnya di fintech, kami lihat ada 2 sisi, yakni sisi bisnis dan sisi teknologi.

Bisnis ini terkait governance mitigasi risiko dan sebagainya. Nah ini lebih ke arah teknologinya. Teknologinya harus diyakinkan bahwa confidentiality nasabahnya terjaga, begitu juga terkait standar teknologinya. Makanya, salah satu yang disyaratkan terkait keamanan informasi nasabah sehingga data nasabah harus didata.

Concern OJK saat ini berarti tata cara pendaftaran dan crowdfunding itu tadi, ya? Adakah inisiatif lain untuk mengakselerasi industri fintech ini agar tumbuh lebih cepat?

Sebenarnya, pertumbuhannya sudah cukup cepat, ya. Dari sisi peminjam juga cepat, tumbuhnya di atas 30%. Saya rasa, yang meminjamkan juga tumbuh di atas 20%, perusahaa fintech sendiri banyak. Kemarin itu per Februari yang sudah terdaftar ada 40, yang dalam proses untuk pendaftaran ada 53. Saya rasa dalam waktu singkat sudah cukup banyak.

Jadi, rasanya, hal yang terpenting adalah pertumbuhannya yang sustain, cepat, dan berkelanjutan. Jangan tumbuh, lalu hilang. Misalnya, karena mungkin tidak bisa menjaga kerahasiaan atau masyarakat merasa tidak nyaman. Ada hal yang tidak sesuai harapan masyarakat, tumbuh cepat, tapi tatanannya tidak kuat, lalu rontok. Kami tidak ingin seperti itu. Kalau dari sisi persentase pertumbuhan, sih, ya, sudah cukup besar.

Apakah regulatory sandbox (regsand) tadi hanya mencakup fintech yang benar-benar inovatif saja, ya?

Jadi regulatory sandbox itu memang menguji tentang inovasi-inovasi yang baru. Kalau ada yang mencatatkan diri, ternyata model bisnisnya sudah ada maka dia ikut ketentuan yang ada sekarang. Enggak perlu masuk regulatory sandbox. Tapi yang regsand ini khusus inovasi baru yang model bisnisnya itu berbeda dengan apa yang sudah ada sekarang sehingga otomatis aturan atau ketentuannya belum ada karena baru muncul.

Itu yang nanti akan dilihat bagus enggak untuk pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri ini. Kalau memang bagus, lulus pengujian, ya dia akan lanjut. Kemudian, OJK tentu perlu membuat ketentuan baru terkait model bisnis yang baru ini. Di aturan kami juga akan ada regsand. Jadi, kalau peraturan yang menjadi payung hukum keluar, juga akan sejalan dengan model regsand-nya.

Jadi, kami harap pada waktu aturan itu keluar, mulai ada pencatatan. Dari sekian pencatatan, mungkin akan ada satu, dua, atau empat yang ada inovasi bisnis model yang benar-benar baru. Nah, itu bisa masuk regsand; 6-12 bulan bisa diperpanjang 6 bulan. Tapi, ini masih dalam draft aturan kami, ya. Dari situ, kalau memang harus ada ketentuan yang dibuat OJK, ya nanti akan muncul POJK untuk mengakomodir atau memberikan kepastian hukum terhadap produk baru itu.

Jadi ada berapa aturan baru yang akan keluar?

Yang jelas, tahun ini, payung hukum itu dulu dan mungkin dengan roadmap. Enggak perlu sampai UU. Sebetulnya, di UU, fintech ini dikelompokkan dalam lembaga keuangan lainnya. Kalau di UU, kan, jelas ada perbankan, pasar modal, IKNB. IKNB menampung segala macam yang enggak tertampung di kedua sebelumnya. IKBN sendiri ada yang sudah spesifik asuransi, perusahaan pembiayaan, yang di dalamnya ada macam-macam, seperti Pegadaian, BPJS, termasuk yang lembaga keuangan lainnya.

Presiden sempat menyerukan bahwa fintech, kalau di luar negeri bisa menggeser bank, bagaimana OJK melihatnya?

Sebetulnya, fintech dan bank bisa berkolaborasi. Itulah harapan kami. Fintech punya segmen sendiri yang unbankable dan size-nya kecil, sedangkan bank punya yang bankable. Apabila masyarakat yang unbankable dibina dan diberi permodalan untuk mengembangkan bisnis, suatu saat mereka akan besar. Mereka akan masuk ke bank karena butuh pendanaan yang besar dan enggak masuk ke kelas fintech yang hanya maksimal 2 miliar tadi. Makanya, bank bisa bersinergi dengan fintech, lewat anak usahanya.

Inklusi keuangan terus membaik, apa bisa dikatakan andil dari fintech juga?

Saya rasa, survei inklusi tahun 2013 itu 59% dan 2016 sebesar 68% sehingga ada peningkatan. Di periode itu, fintech belum berkembang. Pada saat itu, kami banyak melakukan sosialisasi sehingga pemahaman literasi masyarakat lebih jalan. Yang menarik, literasi lebih rendah dari inklusi, 30% versus 60%. Ini artinya, orang yang menggunakan sektor jasa keuangan sebetulnya enggak terlalu paham. Yang bisa dipahami orang yakni menabung. Kami meningkatkan literasi. Jadi, di inklusi ini, orang lebih banyak masuk ke sektor jasa keuangan. Fintech ini baru tumbuh 2 tahun terakhir. Cikal bakal fintech mungkin saat itu sudah ada.

Pesan bagi fintech?

Supaya indutri ini tumbuh berkelanjutan, fintech perlu mengikuti ketentuan yang ada. Kalau aturannya belum ada, ikuti kaidah umum, yaitu transparansi, mitigai risiko, dan governance. Sebetulnya, ini sudah include di aturan. Ikutilah kaidah-kaidah transparancy accountability, responsibility, independency fairness (TARIF).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: