Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indika Energy: Efficiency and Trust, Modal Kami Recovery

Indika Energy: Efficiency and Trust, Modal Kami Recovery Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Memulai debut di bisnis energi, khususnya batu bara pada 2000, PT Indika Energy hanya digawangi 40 orang pegawai. Satu dekade berikutnya, jumlah itu menjadi 10.000 orang. Lompatan luar biasa ini mendapat penghargaan dari World Economic Forum (WEF) dengan menjadikan Indika sebagai role model dari 315 anggota WEF Global Growth Companies (GGC) yang mewakili lebih dari 60 negara. Begitu pula sang komandannya, Arsjad Rasjid, diberi predikat Young Global Leader oleh WEF Indika Energy sedang di atas puncak performanya.

Lonjakan luar biasa dari sisi jumlah pegawai itu dilakoni melalui aksi akuisisi secara nonorganik. Indika mencaplok banyak perusahaan yang dianggap prospektif, baik di bisnis tambang batu bara maupun turunannya atau di luar itu. Ketika harga batu bara anjlok ke level di bawah US$50 per ton pada 2015, semua pelaku usaha batu bara tersentak, termasuk Indika Energy. Perusahaan nyaris limbung dengan besarnya biduk kapal. 

Untuk menyelematkan Indika Energy tersebut, Arsjad Rasjid ditunjuk sebagai komandan misi penyelematan perusahaan. Ketika itu, ia bukan dalam posisi CEO. Dengan resep sederhana: back to basic, yakni efisisien biaya dan optimalisasi aset, serta restrukturisasi utang, perusahaan yang sempat lima tahun berlaba negatif, pada 2017 mulai positif. Apa saja langkah-langkah penyelamatan itu, berikut petikan perbincangan tim Majalah Warta Ekonomi: Arief Hatta, Agus Aryanto, Yosi Winosa, dan Heri Lingga dengan alumnus Pepperdine University, California ini. Berikut petikannya.

Laba Indika Energy sempat negatif untuk beberapa periode ketika harga batu bara di bawah US$50 per kubik, tapi kemudian pada 2017 mampu membukukan laba positif. Bisa diceritakan bagaimana Anda membalik semua itu? 

Kami bersyukur bahwa apa yang kami lakukan, meski belum sepenuhnya berhasil, sudah membuahkan suatu perubahan. Pertanyaan utama yang muncul saat itu, are we late doing it or not? Jawabannya terlambat sebab semestinya upaya mengatasi krisis dilakukan jauh-jauh hari. 

Pada 2015, saya diberikan tanggung jawab untuk memimpin proses pengurangan biaya. Kami terlena mengingat saat sebelum krisis itu berlangsung, kami berpikir untuk selalu bertumbuh. Pada 2005 atau the first five years of beginning, pegawai kami barulah 40-an orang saja. Namun, pada 2011 jumlah itu melonjak menjadi 10.000 orang.

Pertumbuhan perusahaan yang begitu pesat tersebut sempat diganjar sebagai Global Growth Company (GGC) oleh World Economic Forum (WEF) di Davos pada 2011. Indika Energy merupakan perusahaan Indonesia pertama yang masuk radar WEF. Saya juga dinobatkan sebagai Global Young Leader oleh WEF ketika itu. Indika bangga sekali dengan dengan anugerah tersebut.

Apa yang Indika Energy lakukan sampai membukukan pertumbuhan begitu pesat pada periode 2005— 2011?

Bisa dibayangkan bagaimana pertumbuhan kami dari 40 orang hingga lebih dari 10 ribu orang pada periode 2005-2011. Kami banyak melakukan akuisisi terhadap sejumlah perusahaan, istilahnya adalah anorganic growth. Kami juga berhasil issue bond untuk pertama kalinya pada 2007 dengan kepemilikan bukan mayoritas pada satu perusahaan. Kami juga berhasil mengisi Asian higher bond untuk pertama kali dalam sejarah. 

Selanjutnya, di 2008, Indika Energy juga listing. Indika terus bertumbuh lewat sejumlah akuisisi. Di saat yang sama, Lehman Brother mengalami penurunan, tetapi Indika tetap melaju. Itulah mengapa WEF menganugerahkan Indika predikat GGC. Intinya, kami hanya fokus untuk terus tumbuh.

Satu yang kami pelajari bahwa setiap pertumbuhan itu ada titik hentinya. Harga komoditas mengalami kejatuhan, dan kami terlambat mengantisipasinya. Namun, seperti adagium lampau: better late than never. Indika kemudian terpaksa “mengambil tindakan yang sangat menyakitkan” memangkas hampir 2.000 pegawai. Sungguh tidak ada yang menginginkan proses itu, tetapi harus terjadi dan telah dilakukan. 

Apakah pengurangan 2.000 karyawan itu terjadi di semua level?

Proses itu juga terjadi di high dan middle level management. Pada dua level manajeman ini yang justru berat. Dari semula 7 (tujuh) direksi, dikurangi menjadi 3 (tiga) saja pada 2016. Tidak hanya direksi, general manajer (GM) juga tak luput. Di situ sangat jelas bahwa proses ini bukan cuma untuk mereka yang ada di bawah, semua orang di perusahaan bisa kena. Pasalnya, yang kami lihat kala itu adalah apa yang terbaik yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan. Jika itu baik untuk perusahaan, pada akhirnya akan baik pula bagi shareholder dan para karyawan. 

Di sisi lain, kami juga lakukan efisiensi lewat kantong operasional dengan menekan overhead cost pada akomodasi perjalanan bisnis. Tidak ada lagi fasilitas kelas bisnis untuk akomodasi senior manajemen. Semua dialihkan ke fasilitas kelas ekonomi, kecuali perjalanan luar negeri. Aturan ini pun diberlakukan ke semua jajaran manajeman, termasuk saya sendiri.

Prinsipnya adalah optimalisasi biaya, apa pun itu. Salah satunya, peniadaan bonus untuk para direksi senior, tetapi masih berlaku untuk manajemen level bawah. Sementara untuk urusan performa, perusahaan masih memberikan apresiasi dalam bonus tadi.

Selain efisiensi cost, apa lagi yang Indika Energy lakukan?

Yang kami lakukan setelah efisiensi sumber daya manusia (SDM) dan biaya operasional adalah optimalisasi aset. Untuk itu, diperlukan formula terkait bagaimana meyakinkan produktivitas ini bisa berlaku sehingga utilisasi aset jadi lebih tinggi. Ternyata formula itu adalah back to basic: mengurangi biaya agar mendapat laba. Akan tetapi, sulit untuk bisa menjalankan back to basic ini tanpa dukungan sikap disiplin dan gotong royong dari semua elemen perusahaan. Di sini, value menjadi sangat penting karena perlu adanya pemahaman bersama terhadap value ini. Kemudian, baru kami sasar manusianya. Kuncinya ada di kebersamaan dalam mengelola perusahaan. Tanpa kebersamaan, tujuan mustahil bisa dicapai. Analoginya seperti kelompok musik, iramanya akan merdu bila setiap personelnya bermain bersama sesuai aturannya masing-masing. Untuk mengawal aturan itu, dibutuhkanlah dirigen, dan sayalah dirigen itu. 

Indika memiliki 5 value yang ditanamkan pada segenap elemen perusahaan, yakni integrity, unity & diversity, team work, achievement, dan social responsibility. Meski pemikiran berbeda, tapi tetap saling menghargai entah itu senior atau junior karena semua layak untuk didengarkan, itulah nilai unity & diversity. Di sisi lain, gotong royong yang timbul dari hati menggiring perusahaan mencapai achieve nilai profit tertinggi. Namun, perlu disadari bahwa ada tanggung jawab sosial (social responsibility) di mana pun perusahaan menjalankan bisnisnya. Indika itu ibarat tamu yang berbisnis di wilayah orang. Kelak, saat perusahaan berhasil profit, ‘dana’ tersebut bisa dikembalikan.

Perusahaan juga menjadi social lisence. Corporate social responsibility (CSR) milik perusahaan fokus pada empat pilar: kesehatan, pendidikan, kesejahteraan mengurangi kemiskinan lewat empower people, dan lingkungan.

Jadi, Anda melakukan upaya restrukturisasi melalui efisiensi dan optimalisasi aset? 

Pertama, meminjam kata-katanya Pak Jokowi, yakni revolusi mental. Revolusi mental di sini adalah restructuring our values. Kenapa? Perusahaan-perusahaan yang kami akuisisi memiliki kultur yang berbeda. Value ini menjadi pengikat yang kuat manusia-manusianya karena kekuatan sebuah perusahaan itu jelas ada di manusianya.

Modal sukses perusahaan terletak pada kepercayaan kami terhadap dua pondasi value, yakni modal keuangan dan modal manusia. Dengan dua modal itu, kami pastikan investasi yang dilakukan, baik investasi on money maupun human capital benar adanya. Adapun human capital ini tidak bisa dilihat sebagai biaya, tetapi investasi yang tak benda (intangible). 

Jadi, bagaimana konkretnya restrukturisasi SDM ini?

Perlu diperjelas, tidak semua pegawai yang terkena dampak pengurangan itu buruk (dalam pekerjaan). Banyak dari mereka memliki rekam jejak pekerjaan yang hebat. Namun, yang kami lihat saat itu adalah situasi perusahaan. Misalnya, kalau tambang kami tutup, mau tidak mau kami juga harus fire pekerjanya. Mungkin ada juga mereka yang baik, kami freeze mereka satu waktu, seperti saat kami hendak melakukan proses eksplorasi. Pada intinya, semua ini kembali lagi pada efisiensi yang dibicarakan sebelumnya.

Ambil contoh kala Indika mengeksplorasi batu bara di Kalimantan dan Papua. Dengan dana yang terbatas itu, kami harus memikirkan cara agar dana ini sanggup membuat survive. Strateginya simpel, back to basic: melakukan efisiensi biaya, meningkatkan utilisasi aset, mengelola liabilitas keuangan, mengurangi biaya-biaya keuangan, dan lain-lain. 

Terkait optimalisasi aset, contohnya seperti apa?

Sederhananya, kalau dulu usia pemakaian ban kendaraan alat berat itu 2 tahun, kami perpanjang jadi 2,5 tahun. Bagaimana caranya? Setiap kali habis pakai, ban harus dicuci supaya bekas dirt-nya tidak mengikis ban, atau saat melakukan pengereman jangan gunakan opsi hard brake sebab itu juga akan mengikis ban. Hal-hal sederhana semacam itulah yang kami lakukan. Jadi, perilaku atau cara menggunakan mesin diupayakan lebih baik agar usianya bisa diperpanjang. 

Memangnya aset idle Indika Energy di 2005—2011 besar?

Harga batu bara anjlok kala itu. Misalnya contract minning, 40% dari keseluruhan kontrak kami habis, terjadi pemotongan di sana-sini. Imbasnya, mesin-mesin kami, anggaplah 40%-nya tidak jalan atau idle alias “nganggur”. Di sini, ada dua hal yang perlu dicarikan jalan keluarnya, yakni solusi agar aset tidak idle dan solusi untuk optimalisasi aset sendiri. Oleh karenanya, semua back to basic: bagaimana revenue perusahaan bisa naik dengan situasi 40% aset idle, tetapi perusahaan tetap masih punya kontrak yang bisa dikerjakan.

Setelah dua hal di atas bisa berjalan optimal, langkah selanjutnya adalah menurunkan ongkos maintenance aset. Usia aset diupayakan bisa diperpanjang dari seharusnya sehingga optimalisasi tetap terjaga. Cara penggunaannya pun diperbaiki agar lebih efisien dan produktif. Hal itu juga efektif dalam mengurangi biaya. Nyatanya, semua itu tidak sesederhana diucapkan.

Kami juga mengidentifikasi pada operasi apa saja efisiensi diperlukan. Pun terhadap produktivitasnya, satu per satu kami pantau. Semua ini tidak akan bekerja tanpa adanya keselarasan dalam pemahaman. Pemahaman bahwa perusahaan sedang dalam situasi sulit sehingga setiap elemen harus bekerja lebih keras. Di sini, faktor manusia menjadi kunci.

Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi teman-teman di lapangan, khususnya mereka yang mampu “menyetir” truk secara efisien. Proses restrukturisasi ini dilakukan bukan hanya saya seorang, tetapi semua orang di Indika Energy punya andil. Sebagai pemimpin, saya berkewajiban mentransfer energi perubahan dari hulu hingga hilir elemen perusahaan.

Apakah Anda banyak turun ke lapangan saat itu?

Bukan cuma saya, teman-teman di jajaran direksi juga, meskipun tidak setiap hari turun. Saya bicara dengan driver, saya juga minta setiap orang untuk saling mengingatkan. Proyek Cepu di Bojonegoro misalnya, kami sampai pick 9.000 orang sehingga kami temukan banyak tantangan di sana. Kami (direksi) harus peduli, bukan hanya diam di kantor. Satu atau dua hari keberadaan direksi akan berarti banyak bagi teman-teman di lokasi proyek.

Selain itu, proyek di Senoro dan di Papua juga demikian. Terutama teman-teman di Papua, kala itu keamanannya terancam, penembakan dan segala rupa. Kami datang ke sana (Papua) untuk meninjau. Untuk menjangkau lokasi proyek, kami pun lebih memilih menggunakan truk dan jalan kaki ketimbang naik helikopter agar ada kesamaan antara kami dan teman-teman di lokasi proyek.

Selain efisiensi dan optimalisasi aset, adakah langkah lainnya?

Efisensi barulah satu dari langkah yang dilakukan saat itu. Ada lagi liability management, yakni bagaimana mengelola utang perusahaan. Bagaimana agar revenue bisa naik, tetapi biaya turun. Masalahnya, biaya mana yang harus ditekan. Begitu pula soal revenue. Kalau sudah dapat kontrak, pastikan kontrak tersebut terwujud. Dari situ kami balik lagi ke balance sheet, mana yang paling utama dilakukan, ternyata utang yang harus ditahan terlebih dulu. Bisa dibayangkan, kalau pada tahun A utang perusahaan segini, sedangkan tahun depan perusahaan harus bayar utang itu, belum lagi biaya lainnya. Ini benar-benar akan menimbulkan penumpukan. “So, once we have to do, we do worth right management.” Adapun liabilities management ini kami lakukan di awal tahun 2016 dan 2017.

Bisa berikan contoh liability management yang dimaksud?

Di Januari 2017, Indika melakukan issue bonds agar di tahun selanjutnya perusahaan bisa membayar utang. Kami reduce dengan cara perpanjang, dengan begitu cashflow kami tidak tercekik. Pada tahun 2016 kami pay off utang, working capital loans juga kami bayarkan. Aset mana saja yang harus dijual, termasuk non-core. Semua itu sudah kami rencanakan. Hutang sebisa mungkin harus bisa dikurangi. Bersamaan dengan itu, liabilities management diperpanjang, tanggal jatuh temponya kami coba perpanjang. Begitulah kira-kira yang kami lakukan. Namun, tidak bisa hanya liabilities management yang dipikirkan, growing juga perlu. Pada situasi seperti itu, integritas dan nama baik perusahaan kami bereskan sebab jika tidak demikian track record international holder kami tidak baik untuk investor. Imbasnya, tidak ada investor yang bersedia membantu kami.

Lalu, kami lakukan issue bond baru untuk memperpanjang daya serap investor. Percaya atau tidak, kami berhasil oversubscribed, padahal kala itu rating Indika C. Beruntungnya, kami memperoleh kupon 6,875%, yang dalam 7 tahun oversubscribed 2 atau 3 kali. Artinya, investor masih percaya pada kami.

Bagaimana sampai bisa seperti itu, apa yang Anda lakukan untuk meyakinkan investor?

Yang terpenting di sini adalah good name dan good credibility. Selama ini, utang perusahaan selalu dibayarkan. Kami juga sudah issue bond 6—8 kali. Secara terbuka, kami sampaikan apa adanya soal kondisi perusahaan. Hal Itu diapresiasi oleh para investor obligasi. Investor memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa kami pasti menepati apa yang kami katakan. Credibility, integrity value, juga transparency telah banyak membantu kami.

Utang dan segala macam permodalan sudah direncanakan. Pada akhirnya, aset tidak perlu dijual. Dari semua akumulasi bonds itu, utang kami terlunasi. Di lain pihak, kenaikan harga batu bara juga ikut membantu. Meski harga batu bara tidak naik pun, sebenarnya kami memang sudah menuju ke arah positif. Bedanya, kalau harga batu bara naik, pertumbuhan kami jadi lebih positif.

Saat proses restrukturisasi itu, bukankah harga batu bara masih di level bawah, lalu positif yang dimaksud berasal dari mana?

Dari efisiensi, optimalisasi aset, penekanan cost, dan lainnya. Penopang kami menjadi positif adalah semua hal itu. Ternyata ada banyak hal yang masih bisa ditekan.

Kalau efisiensi bisa dilakukan, ongkos produksi juga bisa rendah. Kami memang tidak bisa mengendalikan harga batu bara di pasar, namun kalau kami bisa jadi last man standing, seharusnya kami bisa bounce back harga. Semua ada titik baliknya. Yang terpenting bagaimana caranya bisa menjadi yang paling efisien.

Apakah ketika restrukturisasi itu, efisiensi cost berhasil dilakukan?

Efisiensi cost itu berhasil kami lakukan. Sekarang, jangan dulu melihat harga, apalagi saat ini ketika harga sudah mulai tinggi. Kami tetap harus berhati-hati sebab pengukuran performanya bukan dari situ (harga), itu hanya performa pasar. Persoalan yang kadang-kadang mengganggu adalah saat harga naik ini. Sementara, performa kami diukur dari bagaimana Indika bisa menjadi terus lebih baik dan efisien.

Jadi, berapa sebenarnya titik nadir harga batu bara itu?

Titik nadir ini tidak bisa dipastikan karena setiap tambang batu bara berbeda-beda. Misalnya, saat harga batu bara kami berada di US$50 per ton, harga di Newcastle bahkan sempat di bawahitu. Sudah barang tentu semua akan terkoreksi jika terlalu lama berada di level harga itu. Ini juga bergantung pada harga minyak mentah sebab 30% komponen biaya produksi berasal dari sana. Dari sinilah kami belajar bagaimana mengelola fuel, khususnya dalam aspek efisiensi pembelian fuel, serta bagaimana kami harus membangun storage supaya kapasitasnya lebih baik. Ujungnya adalah melakukan efisiensi dari sisi balance sheet. 

Pada 2016 kami turn around dan bertumbuh dengan melakukan akuisisi terhadap PT Kideco. Kami tuntaskan tambahan 45% saham sehingga total kepemilikan Indika di sana menjadi 91%.

Momentumnya apa?

Soal niat dari jauh hari memang sudah ada, tetapi waktunya belum pas. Bukan karena kami tidak memiliki dana, tetapi kembali lagi pada kesediaan yang bersangkutan, kapan siapnya mereka. Indika harus menunggu momentum itu 2 tahun hingga mereka (pihak Kideco) bersedia menjual asetnya. Saat itu, kami tidak mungkin memaksa mereka sebab harga yang kami tawarkan bukan harga yang tergolong extravaganza. Perhitungan harga kami berada di bawah US$70 untuk membeli aset itu. Kesepakatan harga jual ini sebenarnya terbilang fair, bahkan diapresiasi oleh pasar Internasional.

Untuk membeli saham Kideco tersebut, kami melakukan issue bond lagi sebesar $575 juta. Adapun sekitar US$600-an juta kami gunakan untuk mebayar saham itu. Kupon kami pun turun lagi dari issue di 6,745% (April), kini 5,875%. Artinya, investor masih percaya sehingga rating kami naik dua notch dari BA3 jadi B+ pasca akuisisi. Perlu diketahui bahwa kupon termurah untuk mining company ada di Indonesia dan Asia. Jadi kupon itu kupon terendah sampai diberikan oleh the asset award.

Jadi apa sebenarnya visi Indika Energy dan Anda, khususnya, selaku CEO? 

Visi Indika Energy: “We want to be the brand of Indonesia.” Kami ingin menjadi salah satu perusahaan Indonesia yang terpandang di level internasional. Itulah mimpi Indika di bidang energi, khususnya batu bara. Ke depannya, komoditas ini bisa naik dan turun, meski begitu kami percaya batu bara masih menjadi energi termurah. Demand batu bara pun akan tetap naik. Pasalnya, negara-negara di Asean, seperti Vietnam, Myanmar, dan Filipina masih membangun banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang notabene batu bara menjadi sumber energi utamanya. Tidak hanya di Kawasan sebenarnya, demand batu bara juga datang dari China.

Bukankah China memiliki tambang batu bara sendiri?

China memang memiliki tambang sendiri. Kualitas energi yang dimiliki China memang bagus, tetapi berbanding terbalik dengan kualitas sulfurnya. Itulah mengapa mereka masih melakukan demand batu bara untuk keperluan blending. Sementara, kami telah menjadi main supplier—bukan sebagai blending coal—di negara Kawasan, seperti di Vietnam, Thailand, dan Filipina karena mereka mencari energi berkalori rendah. Khusus di China batu bara kami sebagai blending, sedangkan di Kawasan kami menjadi main. Cukup unik memang batu bara Indika ini.

Untuk mix juga, tetapi main marketnya apa cuma di Asia?

Kalau market batu bara tidak bisa melihat global karenabatu bara itu sangat regional geografisnya, larinya ke logistik nanti. Untuk Indonesia, lokasinya strategis sehingga memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi kami. Dengan lokasi yang strategis ini, negera Asia seperti China, lebih memilih impor batu bara dari Idonesia. Padahal, Australia juga ada, tetapi karena persoalan jarak, pada akhirnya Indonesia yang diuntungkan.

Jadi, hampir 80% pendapatan Indika bersumber dari batu bara?

Saat ini, sekitar 80% memang masih dari batu bara. Namun, dalam kurun 5 tahun ke depan, net income Indika akan lebih dikembangkan ke segmen non-batu bara. Net income non-batu bara ini porsinya akan sekitar 25%. Itulah tujuan kami. Adapun untuk maksud itu, kami harus melakukan diversifikasi. 

Artinya, pendapatan dari batu bara ini akan mengalami penurunan atau justru tetap?

Pendapatan dari batu bara akan dipertahankan. Justru kami harus menambahnya karena perusahaan harus lebih besar. Konsekuensinya adalah Indika akan banyak berinvestasi di sektor non-batu bara. Contohnya, kami telah lakukan investasi storage field di Kalimantan Timur dengan nilai investasi sebesar US$100 juta. Murni kami investasi di sana, bukan karena ada proyek. Kebetulan, storage field ini sudah ada peminat yang akan menyewa, yakni Exxon dengan kontrak 20 tahun. Ini juga salah satu bentuk diversifikasi yang kami lakukan.

Jadi, kapan target pendapatan 25% dari non-coal terwujud?

Kurun lima tahun ke depan kami mau net income dari non-coal. Inilah goal kami. Indika Energy mempunyai tiga pilar, yakni energy resources, energy service, dan energy Infrastructure. Melalui tiga core business inilah kami mencoba untuk mengejar target 25% pendapatan perusahaan agar bisa bersumber dari non-coal. 

Diversifikasi itu momentumnya bahwa kami menyadari tren bisnis ke depan akan berubah (disruption). Kalau kami tidak mengikuti tren perubahan itu, akan ketinggalan. Jadi, kami harus bisa melakukan perubahan, teristimewa ketika bicara energi di mana kami harus masuk di semua potensi energi. Kurun lima tahun ke depan akan mengarah ke renewable energy.

Ketika bicara renewable energy, bukan serta-merta kami langsung lompat ke sana. Perusahaan akan berkonsentrasi menggarap sector non-coal business, seperti storage field BBM, pembangkit listrik, gas, solar energy, dan lainnya. Seandainya saja Indika bisa membangun lima storage field BBM, jelas itu sudah luar biasa.

(PT Indika Energy memiliki tiga core business. Untuk bisnis energy resources, kami memilih batu bara melalui PT Kideco Jaya Agung dengan tingkat produksi 34 juta ton per tahun. Di bisnis energy service, ada PT Petrosea yang merupakan perusahaan jasa konstruksi dan kontraktor pertambangan batu bara. Selain itu, ada PT Tripatra Engineering yang bergerak di bidang rekayasa teknik, procurement & construction (EPC) untuk industri migas. Sementara, di bisnis energy infrastructure, ada PT Mitra Bahtera Segara Sejati yang bergerak di bidang jasa transportasi, logistik tertintegrasi di industri pertambangan. Kemudian PT Kariangau Gapura Terminal Energi yang membangun storage BBM senilai US$100 juta bermitra dengan Exxon Mobil untuk kontrak 20 tahun. Terkahir, ada PT Cirebon Electric Power yang memiliki pembangkit listrik berdaya 660 MW dan 1.000 MW).

Sebagai penutup, apa goal yang Anda ingin capai melalui Indika Energy?

Kami ingin dikenal sebagai brand of Indonesia. 

 

 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Arif Hatta
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: