Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rupiah Anjlok, Misbakhun: Jangan Salahkan Jokowi

Rupiah Anjlok, Misbakhun: Jangan Salahkan Jokowi Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai depresiasi rupiah masih terkendali di tengah penguatan nilai tukar mata uang dolar Amerika Serikat yang menjadi persoalan global.

"Depresiasi rupiah terhadap USD karena persoalan global. Semua pihak agar tidak serta-merta menyalahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo," kata Mukhammad Misbakhun melalui pernyataan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin (16/7/2018).

Menurut Misbakhun, Pemerintah Presiden Joko Widodo telah melakukan langkah-langkah konkret dan terus-menerus untuk mengatasi masalah depresiasi rupiah, termasuk melakukan langkah koordinasi dengan Bank Indonesia selaku otoritas yang bertanggung jawab soal stabilitas nilai tukar serta berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan(OJK) selaku pengawas industri jasa keuangan.

Pada saat Presiden Joko Widodo dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober 2014 kurs 1 dolar AS sekitar Rp12.030. Dolar AS pernah beradi kisaran Rp14.800 pada 24 September 2015, dan saat ini pada kisaran Rp14.400.

Misbakhun, kemudian membandingkan depresiasi rupiah dengan mata uang negara-negara lain.

Misalnya, peso Argentina (ARS). Pada 2015, 1 dolar AS setara dengan ARS9,1, tapi dua tahun silam ARS terdepresiasi dan nilai tukarnya menjadi ARS14,8. Setahun kemudian, ARS kembali terdepresiasi nilai tukarnmya menjadi ARS16,8. Sedangkan enam bulan lalu, dolar AS menguat menjadi setara ARS18,6 dan bahkan sebulan lalu ARS makin terdepresiasi menjadi ARS25,6. Saat ini dolar AS setara ARS27,1.

"Size ekonomi Indonesia dengan Argentina memang berbeda, tapi depresiasi ARS ini sudah mencapai 300% dalam tiga tahun," ujarnya.

Misbakhun juga membandingkan dengan pergerakan kan nilai tukar dolar dengan rupee India (INR). Pada sekitar sepuluh tahun lalu 1 dolar masih setara dengan INR42,1. Pada lima tahun lalu dolar menjadi setara INR59,3 dan setahun lalu USD sudah menjadi INR64,3. Kemudian, pada bulan lalu kurs INR terhadap dolar makin anjlok. Dolar menjadi setara INR67,1 dan saat dolar sudah menjadi setara 68,5.

Misbakhun juga menyinggung depresiasi lira Turki (TRY). Pada 2015, 1 dolar setara TRY2,63. pada 2016, dolar menjadi TRY2,88 dan 2017 menjadi TRY5,3. Sedangkan enam bulan lalu, dolar menjadi TRY4,65 dan saat ini dolar menjadi TRY4,84.

"Mata uang lira Turki dalam jangka waktu tiga tahun mengalami depresiasi, dari setiap dolar setara TRY2,63 menjadi TRY4,84. Size ekonomi Turki hampir mendekati Indonesia sebagai emerging market country walaupun secara spesifik mempunyai banyak juga perbedaan dalam hal sumber daya alam, sistem ekonomi, struktur pasar dan beberapa para meter," tutur Misbakhun.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu menambahkan, depresiasi yang dialami ARS, INR, maupun TRY menjadi bukti bahwa ada permasalahan di banyak negara emerging market.

Misbakhun meyakini menguatnya USD bukan persoalan nasional Indonesia, tapi persoalan global. "Ini persoalan global, tinggal bagaimana mengatasi dan mengantisipasi dampak-dampak negatif dari persoalan tersebut terhadap perekonomian nasional," katanya.

 

Baca Juga: Pemprov Bali Bakal Sediakan Loket Pungutan Wisman di Terminal Domestik Bandara

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: