Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketika OTA Mendisrupsi Travel Agent

Ketika OTA Mendisrupsi Travel Agent Kredit Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak sepuluh tahun lalu, kegelisahan mulai melanda para pengusaha biro maupun agen perjalanan wisata nasional. Pasalnya, mereka meramalkan akan datang era digital yang bakal mendisrupsi model bisnis mereka. Betul saja, hari ini ancaman itu kian nyata dengan bermunculannya online travel agent (OTA) nasional maupun global, seperti Traveloka, Tiket.com, dan AirBnB yang menggerus pangsa pasar bisnis travel konvensional.

Kekhawatiran ini lumrah mengingat besarnya pangsa pasar pariwisata di Indonesia. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017 ada sekitar 14 juta wisatawan mancanegara (wisman) dengan pengeluaran rata-rata sekitar Rp17 juta (kurs Rp14.155 per dolar AS), keseluruhannya setara Rp238 triliun. Lalu, ada 255 juta wisnus dengan pengeluaran rata-rata sekitar Rp700.000 yang keseluruhannya setara Rp178 triliun. Artinya, nilai pasar industri pariwisata Indonesia secara total mencapai Rp416 triliun.

Jika ditelaah lagi, pangsa pasar ini juga turut diperebutkan oleh OTA. Salah satunya adalah Traveloka yang menawarkan berbagai tiket untuk keperluan liburan mulai dari pesawat, hotel, kereta, hingga atraksi dan berbagai aktivitas lain. Sejak meluncur pada 2012 lalu, perusahaan kini memiliki lebih dari 40 juta pengguna layanan dan lebih dari 14 ribu mitra hotel. Belum lagi pemian OTA lain, seperti Tiket. com dan TripAdvisory. Secara umum, 81% wisatawan nusantara sudah menggunakan saluran digital (search engine, situs destinasi wisata dan OTA) dalam merencanakan perjalanan mereka.

Apa yang membuat OTA berkembang? Tidak bisa dipungkiri, perubahan perilaku wisatawan terutama generasi milenial yang selalu menginginkan kecepatan layanan, kemudahan layanan, dan harga yang murah telah memicu pertumbuhan OTA. Saking massive-nya, pangsa pasar OTA di Asia pada tahun 2017, termasuk Indonesia, diperkirakan telah mencapai US$146 miliar atau setara 37% dari total pangsa pasar industri pariwisata di Asia sebesar US$392 miliar (menurut riset Phocuswright dan CreditSwiss).

Ketua Umum Association of Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA), Asnawi Bahar, menyatakan bahwa keberadaan OTA yang secara harga lebih bersaing dan efisien mengancam perusahaan biro perjalanan konvensional. Contoh yang masih sangat, keputusan Kementerian Keuangan yang menggandeng Traveloka untuk perjalanan dinas pegawai negeri sipil.

Tekanan dari OTA makin terasa tatkala biro perjalanan wisata konvensional harus bersaing di level harga hotel dan pesawat. AirBnB, Agoda, dan Traveloka biasanyanya melakukan sistem blocking room night, yakni mem-booking 1.000 hotel untuk satu tahun dan dibayar dimuka sehingga secara otomatis akan mendapat special rate. Perusahaan konvensional sulit bersaing karena kurang kuatnya modal. Alhasil, pangsa pasar ASITA (yang saat ini beranggotakan 7.000 perusahaan) di subsektor hotel hanya tinggal 10%. Kondisi serupa juga terjadi di subsektor airlines. Dengan margin yang makin menipis, kira-kira hanya 2—3%, praktis membuat kebanyakan anggota ASITA tidak menjual tiket pesawat lagi.

Secara umum, anggota ASITA saat ini fokus ke paket tur wisata saja. Anggota ASITA kini memiliki pangsa pasar inbound sekitar 60% dan domestik sekitar 20%. Mereka tidak memaksakan bermain di komponen (tiket pesawat, tiket kapal, tiket kereta, tiket bis, tiket hotel, dan sebagainya) karena ini akan meningkatkan overhead cost. Komponen-komponen tersebut sangat besar cost-nya, sementara perusahaan konvensional belum memiliki efisiensi operasi yang tinggi.

"Secara rata-rata kenaikan margin (CAGR) tidak terlalu besar, kecuali grup-grup besar yang memilik paket khusus seperti surfing. Kami juga tidak bisa berbuat banyak, kalau kami meminta nego harga ke mitra (airlines dan hotel), tapi karena secara kuantitas kami belum besar, mereka pasti memilih ke OTA,” kata dia.

Deputi Bidang Industri dan Kelembagaan Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani Mustafa, menyatakan bahwa pemerintah dalam posisi membantu perusahaan konvensional, mulai dari fasilitasi pelatihan tour guide, pendampingan sertifikasi profesi, hingga akreditasi usaha pariwisata. Namun, ini saja memang tidak cukup.

Jika ingin tetap bertahan, industri harus mau beradaptasi dan mengikuti perubahan pola perilaku konsumen dan berorientasi pasar. Ada baiknya perusahaan konvensional mempertimbangkan pembuatan divisi digital, digital platform, atau produk dan paket baru yang bisa bersaing. Salah satu caranya dengan berkolaborasi (sharing economy) dan memanfaatkan kapasitas-kapasitas yang tidak terpakai .Yang paling penting adalah inisiatif dan kreativitas.

"Saya lihat fungsi asosiasi penting untuk menjadi lead karena mereka paling memahami isu di industri yang mereka jalani. Jangan pasif menunggu pemerintah. Kami pun mengapresiasi langkah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) membuat Bookingina.com. Terbayangkah kalau asosiasi (ASITA) sepakat untuk tidak masuk ke salah satu perusahaan digital (OTA) yang sudah ada, namun mereka justru membuat platform digital sendiri?” kata dia.

Ia juga menyarankan agar biro konvensional tidak takut membuka destinasi baru. Seperti halnya investor asing yang berani berinvestasi di Wakatobi dan Raja Ampat, meski saat itu akses dan infrastruktur penunjang masih sangat terbatas. Hal itu mereka lakukan karena memiliki passion dan memahami bahwa tindakan seperti itu penting dilakukan mengingat industri ini bersifat jangka panjang.

Di sisi lain, pemerintah membantu mempromosikan ke inbound lewat program Visit Indonesia Wonderful Indonesia (VIWI). Kemudian, pemerintah juga menginventarisasikan regulasi apa atau deregulasi apa yang dibutuhkan agar eksistensi bisnis konvensional dapat terjaga. Kemenpar bersama Kemenkominfo dan Kemenkeu secara intensif terus mengkaji skema pengenaan pajak atau insentif kepada OTA agar industri ini bisa sustainable bagi semua pihak.

Sekelumit Tantangan Industri Konvensional

Menurut Asnawi, setidaknya ada 2 isu krusial yang dihadapi ASITA. Pertama, belum ada level playing field yang sama antara biro domestik dan asing. Dengan adanya pemain digital apalagi ditambah adanya biro asing—contohnya dari Singapura dan Thailand yang masuk secara bebas ke dalam negeri membawa tamu sendiri— menimbulkan ketidakadilan (unfairness). Sementara, biro perjalanan wisata nasional ketika membawa tamu ke luar negeri diharuskan bermitra dengan perusahaan lokal sana. Untuk itu, perlu ada kontrol dari pemerintah dan peningkatan regulasi agar minimal ada prinsip reciprocallity.

Kedua, perlu ada aturan tata niaga (tarif) yang pro pengusaha lokal. Meski di satu sisi pemerintah punya kepentingan menarik investasi dan meningkatkan wisatawan mancanegara (wisman) demi meningkatkan devisa, bukan berarti perusahaan lokal dikesampingkan. Apalagi mereka kebanyakan menyasar segmen wisatawan nusantara (wisnus) yang notabene menggerakan perekonomian per daerah dan menciptakan lapangan kerja. Misalnya, saat ini saja ada 8.000 agen perjalanan wisata yang akan segera menjadi anggota ASITA.

Apalagi, kalau melihat kontribusi perhotelan dan restoran yang baru sekitar 5% dari PDB Indonesia, sementara negara-negara lain sudah di atas 10%, artinya masih banyak potensi yang harus “dilindungi” dari dominasi asing. “Oleh karenanya, ini perlu diatur dengan regulasi yang ketat agar tidak lebih banyak dimanfaatkan asing.

Pasalnya, kami sekarang punya saingan dari Thailand dengan destinasi pantai Puket dan Pattaya. Tak ketinggalan juga China yang akan membuat destinasi Hainan layaknya Maldives. Hal ini tentu bisa mengurangi wisatawan ke Bali,” tutur Asnawi.

Bersaing atau Mati

Meski kehadiran OTA menggerogoti pendapatan biro perjalanan wisata konvensional, bukan berarti pangsa pasar paket wisata meredup. Seperti apa yang dialami PT Panorama Sentrawisata Tbk yang berhasil mempertahankan pertumbuhan rata-rata gross margin (sales) sebesar 14% dalam 5 tahun belakangan, di tengah massive-nya kehadiran OTA. Tahun 2017 saja, perusahaan membukukan kenaikan penjualan sebesar 9,4% dari Rp4,7 triliun pada 2016 menjadi Rp5,2 triliun pada 2017.

VP Brand & Communication Panorama Group, AB Sadewa, menilai bahwa kuncinya ada pada fokus ke core business. Pada tahun 2015, perusahaan menyadari bahwa margin mulai tergerus perusahaan OTA. Namun, perusahaan memutuskan untuk fokus ke program paket tur yang bermargin tinggi dan memang pasarnya ada.

“Kami harus membenarkan posisi duduk. Kami bukanlah OTA sehingga sampai kapan pun tidak akan dapat mengejar mereka. Beberapa ceruk mungkin diambil, tetapi kalau bicara segmen corporate, kami masih kuat,” ujarnya.

Produk paket tur bermargin tinggi itu berupa pengalaman baru. Misalnya, Panorama pernah membawa customer-nya ke Jogjakarta dengan menyajikan pengalaman gala dinner di situs Candi Prambanan. Kemudian, perusahaan juga membawa 2.000 wisatawan dalam perjalanan insentif ke Paris dan menghadirkan pengalaman gala dinner dengan salah satu artis pengisi soundtrack film The Greatest Showman. Atau, membawa wisatawan ke negara lain dengan pengalaman berbeda, bahkan hingga menikmati gala dinner di atas dek kapal perang USS Missouri.

Program-program ini dikembangkan oleh divisi khusus incentive house yang khusus menyasar segmen program reward kepada karyawan dalam bentuk perjalanan wisata. "Ini memerlukan relasi dengan airlines, hotel, industri entertainment, dan pengetahuan destinasi yang bagus,” kata AB Sadewa.

Panorama sengaja memperbesar porsi customer korporasi mengingat pertumbuhan business trip ke depan tidak terelakkan. Retail pun pada satu masa ketika seseorang menempati posisi top manajemen, umumnya menyerahkan proses pemesanan tiket lewat sekretaris pribadi yang ujungujungnya bisa di-grab dengan brand acknowledgement yang kuat. Lalu, pensiunan yang umumnya senang melakukan wisata untuk mencari teman baru.

Sejak awal Panorama telah melakukan diversifikasi usaha , antara lain mencakup inbound (50% didominasi wisman Eropa), lalu travel & leisure (domestik), Media & MICE (business trip dengan spending yang lebih tinggi), hospitality, serta transportasi yang kini didukung dengan digitalisasi.

“Dengan adanya berbagai pilar ini, kami jadi lebih kuat. Ketika dolar menguat, dari sisi leisure mungkin menurun, tapi inbound naik. Atau misalnya disruptive Gojek terhadap taksi milik kami, ini bisa terkompensasi dari sektor busnya sehingga menciptakan semacam ekosistem yang menyatu,” kata Sadewa.

Corporate Secretary P T Panorama Sentrawisata Tbk, Karsono Probosetio, menyatakan bahwa untuk menyikapi perubahan perilaku konsumen, khususnya generasi milenial, perusahaan meluncurkan TurEZ. Pada dasarnya perusahaan menawarkan paket tur dengan harga lebih terjangkau dan kostumisasi jadwal kegiatan, misalnya di hari kedua customer diberi pilihan free program.

Namun, harus diakui bahwa ada tantangan tersendiri untuk memperbesar pengeluaran wisnus. Mengingat gross margin perusahaan mayoritas (70% lebih) ditopang dari bisnis travel & leisure (domestik), perusahaan selalu mengembangkan produk atau experience baru agar customer semakin loyal. Misalnya, ketimbang menawarkan paket wisata Jogja atau Bali, dipilihlah paket wisata Raja Ampat, Derawa, Labuan Bajo, dan sebagainya.

“Jadi, jawabannya adalah membuka destinasi dan experience baru. Namun, ada dua tantangan yang kami hadapi, yakni meningkatkan distribution channel dan meningkatkan keterampilan SDM,” kata Karsono.

Baca Juga: Anggaran Pilkada Serentak di Bali Capai Rp 456,9 Miliar Lebih

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: