Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini Dampak Buruk Dunia Digital bagi Anak

Ini Dampak Buruk Dunia Digital bagi Anak Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Teknologi komunikasi terus berkembang, dan siapa pun yang tidak bisa mengikuti akan tergerus dan dianggap ketinggalan zaman.

Seiring dengan perkembangan teknologi,maka anak-anak pun semakin fasih menggunakan berbagai perangkat komunikasi. Apalagi, perangkat komunikasi saat ini semakin kecil dan mudah dibawa-bawa.

Sudah jamak terlihat, anak-anak berbagai usia terlihat menggenggam gawai di mana-mana, baik untuk bermain "game", mencari informasi melalui mesin pencari, membuka situs portal, maupun berselancar di dunia maya melalui media sosial.

Mereka begitu fasih menggunakan gawai-gawai dan mengikuti perkembangan teknologi yang begitu cepat, berbeda dengan generasi-generasi sebelum mereka yang memerlukan adaptasi.

Untuk membedakan generasi mereka yang fasih dengan teknologi dengan generasi lebih tua yang harus beradaptasi bahkan gagap teknologi, maka tercipta istilah "anak zaman now" dan "orang tua zaman old".

Namun, sebagaimana hal lain, perkembangan teknologi selalu memunculkan dua sisi uang logam. Selalu ada dampak baik, tetapi juga terdapat dampak negatif yang harus diwaspadai, yang saling berdekatan satu sama lain.

"Cyber bullying" atau perundungan di dunia maya, menjadi salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi digital. Belum lagi eksploitasi anak dengan berbagai modus di dunia digital, seperti pornografi, perdagangan anak hingga kekerasan dan pelecehan seksual.

Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin mengatakan dampak buruk penggunaan gawai di kalangan anak-anak harus dicegah, meskipun di sisi lain gawai juga memberikan dampak yang baik.

"Kami sedang membahas kemungkinan regulasi bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tentang penggunaan gawai di satuan pendidikan," kata Lenny.

Mengapa penggunaan gawai di sekolah harus dibatasi? Menurut Lenny, delapan jam atau sepertiga hidup anak berada di sekolah. Karena itu, perlu ada regulasi untuk menyelamatkan sepertiga hidup anak di sekolah dari dampak buruk gawai.

Namun, Lenny mengatakan sepertiga hidup anak juga berada di keluarga. Karena itu, keluarga juga harus berperan mengawasi dan mendampingi anak dalam menggunakan gawai untuk mencegah dampak negatifnya.

Seringkali, keluarga atau orang tua membiarkan anak menggunakan gawai tanpa pengawasan. Bahkan kadang sengaja memberikan gawai tanpa memikirkan dampak buruk bila anak sudah ketagihan.

Lenny mengatakan penggunaan gawai tanpa pengawasan dan pendampingan keluarga bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak. Akses terhadap gawai yang tanpa batas bisa mengabaikan waktu belajar dan komunikasi dengan lingkungan sekitarnya.

"Kalau sudah ketagihan, anak bisa asyik sendiri dengan gawainya. Karena itu, orang tua juga harus berperan mengawasi anak-anak dalam menggunakan gawai," katanya.

Media sosial Terkait penggunaan media sosial, peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Alie Humaedi mengatakan usia anak belum saatnya menunjukkan keberadaan atau eksistensinya di media sosial atau aplikasi digital karena mentalnya belum stabil.

"Seseorang perlu stabilitas mental saat menunjukkan eksistensinya di media sosial. Anak yang belum stabil, mentalnya bisa jatuh saat menerima perundungan di media sosial," kata Alie.

Alie mengatakan perundungan secara virtual di media sosial atau aplikasi digital sangat berbahaya bagi anak dan akan terasa lebih menyeramkan karena tidak terlihat bentuknya secara nyata.

Perundungan secara virtual akan selalu terekam di ingatan anak. Padahal dari segi umur, dia belum siap menerima tekanan dari perundungan seperti itu.

Menurut Alie, perundungan yang dilakukan di dunia nyata dampaknya tidak sekuat perundingan virtual. Di dunia nyata anak masih mungkin bisa melihat sisi baik dari seseorang yang merundungnya, satu hal yang tidak akan terjadi di dunia digital.

Karena itu, orang tua seharusnya tidak membiarkan anak di bawah umur mengakses media sosial atau aplikasi digital lain yang memiliki kemungkinan dampak buruk terhadap anak.

Bila orang tua mengizinkan anaknya beraktivitas secara virtual di media sosial, maka mereka harus mengawasi anak-anaknya secara ketat.

"Memata-matai atau 'stalking' menjadi hal penting bagi orang tua dalam mengendalikan anak-anaknya bermedia sosial. Merupakan kewajiban orang tua untuk mengasuh, membina dan mengawasi anak-anaknya," katanya.

Di sisi lain, Alie juga menyarankan orang tua agar tidak memaksakan anak untuk menunjukkan keberadaan atau eksistensi di media sosial.

"Ada waktunya anak akan menunjukkan eksistensinya, baik di dunia nyata maupun secara virtual. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik," tuturnya.

Karena itu, menanggapi fenomena beberapa orang yang membuatkan anak-anaknya akun media sosial, Alie justru mempertanyakan apa tujuannya. Beberapa selebriti bahkan membuatkan akun media sosial untuk bayi yang baru lahir.

Menurut Alie, sikap orang tua yang seperti itu sama seperti mempercepat eksistensi anaknya. Padahal, anak belum memiliki mental yang stabil.

Pembatasan Psikolog dari Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro Jane Cindy meminta orang tua untuk membatasi penggunaan gawai pada anak agar anak tidak sampai kecanduan.

"Bila orang tua sudah telanjur mengenalkan gawai pada anak, harus ada pembatasan penggunaan seperti hanya boleh pada waktu-waktu tertentu," kata Cindy.

Cindy mengatakan pembatasan penggunaan gawai misalnya tidak boleh pada hari sekolah, yaitu Senin hingga Jumat. Pada saat akhir pekan, Sabtu dan Minggu, pun sebaiknya penggunaan gawai dibatasi, misalnya masing-masing 30 menit pada pagi hari dan sore hari.

Dengan pola tersebut, maka dalam seminggu anak hanya menghabiskan waktu dua jam untuk bermain gawai, yaitu masing-masing 30 menit pada Sabtu pagi, Sabtu sore, Minggu pagi dan Minggu sore.

Cindy lebih menyarankan orang tua agar tidak memberikan gawai sama sekali kepada anak, terutama yang masih berusia di bawah dua tahun. Namun, bukan berarti anak usia tiga tahun ke atas bisa bebas diberikan gawai.

Cindy meminta orang tua untuk mewaspadai dampak buruk dari gawai bagi anak karena dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya.

Gawai memiliki dampak yang dapat mengakibatkan kecanduan, terutama bila anak terbiasa memainkannya. Anak akan terus-menerus menggunakan gawai mereka dan perkembangan interaksi sosial menjadi terhambat.

Cindy mengatakan anak yang sudah mulai kecanduan gawai akan terbiasa mendapatkan kesenangan dengan pola satu arah. Mereka lebih suka bermain sendiri menggunakan gawai daripada bermain bersama teman-temannya.

Selain perkembangan interaksi sosial menjadi terhambat, kesenangan yang didapat dari kecanduan gawai juga dapat membuat anak-anak menghindar dari tanggung jawab dan tugas mereka.

"Mereka jadi malas mengerjakan pekerjaan rumah, belajar, ikut les dan lain-lain," ujarnya.

Kecanduan bermain gawai juga dapat memengaruhi respon visual anak. Permainan yang ada di dalam gawai biasanya berupa rangsangan visual yang bergerak cepat. Anak akan terbiasa dengan ritme memperhatikan rangsangan visual yang bergerak cepat.

Akibatnya, ketika mereka mendengarkan penjelasan guru di kelas dengan bentuk rangsangan visual yang tidak secepat gerakan visual pada permainan, mereka akan mudah merasa bosan.

Tentu gawai tidak selamanya memberikan dampak buruk. Penggunaan gawai juga dapat memberikan dampak baik, seperti memudahkan anak untuk mencari informasi atau pengetahuan.

"Pada anak usia sekolah, mereka dapat menggunakan 'gadget' untuk mencari topik-topik yang sesuai dengan materi pelajaran di sekolah, selain untuk memudahkan komunikasi dengan orang tua dan anggota keluarga yang lain," katanya.

Karena itu, Cindy menyarankan agar orang tua tidak memberikan gawai sama sekali pada anak usia di bawah dua tahun.

Sedangkan untuk anak usia tiga tahun sampai dengan delapan tahun, lebih baik orang tua mengarahkan anaknya untuk melakukan permainan yang banyak melibatkan motorik, persepsi visual spasial dan sensori.

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: