Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Apakah Kita Setuju Freeport Diambil Alih?

Apakah Kita Setuju Freeport Diambil Alih? Kredit Foto: Freeport Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

"Apakah kita semua setuju kalau Freport diambil alih oleh Indonesia?” tanya Pengamat Ekonomi, Fahmy Radhi, di Forum Merdeka Barat 9 (FMB’9) dengan tema "Divestasi Freeport, Kedaulatan Tambang Indonesia" di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Senin (23/7/2018). Pertanyaan tersebut dijawab secara serentak oleh audiens, "Sangat setuju". 

Fahmy menuturkan, dua tahun yang lalu, dirinya menulis "Kembalikan Freeport ke Pangkuan Ibu Pertiwi." Karena memang muncul ketidakadilan-ketidakadilan. Seperti diketahui, selama 50 tahun pengelola Freeport menguasai saham lebih dari 90%. Selama 50 tahun pula, dividennya tidak dibagikan sehingga kehadiran PT Freeport sama sekali tidak bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia.

"Jangankan royalti, pajaknya pun tidak sesuai dengan aturan yang berlaku karena terindikasi terjadi manipulasi pajak," ungkap Fahmy dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (23/7/2018).

Belum lagi, lanjut Fahmy, adanya kerusakan lingkungan yang sangat parah. Ditambah, terjadinya sejumlah pelanggaran HAM, seperti ada beberapa rakyat Papua yang mengais sisa-sisa buangan dari Freeport tapi ditembaki. 

"Maka, kesimpulannya, ya, harus diambil alih. Tapi pertanyaannya, bagaimana cara mengambil alihnya? Nasionalisasi? Dengan zaman global seperti saat ini, jika dengan cara nasionalisasi, Indonesia akan dikucilkan, dan akan ada sanksi ekonomi dari global," ulas Fahmy.

Lantas, kenapa tidak ditunggu 2021? Menurut Fahmy, ternyata ada beberapa perjanjian, perpanjangan, dan penghentian harus berdasarkan kedua belah pihak. Jika muncul kesepakatan, seluruh aset dan peralatan aktiva harus dibeli sesuai dengan nilai buku. Kalau untuk tambangnya dikembalikan.

"Dan kita ketahui, butuh aset dan peralatan yang canggih untuk bisa mengelola pertambangan seperti di Freeport. Divestasi 51% menjadi satu-satunya opsi yang paling rasional yang bisa disepakati kedua belah pihak. Kalau dibandingkan dengan diambil pada tahun 2021, lebih efesien dengan cara divestasi saham sebesar 51% ini,” papar Fahmy. 

PT Inalum yang menguasai 51%, Fahmy menegaskan, seharusnya bisa mengambil keputusan-keputusan yang bisa menguntungkan masyarakat Indonesia dan rakyat Papua. Meskipun PT Freport sudah menyetujui, dalam perundingan masih alot karena penetapan harga saham.

"Saya kira memang harus hati-hati betul. Melihat trackrecord sebelumnya, memang harus ada kehati-hatian. Apa yang harus dilakukan Freeport? Mereka sepertinya ingin tetap mempertahankan saham mayoritas 90%,” ulas Fahmy.

Dalam perundingan, menurut Fahmy, Freeport tidak hanya melibatkan pemerintah, tapi juga sejumlah pengusaha nasional. Saat itu muncul seperti Abu Rizal Bakrie dan Bob Hasan. Pada saat Papa Minta Saham ada modus yang sama seperti yang dilakukan sejumlah elit seperti Bob Hasan.

"Sehingga, jika masih dalam tahap perundingan harus menggunakan sistem kehati-hatian yang luar biasa. Jika ini berhasil, manfaatnya sangat luar biasa bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia dan rakyat Papua,” jelas Fahmy.

PT Inalum sebagai pemegang saham mayoritas, lanjut Fahmy, juga harus memikirkan apakah keuntungan dari hasil saham yang dimilikinya akan dibagikan atau tidak? Pastinya, harus disesuaikan dengan amanat UUD 1945 sehingga akan ada manfaat ekonomi bagi masyarakat.

"Berikutnya, akan ada fresh money yang bisa masuk ke pemerintah untuk kemudian digunakan untuk pembangunan. Sehingga, jawaban akhirnya, divestasi Freeport ini sudah pasti lebih menguntungkan, bukan merugikan!” pungkas Fahmy. 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: