Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemanfaatan EBT, Keniscayaan akan Terwujudnya Kedaulatan Energi Nasional

Pemanfaatan EBT, Keniscayaan akan Terwujudnya Kedaulatan Energi Nasional Kredit Foto: Antara/Reno Esnir
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sekjen PROJO, Handoko, mengatakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan penentu tercapainya kedaulatan energi di Indonesia. Ia menjelaskan dalam janji politik Pemerintahan Jokowi-JK yang dikenal dengan Nawacita, sektor energi turut menjadi prioritas pemerintah. 

“Kedaulatan energi itu menjadi keharusan, sebab pemenuhan energi dari dalam negeri, akan mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil terutama yang berasal dari minyak dan batubara. Dengan memanfaatkan energi terbarukan yang berasal dari air, mikro hidro, angin (bayu), tenaga surya, gelombang laut, dan panas bumi, maka Bangsa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya dari dalam negeri." katanya dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Kamis (26/7/2018). 

Lanjutnya, paradigma pengelolaan energi nasional harus diubah, dari energi sebagai komoditas ke energi sebagai penggerak roda ekonomi. Melimpahnya sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia selayaknya bisa dimanfaatkan secara optimal. "Salah satu kendala besar pengembangan EBT kita, adalah mahalnya teknologi yang banyak kita impor dari luar negeri. Untuk itu penguasaan teknologi juga harus mendapatkan prioritas sehingga kita tidak lagi tergantung pada teknologi luar negeri." tambahnya.

Dari sisi energi primer, saat ini lebih dari 70% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak bumi dan batubara. Melimpahnya batubara dalam negeri membuat PLTU Batubara (Coal Fired Power Plant/ CFPP) menjadi kontributor terbesar dalam konfigurasi pembangkit kita. Dalam jangka pendek, PLTU Batubara bisa menjadi solusi penyediaan energi listrik yang terjangkau dari sisi harga. 

Tetapi bagaimanapun, keberadaan batubara dan minyak bumi semakin berkurang dan habis pada akhirnya. Volatilitas harga minyak dunia yang sangat dinamis dan selalu berkait dengan harga komoditas batubara, juga akan turut mengerek harga jual listrik. Bayangkan saja bila tiba-tiba harga minyak dunia melaju sampai USD 100/barrel misalnya pasti biaya produksi listrik akan meningkat tajam, paparnya. 

"Beda kondisinya apabila Indonesia mengandalkan penggunaan listrik yang pembangkitnya digerakkan oleh tenaga angin, air, atau juga tenaga matahari dan panas bumi." tambahnya.

Menurut Handoko yang juga praktisi bisnis pembangkit listrik, Indonesia sudah cukup lama menguasai teknologi untuk pembangkit tenaga air, baik PLTA maupun PLTMH (pembangkit listrik tenaga  minihidro). Juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/ Geothermal. "Sungai-sungai di Indonesia menyimpan potensi energi yang sangat besar, sekitar 75 GW." terangnya.

Untuk harga jual listrik, PLTU Batubara memang paling murah. Saat ini PLN bisa membeli dengan harga USD 5 cent/kWh dari Independent Power Producer (IPP) tetapi harga batubara fluktuatif, dan juga tidak ramah lingkungan. "Pembangunan PLTA harganya mahal, antara lain karena porsi pekerjaan sipil (civil work) yang besar, seperti pengerjaan bendungan dan penstock (pipa pesat) serta lokasinya yang sulit diakses. Tetapi energi primernya bisa diperoleh dengan gratis dan bisa dibangun beberapa pembangkit dalam satu aliran sungai dalam jarak yang berdekatan (cascade/ berjenjang) dengan memanfaatkan perbedaan elevasi," kata Handoko.

Selama ini, banyak masalah yang harus dihadapi para investor untuk membangun pembangkit listrik, mulai dari pengurusan perizinan, pembebasan lahan, atau juga isu sosial yang melibatkan masyarakat sekitar, karena lokasi pemukimannya akan dijadikan bangunan pembangkit. "Pemerintahan Jokowi-JK telah membuat berbagai terobosan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, mulai pemangkasan birokrasi perizinan hingga kebijakan-kebijakan yang mempermudah investasi." tukasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: