Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bos BCA: BI Bagai Makan Buah Simalakama

Bos BCA: BI Bagai Makan Buah Simalakama Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Jahja Setiaatmadja, memandang posisi Bank Indonesia (BI) saat ini sangat sulit. Hal ini terkait dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Ia mengakui keperkasaan dolar AS tak hanya dialami di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Untuk poundsterling saja sudah melemah sekitar 4-5% dan yen terdepresiasi sebesar 4,5%.

"Jadi currency kepada US dolar itu naik semua. Itu fenomena yang tidak bisa dilawan," ucapnya dalam acara Indonesia Best Public Companies Award 2018 yang diselenggarakan Warta Ekonomi di Jakarta, Selasa (31/7/2018).

Ia mengandaikan jika posisi Bank Indonesia seperti sedang memakan buah simalakama. Pasalnya, jika BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate maka bakal berdampak kepada kredit konsumen yang akan mengalami perlambatan. Selain itu, kredit modal investasi untuk modal kerja juga akan terkena dampak.

"Tapi kalau tidak dilakukan maka risiko ke kurs yang pasti mempengaruhi ke BBM yang memang dalam dolar itu membuat tansportasi naik. Kedua, bahan baku dan lain-lain berdampak. Jadi hampir seluruh tataran bisnis. Apalagi industri pengolahan yang ujung-ujungnya impor. Jadi, ini bagai simalakama," ucapnya.

Namun, berdasarkan penelitian yang Jahja lakukan sendiri, sampai saat ini atau sampai kuartal dua keadaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Anggapan tersebut lanjut Jahja, pertama dihasilkan dari angka inflasi yang terkendali karena kenaikan gaji minimal 8% dan UMR juga naik sesuai inflasi. Kedua ia melihat batubara atau CPO sudah mengalami perbaikan sehingga ekspor tertolong.

"Itu semua menandakan bahwa sebenernya kalau kita balance suku bunga dan kurs, ekonomi akan bagus. Kita harus percaya kalau ekonomi kita bagus ke depan," ungkapnya.

Meski begitu, ia menyarankan agar ke depan para pelaku ekonomi harus lebih mengetatkan ikat pinggang dan jangan sampai kehilangan momentum.

"Kalau ada kesempatan meluncurkan obligasi dan ada pembeli silakan walau itu saingan perbankan. Dan untuk yang impor harus siap-siap naik," terangnya.

Ia menilai jika obat mujarab yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan peningkatan spending yang dilakukan oleh pemerintah. "Walaupun memang ada keterbatasan dari pemerintah," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: