Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Carut-Marut Data Kemiskinan Indonesia, SBY-Prabowo VS BPS

Carut-Marut Data Kemiskinan Indonesia, SBY-Prabowo VS BPS Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Moskow -

Permasalahan data kemiskinan di Indonesia kini menjadi topik yang semakin hangat, sebab data mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan sekitar 100 juta orang berkategori miskin, begitu juga Prabowo Subianto yang menyebutkan kemiskinan di Indonesia naik 50%. Namun berbeda dengan data milik Badan Pusat Statistik yang menyebutkan angka 9,82% atau 26 juta jiwa saja.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, menegaskan informasi valid soal kemiskinan hanya berada pada data Badan Pusat Statistik (BPS) saja yang bernama survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang dilakukan dua kali dalam setahun, yakni pada Maret dan September.

"Kalau ada yang  bicara soal kemiskinan, bisa dilihat data dari orde baru atau kalau mau gampang dari tahun 1999. Ada semua dan itu konsisten," ujarnya  di KBRI Moskow, Novokuznetskaya Ulitsa 12, Rusia, Kamis (2/8/2018) malam. 

Ia mengatakan, Susenas yang ada telah berlangsung sejak era Presiden Soeharto dan kualitas informasinya diakui internasional, karena tidak hanya hitung angka kemiskinan maupun angka ketimpangan, tapi juga bisa melihat apa saja komponen pengeluaran di keluarga miskin di kota maupun di desa, sehingga dapat diketahui penyebab kemiskinan adalah inflasi. Satu satunya kemiskinan naik ketika krisis 1998 dan itu bukan salahnya pemerintah, tapi kondisi ekonominya yang luar biasa.

"Kemiskinan di orde baru 11% loncat lagi ke 24%, setelah itu turun lagi," ujarnya. 

Bambang mencontohkan, di masa pemerintahan SBY, kemiskinan turun dari 16% menuju hampir 11%.  Akan tetapi saat ini, penurunannya mulai landai dikarenakan kemiskinan itu paling susah ketika tinggal sedikit.

"Makin susah kita menjangkau orang miskin terutama yang tinggal di daerah terpencil, yang sulit dijangkau dengan bantuan pemerintah," jelasnya.

Menurutnya, data BPS menunjukkan angka kemiskinan di Maret turun menjadi 9,82% atau  26 juta jiwa  dari 10,12% di September 2017, ini karena pemerintah memang bekerja keras memangkas kemiskinan. Apalagi selama ini angka kemiskinan selalu di atas 10%. Sehingga kemiskina itu, masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

"Masih banyak PR kita untuk menyelesaikan kemiskinan. 26 juta jiwa saudara-saudara kita masih tergolong hidup di bawah garis kemiskinan," ungkapnya.

Untuk itu, ia berharap semua pihak yang berbicara soal kemiskinan mengacu pada data BPS yang diperoleh lewat Susenas dan tak perlu berpolemik karena di setiap pemerintahan juga terjadi penurunan kemiskinan.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Irfan Mualim
Editor: Irfan Mualim

Bagikan Artikel: