Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Presiden Harap GSP Amerika ke Indonesia Dipertahankan

Presiden Harap GSP Amerika ke Indonesia Dipertahankan Kredit Foto: Setkab.go.id
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presiden Joko Widodo mengharapkan agar fasilitas generalized system of preference (GSP) yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia tidak dicabut.

"Presiden menyampaikan harapan indonesia agar fasilitas GSP tetap akan diberikan kepada Indonesia karena kalau dilihat dari barang-barang di GSP, 53 persen adalah barang-barang yang diekspor oleh AS, terkait proses produksi yang diperlukan AS," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di kawasan istana kepresidenan Jakarta, Minggu.

GSP merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk (nol persen) terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang. Presiden AS Donald Trump pada April 2018 tengah mengkaji kebijakan GSP untuk Indonesia dan India, karena dinilai menyebabkan defisit neraca perdagangan AS. Program tersebut berlangsung sejak 1976, dan sempat terhenti pada 2013, namun diberlakukan lagi pada Juni 2015.

Sejak 2011, Indonesia merupakan satu dari lima negara yang menikmati manfaat GSP dari Amerika Serikat, selain juga India, Thailand, Brasil, dan Afrika Selatan. Khusus untuk Indonesia, Trump akan mengevaluasi sebanyak 124 produk asal dalam negeri, termasuk tekstil, plywood, kapas, serta beberapa hasil perikanan seperti udang dan kepiting.

"Kita ingatkan GSP bukan hanya dinikmati Indonesia tapi juga kedua belah pihak, bahwa produk yang kita impor dari AS selain kita perlukan juga selanjutkan kita ekspor kembali, demikian juga dari AS, jadi sifatnya kompelementer," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito.

Enggartiasto pada 21-28 Juli 2018 melakukan kunjungan kerja ke AS, termasuk menemui Duta Besar United States Trade Representatives (USTR) untuk membahas tinjauan negara tersebut terhadap negara-negara penerima GSP.

Pada 2017, produk Indonesia yang menggunakan skema GSP l bernilai 1,9 miliar dolar AS. Angka tersebut masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar 5,6 miliar dolar AS, Thailand 4,2 miliar dolar AS, dan Brasil 2,5 miliar dolar AS.

Produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS dan masuk ke dalam komoditas penerima GSP antara lain ban karet, perlengkapan perkabelan kendaraan, emas, asam lemak, perhiasan logam, aluminium, sarung tangan, alat-alat musik, pengeras suara, keyboard, dan baterai.

Presiden Donald Trump pada 18 Maret 2018 juga memutuskan pengenaan tarif impor sebesar 25 persen untuk produk baja dan 10 persen untuk produk aluminium. Ekspor produk besi baja Indonesia ke AS pada tahun 2017 tercatat sebesar 112,7 juta dolar AS atau hanya 0,3 persen pangsa pasar AS. Nilai ini disebabkan oleh penerapan bea masuk antidumping dan "countervailing duty" yang telah berlangsung cukup lama. Sementara itu ekspor aluminium ke AS tercatat sebesar 212 juta dolar AS pada 2017 atau 50 persen ekspor aluminium Indonesia ke dunia.

"Kita minta exemption (pengecualian) untuk alumnunium dan baja yang kena 25 persen karena hanya 0,23 persen dari ekspor atau impornya AS. Alumunium juga sebagian dipakai Boeing, kalau misalnya kita kenakan tarif yang tinggi (untuk alumunium) maka bisa berakibat kalau kita beli Boeing akan jadi lebih mahal, Airbus bisa lebih murah, jadi dicatat sama 'Secretary of Commerce' untuk diperhatikan dan langsung meminta agar Boeing bersurat ke 'Secretary of Commerce'," jelas Enggar.

Namun keputusan apakah GSP tetap diberikan atau dicabut, menurut Enggar kembali lagi kepada kebijakan pemerintah AS.

"Kita sekali lagi tidak mau meminta tetapi kita tunjukkan pada mereka bahwa kita juga 'concern' dengan 'trade defisit' mereka lebih dari 700 miliar dolar AS. GSP ini begini yang menguntungkan kedua belah pihak, 'private sector' juga kita dorong untuk membantu memproses itu, kalau kita sepakat (nilai perdagangan) mau naik, GSP itu akan sangat membantu," tambah Enggar.

Enggar juga mengatakan bahwa Indonesia dan AS sepakat untuk meningkatkan volume perdagangan yang tadinya hanya 28 miliar dolar AS menjadi 50 miliar dolar AS.

"28 miliar dolar AS itu terlalu kecil dan saya mengusulkan agar kedua pihak meningkatkan minimal 50 miliar dolar AS dengan masing2 kita menyusun 'road map'-nya dan itu direspon positif," ungkap Enggar.

Enggar menargetkan dalam waktu 2-3 tahun jumlah tersebut dapat tercapai.

"Harus dicapai dalam waktu 2-3 tahun, tapi kita harus menyusun dengan hati-hati, karena kedua negara juga sepakat 28 miliar dolar AS itu terlalu kecil," tambah Enggar.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: