Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indef: Minimnya Fintech Berizin Timbulkan Masalah

Indef: Minimnya Fintech Berizin Timbulkan Masalah Kredit Foto: Amartha
Warta Ekonomi, Yogyakarta -

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, menilai semakin minimnya financial technology (fintech) berizin berarti juga menyuburkan fintech-fintech ilegal. Di mana fintech tak resmi ini sudah pasti lolos dari pengawasan OJK.

Lanjutnya, Ia menjelaskan status mereka menjadi tidak jelas, terdaftar tapi hanya menggengam masa izin temporer selama satu tahun. Untuk mendapatkan izin permanen, mereka harus mengurus perizinan resmi paling lambat setahun setelah status terdaftarnya diperoleh.

Sebelumnya, hingga saat ini Satgas Waspada Investasi sendiri sejauh ini sudah menemukan 227 entitas yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending. Fintech tersebut meski sudah beroperasi, tetapi tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dalam penawaran produknya, sehingga berpotensi merugikan masyarakat.

“Potential lost-nya kalau jumlah fintech kalau berizinnya sedikit pastinya nanti ada risiko yang ditanggung masyarakat. Kayak kasus Rupiah Plus kemarin. Nanti ke mana-mana. Kalau tidak berizin, OJK susah dong memberikan sanksi atau teguran yang sifatnya antisipatif,” dalam keterangan resmi yang diterima di Yogyakarta, Rabu (8/8/2018).

Selain itu, semakin banyaknya fintech yang dianggap liar dan tidak termasuk dalam pengawasan OJK, berpotesi memicu kerugian besar, mulai dari pidana penipuan pencucian uang, transaski ilegal, hingga tidak adanya perlindungan soal data.

"Kerugian lainnya, fungsi fintech yang sejatinya berperan sebagai penyalur dana ke masyarakat, khususnya yang unbankable menjadi tak optimal. Dengan sedikitnya fintech yang berizin, potensi untuk menyalurkan kredit ke masyarakat juga jadi berkurang." Katanya lagi.

Berdasarkan data OJK, penyaluran dana dari fintech ke masyarakat hingga Juni 2018 telah mencapai Rp7,64 triliun. Jumlah transaksinya sendiri telah mencapai 3,16 juta kali yang tersalur ke 1,09 juta nasabah.

Ia menyadari untuk memperoleh status izin sebagai fintech resmi memang sangat menyulitkan. "Tidak hanya melulu harus memenuhi prasyarat dari OJK, penyelenggara pun akan berhadapan setidaknya dengan 14 kementerian dan lembaga." Tukasnya.

Untuk itulah, Bhima menyarankan, OJK membuat proses perizinan satu pintu sehingga semua syarat yang mesti dipenuhi penyelenggara cukup diurus di OJK. 

“Jadi sekarang OJK harus punya perizinan satu pintu, harus punya insentif juga. Jadi semua biaya perizinan itu digratiskan. Kalau misalnya nanti masih juga susah, OJK harus jemput bola mendatangi fintech-fintech,” tukas ekonom ini.

Ia meyakini konsep ini bisa dilakukan. Pasalnya, investasi-investasi dengan izin satu pintu untuk berbagai sektor sudah diterapkan oleh BKPM.  

"OJK pun mesti menjadi kepalanya dikarenakan sebagian besar fintech yang ada di Indonesia merupakan jenis fintech lending." Tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: