Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bankir Minta BI Fokus Perhatikan Dampak Krisis Turki

Bankir Minta BI Fokus Perhatikan Dampak Krisis Turki Kredit Foto: Fajar Sulaiman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Krisis keuangan yang terjadi di Turki, di mana nilai mata uang Lira jatuh sangat dalam terhadap dolar AS harus menjadi perhatian serius Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral.

CEO Citibank Indonesia Batara Sianturi mengatakan, sejauh ini keputusan BI yang menyesuaikan suku bunga acuan sebanyak 100 bps menjadi 5,25% dinilai cukup meredam tekanan eksternal.

"Kami cukup positif yang dilakukan BI cukup antisipatif pada market, dan ini kami lihat so far dapat juga meredam volatility yang ada di global," kata Batara di Jakarta, Senin (13/8/2018).

Kendati demikian, krisis mata uang yang terjadi di Turki harus menjadi fokus berikut. Pasalnya krisis ini bisa menjalar ke negara Eropa dan emerging market.

"Tapi saya katakan, jangan terlalu fokus pada ini saja, tapi yang menjadi fokus saat ini adalah adanya faktor di Turki," paparnya.

Untuk mengantisipasi itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyarankan BI untuk melanjutkan pengetatan kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan dan intervensi cadangan devisa.

"Dari sisi BI masih ada ruang lakukan pengetatan moneter dengan naikan 25 bps suku bunga acuan. Kemudian BI harus lakukan intervensi cadangan devisia secara terukur," ungkap Bhima.

Laporan Reuter menyebutkan Lira menyentuh level terendahnya sepanjang sejarah di posisi 7,24 lira per dolar AS pada perdagangan Asia Pasifik, di mana pasar dibuka Senin (13/8/2018) pagi. Lira telah kehilangan lebih dari 45% nilainya sepanjang tahun ini. 

Depresiasi dalam yang dialami Lira sebagian besar diakibatkan oleh pengaruh Erdogan di perekonomian Turki. Erdogan terus mendesak agar suku bunga perbankan terus turun ketika inflasi justru meroket dan memburuknya hubungan Ankara dengan Washington.

Pekan lalu, Lira sempat rontok hingga 18% yang merupakan depresiasi terdalamnya sejak 2001. Hal itu terjadi setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan, ia telah melipatgandakan bea masuk baja dan aluminium Turki.

Akibat krisis tersebut, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga terjerembab relatif dalam. Mengutip Bloomberg, Senin (13/8/2018), Rupiah ditutup di angka 14.608 per dolar AS, melemah tajam jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.478 per dolar AS. Sementara data RTI menyebutkan, pelemahan nilai tukar Rupiah tertinggi berada pada level Rp14.648 per dolar AS.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: