Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indef: Aturan Fintech Tumpulkan Sasaran Inklusi Keuangan

Indef: Aturan Fintech Tumpulkan Sasaran Inklusi Keuangan Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Aturan Financial Technology (Fintech) yang berubah-ubah diyakini menjadi sentimen negatif buat pertumbuhan industri tersebut. Peneliti Indef Andry Satrio Nugroh, menilai tanpa ekosistem yang baik target pertumbuhan inklusi keuangan sebesar 75% pada 2019 sulit digapai.

Ia menjelaskan, saat ini Fintech merupakan senjata utama Indonesia untuk bisa mencapai tingkat inklusi yang diharapkan.

“Kalau misalnya ada aturan yang bertrabrakan, pertama ini memengaruhi Fintech. Kedua, Fintech ini tidak bisa bekerja optimal untuk melakukan inklusi keuangan yang sedang digiatkan sekarang di Indonesia,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima, Selasa (14/8/2018).

Lanjutnya, Pandangan ini disampaikan Andry menanggapi adanya surat pernyataan penyelenggara Fintech yang bocor ke publik. Dalam draft surat pernyataan tersebut, beberapa aturan yang diwajibkan penyelenggara Fintech, justru bertentangan dengan aturan dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016 sendiri.

Di antaranya terkait tingkat biaya ekonomi pendanaan, alias suku bunga Fintech yang hendak dibatasi agar tidak lebih tinggi dari perbankan, perusahaan pembiayaan, koperasi maupun Lembaga keuangan mikro. Padahal dalam POJK 77 Tahun 2016, jelas-jelas dinyatakan, OJK sebagai otoritas tidak mengatur soal batas maksimal bunga kredit dalam Fintech lending.

Kemudian, penyelenggara Fintech juga tidak diperkenankan mengenakan denda atau kewajiban finansial lainnya terhadap penerima pinjaman, dengan jumla akumulatif bersih melebihi 20% dari nilai pokok pinjaman. Masih dalam draft surat penyataan yang harus disepakati penyelenggara Fintech, disebutkan soal kewajiban melaporkan informasi detail soal nasabah penunggak kredit ke dalam database Pusat Layanan Informasi Fintech yang dibangun oleh para penyelengaran Fintech sendiri dan dilaporkan ke OJK.

Selanjutnya, penyelenggara Fintech juga harus melaporkan ke OJK indentitas dari seluruh pihak yang melakukan collection atau penagihan paling sedikit tiga bulan sekali. Hal lainnya yang juga cukup janggal, draf tersebut juga tegas melarang penyelenggara fintech mempekerjakan orang-orang yang pernah terpidana dalam lima tahun terakhir.

Andry melihat, adanya aturan yang belum jelas tersebut, membuat iklim inovasi Fintech tergerus. Apalagi, regulasi mengenai bunga ini jelas berseberangan dengan apa yang tertuang dalam POJK.

“Kalau misalnya ada pembatasan bunga, itu terasa kontradiktif dengan POJK sendiri. Tentu ke depannya kalau tidak ada sinergi antata kebijakan itu, ke depan itu justru pemain yang ingin mengembangkan fintech jadi ragu-ragu,” imbuh Andry.

Sementara itu, Ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Eugene Mardanugraha menilai, kondisi tersebut akan mengubah posisi Fintech dan perbankan. Ia menjelaskan, sejauh ini, Fintech dan perbankan sifatnya saling melengkapi.

Fintech membantu perbankan menyalurkan kredit dalam bentuk micro loan dan perbankan pun menjadi tempat untuk menaruh dana Fintech. Namun, jika ada pembatasa bunga, micro-loan pun akan menjadi pasar bagi perbankan. “Posisinya jadi berkompetisi. Soalnya kan bunganya udah sama,” ucapnya,

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: