Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Impor Beras Menimbulkan Pertanyaan Terhadap Validitas Data Kementan

Impor Beras Menimbulkan Pertanyaan Terhadap Validitas Data Kementan Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Merujuk data produksi beras Kementerian Pertanian,  produksi beras di Indonesia sudah surplus alias  berlebih memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Sayangnya, validitas data produksi beras dari Kementerian Pertanian menjadi pertanyaan. 

Ternyata impor beras masih dibutuhkan untuk menambal kebutuhan masyarakat. Ironisnya, impor beras sendiri bisanya diputuskan pada rapat yang juga mengikutsertakan Bulog dan menteri pertanian yang selalu menyatakan produksi beras surplus. 

Pengamat pertanian Khudori menuturkan, selain tidak ada data pembanding dari instansi lain terkait produksi beras, benturan kepentingan dari data yang dihasilkan juga sangat tinggi. Di mana lembaga yang memproduksi data dan yang menggunakannya tidak lain adalah Kementerian Pertanian sendiri.

“Surplus kita besar cuma ya tadi, validitasnya diragukan. Conflict of interest-nya tinggi sekali. Kan yang produksi data sama penggunanya sama,” ujarnya kepada wartawan, Beberapa waktu lalu.

Di samping itu, akademisi ini juga tidak yakin dengan metode perolehan data dari kementerian tersebut. Pasalnya untuk jumlah luasan lahan, tidak ada penghitungan secara riil alias hanya perkiraan.

“Pengumpulan datanya memang bukan survei lapangan. Itu tadi perkiraan-perkiraan. Untuk luas panen bukan survei lapangan,” kata Khudori.

Padahal, luas panen sangat menentukan seberapa besar produksi. Di mana total produksi diperoleh dari perkalian antara luas panen dengan produktivitas.

Menurut data yang diperoleh dari citra satelit, luas lahan sawah di Indonesia bahkan hanya di angka 7,7 juta hektare. Data Kementan berkata beda. Pada akhir 2016, luas lahan sawah tercatat sebesar 12,97 juta hektare.

Khudori mengingatkan, soal impor beras memang tidak bisa hanya mengacu pada produksi beras. Ada masalah lain, yakni penyerapan Bulog yang tidak bisa optimal dikarenakan memang masih rendahnya harga pokok pembelian yang diterapkan pemerintah.

“Problem utama terkait impor beras adalah kemampuan Bulog menyerap beras atau gabah hasil produksi dalam negeri,” paparnya.

Apalagi produksi hingga tahun ini, diperkirakan Khudori, akan mengalami gagal panen yang lebih besar dibandingkan tahun kemarin. Musim kemarau yang lebih panjang di 2018 menjadi penyebabnya.

“Di berita-berita kan sudah banyak kegagalan panen di daerah-daerah. Cuma masih sporadis, bukan skala nasional,” imbuh pengamat ini.

Menurut Data Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, total persetujuan impor beras periode 2018 kepada Perum Bulog (Persero) hingga saat ini mencapai 2 juta ton. Persetujuan impor beras untuk Bulog tahap I dan II sendiri telah keluar pada Februari dan Mei 2018, masing-masing jumlahnya 500.000 ton.

Sedangkan izin impor tahap III sendiri telah dikeluarkan pada Juli 2018. Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari—Juli 2018 impor beras melalui Bulog telah mencapai 1,181 juta ton. Mengacu pada izin impor yang dikeluarkan, beras yang masih akan masuk ke Indonesia hingga September sekitar 820.000 ton.

Menanggapi data impor beras yang dikeluarkan BPS, dan klaim Bulog yang tidak sama, Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono mengatakan, pemerintah harus memperbaiki sistem data yang akurat dan hanya satu.

“Sistem pendataan yang benar perlu segera dibuat untuk menjadi acuan bagi Kementan, Kemendag bahkan Presiden sebagai dasar bila akan membuat kebijakan beras, harus terwujud one data yang dipakai pemerintah,” ujarnya.

Ono menjelaskan, dalam hal kebijakan impor, tujuannya adalah semata untuk menstabilisasi harga beras supaya rakyat mampu untuk membeli. “Diharapkan tidak berdampak kepada petani sehingga kebijakan impor itu tetap dikendalikan oleh pemerintah,” tuturnya.

Menurutnya, pemerintah wajib memperhatikan kesejahteraan petani sekaligus rakyat juga bisa mendapatkan beras dengan harga yang wajar. “Masalah yang selama ini terjadi adalah saat HPP Gabah hanya Rp 3700, petani pun merasa harganya sangat rendah dan sebaliknya pada saat-saat tertentu harga beras juga naik tidak wajar. Dari sini terlihat jelas siapa yang diuntungkan. Yaitu orang-orang yang selama ini menguasai distribusi,” tuturnya.

Dia mendesak perbaikan Tata Niaga Perberasan, baik dari sisi Regulasi maupun praktik di lapangan. Terkait produksi beras dalam negeri, untuk program cetak sawah, benih bagi petani, dan lainnya Ono menilai perlu dievaluasi.

“Produksi beras berdasarkan laporan Kementan selalu meningkat berarti sudah On The Track. Semua program tentunya harus dievaluasi. Yang belum baik wajib diperbaiki, yang sudah baik harus ditingkatkan,” jelasnya.

Baca Juga: Tegas! Bule Inggris Eks Napi Narkoba Diusir dari Bali

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: