Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat: Hasil Panen Petani Jagung Lokal Tak Mampu Diserap Pasar

Pengamat: Hasil Panen Petani Jagung Lokal Tak Mampu Diserap Pasar Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Dwi Andreas, mengatakan hasil panen petani Jagung tak mampu diserap pasar secara luas, karena kebijakan pengembangan lahan jagung yang jauh dari pusat industri menjadi sumber masalah pangan dan pakan nasional, baik bagi petani, maupun kalangan industri.

“Jadi, sebenarnya tidak tepat satu klaim yang lalu seolah jagung sudah surplus, lalu kita ekspor. Nggak. Ekspor jagung itu sudah hal yang sangat rutin,” tuturnya kepada wartawan, Senin (20/8/2018).

Lanjutnya, ekspor tersebut bahkan sudah terjadi belasan tahun lalu dan biasa dilakukan ketika harga pasar jagung domestik sudah terjun ke bawah US$200 per ton. Rata-rata tiap tahunnya Indonesia terbiasa mengekspor jagung di kisaran angka 50 ribu ton. 

“Bagaimana bisa harga jagung di Indonesia di atas Rp4 ribu per kilogram, lalu kita mengekspor di mana harga jagung internasional hanya US$210 per ton. Terus logikanya di mana?,” ujarnya mempertanyakan.

Selain itu, distribusi dalam negeri yang sulit juga berekses kepada pilihan ekspor para petani jagung. Asal tahu saja, Gorontalo selama ini menjadi daerah sentra produksi jagung nasional. 

Sementara itu, mayoritas konsumen jagung yang merupakan perusahaan pakan ternak berada di Pulau Jawa. Lebih jauh, persoalan lemahnya distribusi justru menciptakan efek domino pada tidak meratanya harga jagung yang kemudian berimbas pada kenaikan harga pakan ternak, kenaikan harga telur maupun ayam ras akhir-akhir ini.

“Karena pabrik pakan ternak itu sekitar 69% ada di Pulau Jawa. Sehingga jagung-jagung yang luar Jawa, ini agak kesulitan juga terserap di industri pakan ternak yang ada di Jawa,” ujar Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.

Sementara itu, Sekjen Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Soya melihat, ekspor lazim dilakukan mengingat tidak seluruhnya jagung nasional terserap pasar domestik pada saat musim panen raya tiba. Di sisi lain, jagung tidak bisa disimpan lama-lama karena belum ada infrastruktur penyimpanan dan pengeringan yang memadai.

Pada akhirnya, jumlah yang melimpah hingga 60—70% pada musim panen Oktober—Maret dipilih untuk diekspor, seperti ke Filipina. "Ekspor pada masa itu pun menguntungkan karena harga yang ditawarkan lewat ekspor jauh lebih menjanjikan." katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: