Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jengky: Rasa Seksi Harga Maksi

Oleh: Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan

Jengky: Rasa Seksi Harga Maksi Kredit Foto: Antara/M Agung Rajasa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Jengky atau nama cantik untuk sebutan jengkol bukan lagi milik warga pinggiran. Jengkol sudah merambah lidah orang kota yang tidak menjaga gengsi lagi.

Bahkan, jengkol sudah melanglang ke luar negeri. Di Amerika Serikat misalnya, jengkol dibawa ke negeri Paman Sam lewat Kalifornia. Kemudian didistribusikan ke beberapa negara bagian yang ada warga negara Indonesianya. Saya sendiri pernah menikmati masakan rendang jengkol di Bu Nanik, restoran Padang yang ada di Elm Hurs, Queens, New York.

Bicara soal jengkol, orang boleh bilang, jengkol identik dengan bau dan selera kaum pinggiran. Atau sindiran, jika ingin menghilangkan bau petai maka makanlah jengkol. Tapi siapa mengira, jika jengkol mampu membuat heboh masyarakat. Jengkol tiba-tiba menghilang di pasaran dan di pusaran. Penikmat jengkol galau dan kelimpungan karena buah klangenan ini tiba-tiba raib. Buah yang dalam bahasa latinnya disebut archidendron pauciflorum, mendadak hilang. Tak ada stok di pasar-pasar tradisional. Kalaupun ada, harganya selangit menyamai harga sembako bahkan daging ayam.

Menghilangnya jengkol adalah dampak hukum kelangkaan. Kelangkaan bermakna ganda, yaitu terbatas karena tidak cukup dibandingkan banyaknya kebutuhan, dan terbatas karena manusia harus melakukan pengorbanan untuk memperolehnya. Benar apa yang dikatakan Thomas Paine: semakin sulit perjuangannya, makin besar kemenangannya, atau maknanya, semakin kesulitan memperoleh pasokan jengkol di pasaran maka kelangkaan jengkol menjadi kemenangan bagi pemasok untuk menguasai harga.

Beda halnya filsafat Jawano mangsane wong urip seneng iku susah dhisik, wong arep mulyo iku rekoso dhisik (Ada masanya orang yang ingin hidup menikmati kesenangan harus bersusah susah duluan). Pepatah ini relevan dengan penyuka jengkol atau mereka yang hidup dari jengkol.

Sebut saja, Mat Raman, yang kesehariannya berjualan aneka masakan berbahan jengkol. Ia harus bersusah dahulu, bahkan sempat syok. Bayangkan, semenjak naiknya harga jengkol, ia bingung berdagang karena harga jengkol melambung tinggi. Bukan saja pelanggan yang kecewa. Ia juga kecewa karena tidak ada stok jengkol di saat harga melambung tinggi. Padahal, ia mengandalkan masakan jengkolnya untuk membiayai hidup termasuk sekolah anak.

Jengkol kini naik kasta. Jika semula diminati wong alit, kini diminati juga kaum elite. Pamor jengkol mencuat karena tidak hanya hadir di warung tegal (warteg), tetapi sudah menjadi menu utama di restoran-restoran besar di kota termasuk rumah makan Padang.

"Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong bakal kehilangan (siapa yang kehilangan bakal diberi, siapa yang mencuri bakal kehilangan)." Hilangnya buah jengkol di pasar-pasar tradisional diduga karena banyak pohon jengkol yang ditebangi. Dulu, harga jengkol sangat murah karena tidak semua orang suka (rasa maupun bau). Karena harga murah, pemilik pohon menebang serta mengganti dengan tumbuhan lain yang lebih produktif dan bernilai jual lebih mahal, misalnya pohon durian, kelengkeng, duku, dan lain-lain.

Contohnya di Galang (berdekatan dengan Medan), pohon-pohon jengkol banyak yang sudah ditebangi dan batang pohon dijual untuk dijadikan papan. Katanya, kayu pohon jengkol bagus dan kuat. Harganya, bisa sekitar Rp2 juta hingga Rp4 juta tergantung ukuran pohon. Ada yang mengaku menjual tiga batang pohon jengkol seharga Rp3,5 juta per batang.

Banyak pihak merasa heran harga jengkol jadi melambung dan permintaan juga tinggi. Harga jengkol bahkan melebihi harga daging ayam maupun daging sapi, Kenaikan harga yang tidak wajar perlu dilakukan tes pasar untuk mengetahi apakah terjadi karena keterlambatan panen atau penimbunan. Jika kenaikan harga jengkol justru menguntungkan petani jengkol, itu akan menjadi berkah.

Namun, jika kenaikan hanya menguntungan para distributor, pengusaha, spekulan, dan para rentenir, maka instansi terkait harus mulai menginvestigasi para pihak yang berusaha mengendalikan pasokan barang dan mempermainkan harga. Jika perlu, instansi yang bersangkutan melakukan tindakan sesuai prosedur.

Meski harganya ugal-ugalan, mahalnya harga jengkol tidak perlu dibesar-besarkan karena jengkol bukan komoditas yang vital seperti beras, gula, atau terigu. Jengkol dapat dikategorikan sebagai eksotik food. Komoditas ini tidak bisa dibandingkan dengan beras atau bahkan cabai. Dilihat secara agronomis, jengkol merupakan hasil kebun dengan panen yang melimpah pada bulan bulan tertentu. Sementara, di bulan tertentu hasil panen terkadang turun. Jadi memang tergantung musimnya.

Pertanyaannya, apakah kenaikan harga jengkol bisa berpengaruh terhadap angka inflasi? Saat ini pengaruh kenaikan harga jengkol terhadap inflasi tidak terlalu signifikan. Selama ini, tidak pernah terdengar inflasi yang disebabkan oleh jengkol.

Meskipun harganya sensasional, kita tetap menyakini tingginya harga jengkol disebabkan keterlambatan panen dan masalah cuaca. Tak perlu berburuk sangka pada spekulan yang memainkan harga jengkol karena harga jengkol akan kembali seperti semula setelah panen. Mungkin wajar, jika harga jengkol naik cukup signifikan. Apalagi bersamaan dengan harga komoditas lainnya seperti cabai, bawang, telur, atau ayam, saat menjelang bulan puasa.

Karena biasanya, permintaannya meningkat sangat pesat. Tapi tak perlu dikhawatirkan, kenaikan harganya biasanya tak betah berlama-lama. Begitu pasokan datang, harga berangsur-angsur akan normal. Jadi, setinggi-tingginya harga jengkol, buah ini tak akan mengganggu stabilitas ekonomi nasional karena belum ada inflasi tinggi yang disebabkan si jengki ini. Kecuali stabilitas suasana rumah tangga yang bakalan riuh karena aroma jengkol yang menyengat.

Ada beberapa hal yang dapat dipetik

1. Biang kerok naiknya harga jengkol adalah faktor kelangkaan yang disebabkan volume produksi jengkol yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pasar;

2. Volume di sini termasuk faktor produksi dari pohon jengkol itu sendiri yang semakin langka dan semakin banyak ditebangi karena menghasilkan kayu yang memiliki nilai ekonomis lebih dibandingkan dengan buah jengkolnya sendiri;

3. Kenaikan harga jengkol mengindikasikan jengkol sebagai makanan rakyat, ternyata mulai banyak disukai oleh berbagai kalangan masyarakat;

4. Mengingat jengkol merupakan produk hortikultura yang banyak ditanam rakyat, Pemerintah dapat membudidayakan jengkol sebagai tanaman rakyat yang berguna dan memiliki nilai tambah untuk pengembangan produk kesehatan dari herbal;

5. Meskipun disadari, jengkol tidak menimbulkan dampak inflasi, pemerintah tetap harus waspada.

Simpulannya, sensasi si jengky tidak saja soal rasa dan baunya yang membuat heboh. Ternyata juga harga dan keberadaannya. Bagi mereka yang hobi jengkol, ada sensasi tersendiri. Digigit terasa legit, di harga terasa menggigit, meskipun aroma merebak sampai ke langit. Tapi itulah si jengky, rasanya tidak begitu dilirik tapi harganya bikin orang sirik.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: