Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

CIPS: Bulog Sebagai Importir Tunggal Jagung Tak Efektif

CIPS: Bulog Sebagai Importir Tunggal Jagung Tak Efektif Kredit Foto: Antara/Maulana Surya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 21 Tahun 2018 memberikan wewenang kepada Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai pengimpor jagung untuk pakan ternak. Badan pangan pemerintah ini menjadi satu-satunya pihak yang berwenang melakukan impor tersebut. Sedangkan pihak swasta hanya diperbolehkan mengimpor jagung bagi kebutuhan konsumsi dan industri lain.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy mengatakan, peran Bulog sebagai importir tunggal untuk jagung pakan ternak tidak efektif. Ada beberapa alasan. Pertama, Bulog tidak bisa menjalankan peran sebagai stabilisator karena tidak mampu menentukan timing yang tepat untuk impor.

"Melihat sejarah kinerja, Bulog belum dapat mencapai target ini karena melakukan impor jagung ketika harga internasional sedang tinggi. Pada Oktober 2017, Bulog mengimpor 200.000 ton seharga Rp1.982.946 per ton. Harga ini lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya Rp1.948.244 per ton. Kalau Bulog dapat mengimpor pada September 2017, maka pemerintah dapat menghemat dana sebesar lebih dari Rp6 miliar," jelas Imelda dalam rilisnya kepada redaksi Warta Ekonomi, Kamis (23/8/2018).

Alasan berikutnya, kinerja Bulog tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik. Kondisi ini berpengaruh pada pemberian rekomendasi impor serta waktu Bulog dapat mengimpor jagung. Dilaporkan pada November 2017, 30.406 ton jagung impor belum didistribusikan oleh Bulog.

Distribusi jagung yang lambat bisa terjadi karena waktu impor yang tidak tepat. Misalnya, saat Bulog mendatangkan jagung impor ke Indonesia, petani jagung Tanah Air sedang dalam masa panen raya. Saat panen raya, suplai jagung melimpah dan harga domestik sedikit lebih murah ketimbang harga internasional.

Selain itu, Bulog belum merancang penentuan distribusi jagung. Hal ini dapat dilihat dari kejadian pada 2016, saat Bulog mendistribusikan suplai jagung ke empat kota, Jakarta, Surabaya, Medan, dan Lampung. Dari keempat kota ini, Jakarta mendapat jatah suplai paling banyak sebesar 100.000 ton jagung.

"Pengalokasian jagung di Jakarta dalam jumlah besar ini tidak tepat karena pada Januari 2017 dilaporkan persediaan jagung di gudang Bulog di Jakarta masih tersisa 80.000 ton. Jumlah ini menunjukkan jumlah jagung yang terserap hanya 20.000 ton," jelasnya.

Padahal, jika saat itu suplai langsung didistribusikan kepada pengusaha pakan ternak, pasti jagung akan langsung terserap. Kalau Bulog menyadari jumlah pabrik pakan ternak di Jakarta sedikit, maka rendahnya penyerapan jagung ini dapat terhindarkan.

Untuk itu, Imelda menyarankan, agar Bulog tidak menjadi satu-satunya pengimpor jagung untuk pakan ternak. Selain karena terbentur hal-hal yang sudah dijelaskan, adanya importir lain diharapkan dapat memberikan pilihan kepada pasar dan menghindarkan pasar dari kompetisi yang tidak sehat.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: