Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gudeg Never Die: Makin Gaya Merambah Mancanegara

Oleh: Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan

Gudeg Never Die: Makin Gaya Merambah Mancanegara Kredit Foto: Ronald Sipahutar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Masyarakat Yogyakarta sepakat jika gudeg adalah ikon kuliner mereka. Eksistensi makanan ini telah meniti jejak sejarah yang panjang. Dimulai saat dibangunnya kerajaan Mataram Islam di Alas Mentaok yang ada di daerah Kotagede sekitar abad ke-15 lalu.

Bagaimana gudeg dimulai? Saat pembangunan kerajaan, banyak pohon ditebang, di antaranya adalah pohon nangka, kelapa, dan tangkil atau melinjo. Anugerah alam ini menginspirasi dan mendorong para pekerja untuk membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Karena jumlah mereka banyak, lelah, dan lapar, maka nangka muda yang disebut gori tersebut dimasak sangat banyak dan disesuaikan dengan jumlah pekerja. Dari konteks historis inilah gudeg lahir.

Dari lahirnya hingga kini gudeg menjadi ikon Yogyakarta. Namun ada yang tidak berubah dan sekaligus berubah tentang kota ini. Yang tidak berubah adalah sebutan kota Yogyakarta sebagai Kota Gudeg. Meskipun gudeg ada di beberapa daerah, namun setiap menyebut gudeg seakan sudah tidak terpisahkan dari Kota Yogyakarta. Yang teringat adalah Yogyakarta.

Perpaduan rasa gudeg yang manis dan gurih menjadikannya memiliki karakter yang kuat sehingga mampu mewakili citarasa khas Yogyakarta. Ada beberapa faktor pendukung kenapa gudeg tetap bertahan hingga kini.

Pertama, keberadaannya sangat mudah ditemukan di setiap sudut kota pelajar itu maupun di gang-gang kampung maupun pinggiran. Kedua, antusiasme penggemar gudeg yang tak pernah padam alias gudeg never die.

Sementara yang berubah adalah cita rasa dan jenis gudeg itu sendiri sebagai masakan. Kini masakan gudeg diinovasi menjadi berbagai varian gudeg, antara lain gudeg kering, gudeg basah, hingga gudeg mercon super-pedas. Banyak turis/wisatawan yang sengaja jauh-jauh datang ke Yogyakarta hanya ingin menikmati gudeg (entah itu gudeg kering, gudeg basah, ataupun gudeg manggar). Bahkan, mereka sering membawa gudeg tersebut ke kota asal sebagai oleh-oleh.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, kita tak perlu lagi jauh-jauh datang ke Yogyakarta untuk menikmati kelezatan gudeg. Penikmat gudeg kini semakin dimanja. Tak perlu menunggu mudik atau pulang kampung jika kangen gudeg. Di manapun berada, kini makanan khas Yogyakarta ini selalu dapat diperoleh.

Kenapa? karena sudah lahir kreasi gudeg yang dikemas memakai kaleng dengan daya tahan hingga setahun. Apalagi kini tampil dalam kemasan kaleng yang lebih praktis. Soal rasa, gudeg kalengan ini dijamin sama enaknya. Sudah enak, mengantongi sertifikat halal dari LPPOM MUI pula.

Gudeg Yogyakarta semakin abadi. Isi gudeg kaleng yang juga dipasarkan di dalam negeri sama persis dengan gudeg kendil atau gudeg lain pada umumnya. Komposisinya terdiri dari gudeg dengan santan kental, telur bebek, daging ayam, dan krecek. Apalagi porsinya cukup banyak, sekaleng bisa dimakan untuk dua orang.

Inovasi gudeg yang lebih mutakhir dihadirkan oleh gudeg Bu Tjitro yang bekerja sama dengan Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk mengolah gudeg dalam kaleng. Hasilnya adalah gudeg kaleng yang awet disimpan dalam kaleng dan higienis.

Gudeg kaleng mulai diproduksi pada tahun 2011 lalu. Sejak itu, permintaan terus meningkat. Saat ini, rata-rata 15 ribu kaleng terjual per bulan. Gudeg Bu Tjitro meraup manisnya bisnis gudeg kaleng saat libur Lebaran. Sebanyak 1.699 kaleng ludes. Kebanyakan turis membawanya sebagai buah tangan. Berkat kemasan yang praktis, gudeg ini sudah melancong hingga Inggris, Belanda, dan Australia.

Gudeg kaleng ternyata sudah menjadi trending market setelah gudeg kendil. Kini branding ini sudah ada di kaleng gudeg yang tertera tulisan Gudeg Bu Tjitro, Gudeg Yu Djum, dan Gudeg Mbak Lies. Kenapa gudeg ini menjadi lebih digemari daripada gudeg kendil? Karena gudeg kendil tidak terlalu praktis untuk dibawa jauh. Akhirnya dengan kemasan gudeg kalengan, kuliner ini lebih praktis bisa dibawa ke mana saja dan bisa menjadi alternatif untuk dapat merambah pasar mancanegara.

Bagi perintis gudeg kalengan ini pastilah memiliki keberanian dan intuisi dapat membaca peluang dan perubahan zaman. Sepertinya mereka terinspirasi dengan Steve Jobs yang mengatakan: milikilah keberanian untuk mengikuti hati dan intuisimu bagaimanapun mereka sudah tahu kamu ingin menjadi apa. Yang lainnya adalah hal yang kedua.

Yang terpenting sekarang adalah masalah kemasan dan jalur distribusi yang semakin luas untuk memenuhi hasrat penikmat gudeg. Dukungan Menteri Perdagangan Enggartiasto yakni gudeg kalengan harus ada di semua hypermarket dan permintaan kepada produsen gudeg kalengan yang ada di berbagai daerah untuk mencoba memasarkannya ke negara-negara tetangga yang banyak memiliki tenaga kerja asal Indonesia, misal Timur Tengah, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan patut diacungi jempol sebagai wujud nyata keberpihakan pemerintah.

Terakhir, adalah terkait dengan kendali mutu dari gudeg kalengan itu sendiri. Fokus riset teknologi pengalengan makanan gudeg adalah mengkaji daya tahan masakan gudeg yang dikemas dalam kaleng. Sterilisasi gudeg dalam kaleng harus menggunakan teknologi tepat guna sehingga proses pengalengan tersebut merupakan cara pengawetan yang dilakukan agar gudeg bebas dari kebusukan dengan tidak mengurangi nilai gizi, cita rasa, dan daya tarik.

Beberapa hal yang dapat disimak dari gudeg adalah sebagai berikut

1. Modernisasi merupakan salah satu kekuatan yang memicu perubahan dalam kehidupan keseharian kita. Perubahan ini telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat pinggiran, termasuk masyarakat Yogyakarta. Perubahan termasuk mempengaruhi pola konsumsi mereka;

2. Saat ini gudeg bukan lagi merupakan kuliner yang hanya dimakan di tempat, tetapi banyak yang menjadikan gudeg sebagai buah tangan jika kembali ke daerah asal mereka selepas dari Yogyakarta;

3. Banyak wisatawan dari luar daerah yang ingin membawa gudeg pulang, tetapi terkendala jarak. Dalam keadaan normal gudeg dikemas menggunakan kendil ataupun besek, namun hanya mampu bertahan kurang lebih 24 jam;

4. Peluang ini mendorong beberapa pengusaha gudeg menghadirkan gudeg kaleng yang mampu bertahan hingga satu tahun;

5. Teknik pengawetan makanan di dalam kaleng tersebut harus terus dikembangkan melalui laboratorium LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) agar terjamin kendali mutu dan terjamin kesinambungan ekspor ke mancanegara.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: