Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mendulang Berkah Tahun Infrastruktur

Mendulang Berkah Tahun Infrastruktur Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2013—2017), PT PP (Persero) Tbk telah menuai berkah dari proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Tahun 2017 misalnya, tercatat ada delapan kontrak baru dengan nilai mencapai Rp10,24 triliun. Sementara, tahun 2016 sebanyak 11 kontrak baru dengan nilai mencapai Rp10,67 triliun dan tahun 2015 sebanyak 15 kontrak baru dengan nilai mencapai Rp11,49 triliun. Adapun tahun 2014 dan 2013 masing-masing tujuh kontrak baru (senilai Rp3,82 triliun) dan tiga kontrak baru (senilai Rp5,11 triliun).

Seperti lazimnya perusahaan BUMN karya lain, pendapatan PT PP dari segmen infrastruktur makin menggeliat seiring massive-nya pembangunan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo yang terkenal dengan Nawacita infrastrukturnya. Namun yang menarik, PT PP tidak mendapatkan semua itu secara given karena harus berhelat dengan perusahaan BUMN karya ataupun swasta lain. Berbeda jika itu berupa penugasan, yang ibaratnya hanya tinggal duduk manis dan proyek-proyek menghampiri dengan sendirinya.

Presiden Direktur Utama PT PP, Lukman Hidayat, mengakui pihaknya harus bersaing sengit kala harus memenangkan proyek Bandara Kulon Progo misalnya yang nilainya mencapai Rp6 triliun. Pertarungannya bisa dibilang melelahkan dan menguras segenap sumber daya yang dimiliki perseroan karena kriteria calon peserta tender yang tinggi sebagai prasyarat, persyaratan metode yang luar biasa, beauty contest, hingga persyaratan dari sisi peralatan dan pengalaman. Alhasil perseroan menang tipis, hanya terpaut Rp16 juta saja dari kontestan lainnya.

Pun dengan proyek-proyek infrastruktur lainnya, seperti dua paket runway terminal Angkasa Pura (AP) II senilai Rp1,5 triliun dan pembangunan Gedung BNI senilai hampir 1 triliun.

"Kita sekarang sudah main di (proyek senilai) Rp150 miliar atau Rp200 miliar ke atas dan nyatanya di situ kita persaingannya lebih kompetitif. Kuncinya bagaimana menentukan sequence of book, metode, perhitungan orangnya dan safety-nya," kata dia kepada Redaksi Majalah Warta Ekonomi pertengahan Juli lalu.

Kunci kemenangan PT PP dalam merebut kue proyek infrastruktur pemerintah tersebut, termasuk di dalamnya perusahaan BUMN, antara lain seleksi proyek-proyek besar yang mengandung nilai inovasi. Untuk itu, perusahaan tidak akan membidik proyek pembangunan gedung berlantai delapan misalnya, atau proyek-proyek dengan nilai di bawah Rp200 miliar. Selain memang sudah diatur dalam ketentuan (Peraturan Menteri PUPera Nomor 31 Tahun 2015) yang mensyaratkan perusahaan BUMN untuk tidak mengerjakan proyek senilai di bawah Rp100 miliar, PT PP ingin naik kelas dengan menggarap proyek-proyek yang challenging. Harapannya tentu bisa bersaing di level regional (ASEAN).

Lalu kunci kedua, manajemen arus kas yang disiplin sehingga likuiditas perusahaan tidak ketat. Perusahaan melakukan kategorisasi proyek-proyek mereka ke dalam tiga tahap: blue book (masih dalam tahap FS), green book (sudah melalui tahap FS), serta pipeline (proyek yang sudah ditender dan sudah diumumkan bahwa PP sebagai pemenang). By default, perusahaan akan mengerahkan pendanaan yang ada untuk proyek dengan kategori green book dan pipeline yang istilahnya tidak mungkin di-drop. Hal ini mengingat, sekitar 60% portofolio penjualan dan pemasaran perusahaan masih disumbang oleh BUMN/pemerintah.

"Kita harus merencanakan proyek dengan matang, jangan emosi asal ingin dapat. Itu gampang saja tinggal turunkan harga, tapi masa iya begitu. Makanya tahun 2019 nanti rencananya kita akan implementasikan e-procurement secara penuh. Ini akan membuat harga yang lebih bagus di pasar kita, kompetisinya bagus seperti perusahaan swasta," tambah dia.

Dengan berbagai upaya tersebut, alhasil PT PP telah melahirkan beberapa proyek monumental baik sebelum maupun setelah era Presiden Joko Widodo, di antaranya RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar; Barelang Cable Stayed Bridge Batam senilai Rp93,15 miliar yang dibangun pada Oktober 1993; Stadion Utama Palaran Samarinda senilai Rp459,3 miliar yang dibangun pada September 2005; Dermaga Kariangau (Paket B) Balikpapan senilai Rp252,7 miliar yang dibangun pada Juni 2009; serta St. Moritz Jakarta senilai Rp130,9 miliar yang dibangun pada November 2009.

Kemudian, ada PLTMG Duri 100 MW senilai Rp917,5 miliar yang dibangun pada April 2012; Landmark Pluit Jakarta senilai Rp331,5 miliar yang dibangun pada September 2012; Kemang View Apartement Bekasi senilai Rp119,5 miliar yang dibangun pada November 2012; Jembatan Siak Riau yang dibangun pada Januari 2015; Jembatan Holtekam Jayapura senilai Rp858,7 miliar yang dibangun pada Juli 2015; dan Bank Indonesia Provinsi Papua senilai Rp227,5 miliar yang dibangun pada April 2016.

Bersaing Ketat

Ketatnya persaingan dalam memenangkan tender proyek infrastruktur pemerintah juga diamini oleh perusahaan BUMN karya lainnya, seperti PT Hutama Karya. Dalam mengikuti tender sebuah proyek infrastruktur pemerintah, PT Hutama Karya selalu mati-matian berjuang agar memenuhi syarat minimal rasio kecukupan dana (RKD) agar tidak didiskualifikasi. Belum lagi ada persyaratan pengalaman, misalnya untuk mengikuti tender runway, minimal pernah membangun dengan spesifikasi panjang landasan 3.000 meter dalam lima tahun terakhir. Ini membuat perusahaan mau tidak mau berburu proyek runway tiap tahunnya agar kemampuan membangun taxiway/exitway/runway-nya tidak dianggap habis oleh pemberi tender (Kementerian PUPera/swasta), meskipun proyek tersebut bermargin sangat tipis.

"Makanya kita pertahankan setiap tahun atau setiap ada proyek itu kita ikut supaya bisa menang tender agar portofolionya diperpanjang. Terakhir kita perpanjangan yang east cross atau landasan penyeberangan lintas dari runway I Bandara Soetta. Jadi memang sengit. Kita pernah mesti ber-partner (joint operation) dengan PT Wijaya Karya di proyek New Makassar Port. Pasalnya kalau kami ajak PT PP, mereka enggak bakal mau karena sudah punya portfolionya sendiri," kata Direktur Utama PT Hutama Karya, Bintang Perbowo, kepada Redaksi Majalah Warta Ekonomi belum lama ini.

Sementara Sekretaris Jenderal Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), Andi Rukman Karumpa, menilai persaingan dalam merebut kue proyek infrastruktur pemerintah memang sengit. Adakalanya bukan malah menjadi berkah, namun justru petaka utamanya bagi pelaku jasa konstruksi yang tidak memiliki kecukupan modal.

Ditambah lagi, ceiling atau batas nilai minimal proyek yang boleh diserahkan ke swasta sebesar di bawah Rp100 miliar masih dinilai memberatkan bagi UKM ketika masih ada anak-anak atau cucu-cucu BUMN yang turut bergelut di pasar ini. Idealnya, setiap proyek infrastruktur pemerintah dengan nilai triliunan, seperti bendungan misalnya, bersinergi dengan pelaku usaha konstruksi kecil menengah yang ada di daerah.

"Kita punya anggota sekitar 70.000 dan tersisa hanya 40.000 karena mayoritas yang UKM-UKM ini tidak bisa bersaing lagi dengan yang lain apalagi perusahaan BUMN yang besar," kata dia.

Tantangan lainnya, masih banyak pelaku konstruksi yang melakukan penawaran di bawah harga sehingga perlu ambang batas dan standardisasi agar harga terendah tidak menjadi pilihan bagi pemenang melainkan lewat eskalasi harga. Adanya harga yang baik menjamin kualitas konstruksi menjadi baik.

"Perlu ada standar harga satuan yang merata di seluruh Indonesia untuk menjaga kualitas pekerjaan dengan baik. Dengan kondisi sekarang, orang banting harga 25%, kita yang tadinya mau untung jadinya buntung," tambah dia.

Diversifikasi

Menyadari tidak selamanya PT PP akan berpesta pora dalam tahun-tahun infrastruktur, perusahaan mulai memikirkan diversifikasi usaha yang kira-kira ke depan bisa sustainable dan tidak rentan terhadap kondisi politik dan ekonomi eksternal. Perusahaan tengah mengkaji prospek proyek-proyek yang ke depan off taker-nya sudah ada, seperti energi listrik, sarana penyediaan air minum (SPAM), rumah sakit, pasar modern, sarana pendidikan, serta sarana wisata.

Di bidang pendidikan dan kesehatan misalnya, perusahaan bisa menggandeng penyedia jasa pendidikan yang sudah terkenal, seperti Labschool, atau dengan penyedia layanan kesehatan yang sudah terkenal, seperti Rumah Sakit Pondok Indah. Meski nilai investasinya tidak terlalu besar, namun kerja sama yang sifatnya long-term akan membawa dampak positif ke perusahaan.

Terkait pasar modern misalnya, ada keinginan untuk merevitalisasi pasar tradisional di wilayah-wilayah tertentu yang prospektif. Dari sekitar 5.000 pasar tradisional yang tersebar di seluruh Indonesia saat ini, sudah ada beberapa contoh revitalisasi pasar yang berhasil, contohnya pasar modern di Bumi Serpong Damai (BSD). Di tengah komplek hunian masyarakat menengah atas pun tidak segan berbelanja lantaran kebersihan dan convenient-nya.

Di bidang wisata, perusahaan sudah mengamankan proyek wisata di Walini, Jawa Barat. Lalu, ada juga perhotelan di daerah wisata Mandalika dan proyek wisata berupa terminal eksekutif di Bakauheni-Merak. Dari masing-masing tujuh pasang dermaga yang ada, perusahaan memiliki satu dermaga eksekutif layaknya terminal di bandara yang dilengkapi dengan lounge. Dicontohkan, untuk perjalanan para peserta maupun pengunjung Asian Games dari Jakarta menuju Palembang, hanya ditempuh dalam waktu satu jam 15 menit dengan kecepatannya yang tinggi di atas 10 knot.

"Kita juga mulai menjajaki proyek maupun investasi baru di negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Timor Leste. Di satu sisi, kami menyadari betul bahwa proyek infrastruktur sekarang ini sudah banyak yang selesai. Sekarang tumplek, istilahnya semua menyasar ke yang sama. Kalau dulu ada penugasan untuk LRT siapa, jalan tol siapa, dan perumahan siapa. Nah, ini sekaligus strategi kami juga, kami duluan ke sana (ASEAN)," kata Lukman.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: